Merawai di Tengah Selat *Senohong dan Jinahang jadi Incaran


Ikan Kurau (foto internet)
Merawai (ngawai sebutan warga tempatan) merupakan kegiatan penangkapan ikan  secara tradisional dilakukan nelayan pesisir pantai Selat Melaka sejak turun temurun. Kegiatan menangkap ikan secara tradisonal ini diakui sangat ampuh untuk menjaga kelestarian karang dan habitat lautnya, karena diyakini tak akan merusak trumbu karang. Selain itu ratusan kilogram dan mungkin berton-ton umpan (merupakan ikan remis) di sugguhkan ke ikan-ikan berukuran besar di tengah selat setiap bulannya.


     Kegiatan merawai ini dilakukan nelayan tak pernah memandang musim.  Sebab ikan yang menjadi buruan bagi nelayan di pesisir pantai Utara dan Timur Pulau Bengkalis, seperti nelayan Bantan dan Telukpambang ikan-ikan bermutu dan berkelas jika di ekspor ke luar negeri. Beberapa ikan yang bermutu dan berkualitas tersebut di antaranya ikan kurau (senohong), jinahang (jenak sebutan nelayan),  gerut, senangin  dan kakap putih. Selain itu beberapa ikan menjadi penjualan kelas menengah seperti ikan malung, kelampai, gulama kepala batu, debuk dan duri otik.
      Perlu disampaikan merawai merupakan kegiatan menangkap ikannya, sedangkan alat tangkapnya disebut dengan rawai. Alat tangkap ini menggunakan mata pancing dengan perambut yang diikat pada seutas tali dengan ukuran panjang tertentu. Untuk satu utas tali bisa memanjang mencapai 500 meter dengan jumlah mata pancing mencapai seribu mata.
Ikan Gerut (foto internet)

Jadi, tali dengan berjejer mata pancing dan berisi umpan ikan remis (ikan biang, parang, gelebei, lomek, parang dan udang) inilah di rentang di tengah Selat Melaka. Pada umumnya para nelayan merentang rawai disaat air belum pasang naik dan mengangkat atau melihat hasilnya ketika air mulai surut.
      Nelayan merawai pada umumnya turun usai salat subuh. Puluhan bahkan ratusan pompong nelayan dari Bantan Air, Muntai, Telukpambang, Kembungluar yang mayoritas menggunakan mesin disel melaju ke tengah Selat Melaka pada subuh itu. Pompong dengan mesin disel rata-rata berkekuatan rendah ini mayoritas berlambung 1.5-2.5 ton saja.  Untuk satu pompong terdapat dua atau tiga nelayan.
      Menjadi pertanyaan mengapa nelayan harus turun sesudah salat subuh atau pagi sekali, karena para nelayan pagi-pagi merentang jaring untuk mendapatkan umpan. Setelah beberapa jam merentang jaring dan diyakini umpan sudah mencukupi dan umpannya sudah terpasang disetiap mata pancing barulah nelayan menuju spot untuk merentang rawai.
      Lamanya rawai di rentang dalam kurun waktu 4-6 jam. ‘’Kalau sudah terlihat riak air mau surut baru kita mengangkat rawai,’’ kata Rusli (45).
      Pada umumnya hanya sekali rentang rawai dalam sehari. Dengan sistem seperti itu, jika serentang (sebutan nelayan) bernasib baik bisa mendapatkan ikan berukuran gergasi atau jumbo dan berbagai jenis ikan pilihan lainnya. Bisa saja dalam serentang itu mendapatkan ratusan kilogram ikan kurau. ‘’Kalau dapat ikan kurau (senohong, red) dalam serentang itu lima sampai tujuh ekor dengan berat rata-rata 5-10 kilogram per ekor bisa bertepuk tangan dan senyum lebar. Sudah terbayangkan berapa dapat uangnya. Kalai saja per kilogramnya Rp120.000,’’ kata pengepul ikan yang akrab disapa Seli.
      Namun sebaliknya jika dalam serentang tak bernasib baik bisa-bisa untuk mengembalikan modal untuk membeli minyak solar untuk pompong tak cukup. Namun jarang demikian, kata Seli, karena dalam serentang terkadang paling tidak dapat satu dua ekor ikan malung, jinahang maupun ikan duri dan kelampai.
      Meskipun terkadang pendapatan ikan saat merawai turun naik tapi satu hal positif harus menjadi pelajaran bagi masyarakat Riau dan Indonesia umumnya. Dengan alat tangkap rawai yang dilakukan nelayan ini secara otomatis tak merusak isi biota lautnya bahkan tetap terjaga hingga sekarang.
       Gangguan dari berbagai pihak dengan sistem alat tangkap modren atau sistem trowel atau jaring batu (pukat harimau) mulai mengancam. Bagi nelayan sekitarnya untuk berpindah dengan alat tangkap lainnya kurang menarik. Satu sisi masyarakat beranggapan dengan alat tangkap jaring batu, pukat harimau bisa mendapatkan ikan lebih banyak. ‘’Tapi terkesan makan sekali setelah itu merana tak ada ikan. Selain trumbu karang rusak juga ikan dari cicit, cucu, anak dan induknya selesai ditangkap. Sehingga ampas saja yang tersisa. Kita mau cari makan dimana lagi, kalau selat ini sudah rusak. Inilah air dan tanah sumber kehidupan kami,’’ jelas Seli.
     Perlu diakui semua pihak keberadaan laut di sepanjang Pantai Bantan Air, Muntai, Telukpambang dan Kembungluar sampai sekarang masih bisa dikatakan masih aman dan masih bisa diandalkan untuk sumber pencarian. ‘’Sampai sekarang nelayan masih bisa mendapatkan ikan puluhan dan ratusan kilogram per harinya,’’ tegasnya.***




Comments

  1. Senang betul nengok hasil-hasil alam di daerah Bengkalis berupa varian ikan yang begitu banyak, dan masyarakat nelayan tradisional menangkap ikan dengan peralatan yang ramah lingkungan, tetapi sekarang???

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar