Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar


Siput gantung di Sungai Kembung Luar
Destinasi yang belum terbayangkan banyak orang tentunya terjun atau turun langsung mencari makanan laut di tengah sungai dan hutan mangrove yang lebat. Bagi sebagian orang destinasi berkayuh sampan kolek dan tauakow (perahu pengakut kayu bakau) di tengah sungai dan berjalan di atas lumpur mencari buah tanah, sepetang, lokan, kijing, sepetang dan  siput (jenis kerang-kerangan) memiliki keunikan dan kepuasan tersendiri.

BAGI traveling atau ‘’anak badai’’ ungkapan bagi teman-teman penulis__merapah hutan mangrove merupakan destinasi menantang. Apalagi bisa bermandi lumpur di tepian anak sungai, berkayuh di tengah lajunya arus sungai hutan mangrove menjadi hal mengasikan dan menjadi tantangan tersendiri.

Bagi orang tempatan hal seperti ini tentunya biasa-biasa saja. Sebab sudah dilakukan secara rutin dan menjadi agenda setiap bulannya sesuai dengan kondisi air pasang naik dan pasang surut. Bahkan bagi orang suku pedalaman atau suku akit di Desa Telukpambang, yang mengandalkan penchariannya dari hutan mangrove sudah menjadi rutin setiap harinya.

Di tulisan kali ini bloger berusaha menggambarkan bagaimana asiknya merapah hutan sungai mangrove terutama di beberapa anak sungai di Sungai Kembung Luar. Selain urat nanti transportasi perdaggangan juga menjadi lahan untuk mendapatkan berbagai jenis makanan laut yang kaya akan gizi dan menjadi incaran bagi orang yang tinggal di tengah kota yang riuh.

Dengan menggunakan sampan kolek, blogger diajak menyusuri Sungai Rambai yang merupakan salah satu anak sungai terbesar di Sungai Kembung Luar. Dari hulu sungai yang berbatas langsung dengan Dusun Tanjung Sari, blogger diajak bercampang sampan sederhana yang bermuatan empat orang.

Kebetulan saat itu air pasang naik besar. Sehingga beberapa menit berkayuh kami diajak turun ke tepian sungai. Dengan berbekal karung beras berukuran 10 Kg, tangan Ismail mulai memungut satu persatu siput yang mulai menjalar dan bergantung di batang bakau, nyirih dan sesup di tepian hulu sungai tersebut. Berjalan sekitar 100 meter sudah terkumpul ratusan butir siput. Ada siput gantung, siput mata merah dan siput timba (nama-nama siput gantung yang menjadi sebutan warga tempatan).

Karena merasa kurang banyak, akhirnya kami diinstruksikan kembali untuk naik kembali ke dalam kolek. ‘’Kurang ada siputnya. Ayoklah kita menghilir dan kita menuju ke Sungai Kelapa (anak sungai dari Sungai Rambai, red). Biasanya di sana musim air besar ini banyak siput,’’ jelas Ismail sambil memasang tol dan dayung karena air pasang naik saat itu sudah tinggi.

Sekitar 20 menit menghilir sambil menagak arus pasang naik, akhirnya sampai di muara Sungai Kelapa. Ternyata benar air pasang naik cukup besar, sehingga daratan di tepian sungai tersebut sudah dipenuhi air asin dan hanya bertengger pohon bakau jenis belukap yang akarnya membumbung.
Ismail mulai menambatkan tali dari sampan kolek ke salah satu akar pohon belukap di tepian sungai. 

Kemudian dia mengajak turun dan mendatangi batang per batang pohon bakau, nyirih dan cinggam. Ternyata benar di pangkal pohon tersebut sudah berteter berbagai jenis siput. Dengan cekatan kami mengambilnya. Dalam waktu satu jam menghulu sungai akhirnya kami sudah dapat seperempat karung siput masing-masing. ‘’Sebentar lagi bolehlah kita kembali lagi ke pangkalan,’’ ucap Ismail sambil memandang teman-teman yang ikut saat itu.

Kemudian kami pun bersama-sama menghulu dengan sampan. Sambil berbicara disampan, Ismail berjanji bahwa pada esok harinya akan membawa tim untuk menikmati bagaimana mencari buah tanah. (bersambung)



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis