Danau Tajuid Langgam (Riau)


Kearifan lokal berubah  menjadi harta bermakna bagi ribuan masyarakat di Kelurahan Langgam Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan. Karena menjaga belasan danau  yang menjadi punca kehidupan bagi masyarakat nelayan, berubah menjadi pendapatan untuk kampung sejak puluhan tahun lalu.

Danau Tajuid (PELALAWAN)

MENUJU ceruk kampung yang sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Langgam harus melalui belasan kilometer jalan tanah. Awalnya ban mobil yang ditumpangi masih menginjak aspal, akan tetapi memasuki sekitar 20 kilometer mobil mulai berenjut-enjut. Karena ban mobil mulai melintasi lubang-lubang yang menganga di ruas jalan utama menuju Langgam.
     Tak itu saja ban mobil juga harus terhenyak-henyak dan bergetar ketika melintasi ruas jalan yang masih ditaburi sertu. Untuk saja saat itu mobil ditumpangi 4X4 sehingga lubang-lubang kecil dan krikil tak begitu terasa karena ban mobil yang besar.
    Sekitar 1,5 jam barulah mobil tiba di ujung jembatan Langgam dan kembali melintasi ruas jalan hot mix hingga tiba di perkampungan Langgam yang sekarang menjadi Kelurahan Langgam. Dulu untuk menuju Langgam jalan satu-satunya menggunakan pompong atau perahu. Namun sejak terbangunnya jembatan dan jalan poros dari tepian Jalan Lintas Timur warga tak lagi mengandalkan pompong dan perahu tapi lebih memilih melalui jalan lintas darat.
     Meskipun sudah menjadi ibu kota kecamatan, kampung Langgam tetap saja dengan nuansa aslinya. Berbagai kegiatan warga kampung masih terlihat dengan kearifan lokalnya, di tepian sungai masih sibuk perahu nelayan bolak balik dengan menggunakan mesin robin. Begitu juga pompong terlihat melaju menuju ke hulu Sungai Kampar dengan bunyi mengelatat. ‘’Inilah ibu kota kecamatan Langgam. Selamat datang di kampung tua ini,’’ ucap Zubir.
    Tiba di Langgam saat itu sekitar pukul 13.15 WIB. Istirahat dan makan siang sejenak, perjalanan kemudian dilanjutkan menggunakan pompong menuju salah satu Danau Tajwid yang cukup terkenal dengan ikan melimpah di dalamnya. Perjalanan menggunakan tiga unit pompong tak begitu lama, sekitar 10-15 menit dudu di pompang melintasi aliran Sungai Kampar sudah tiba di kuala Danau Tajwid. 
       Suasana danau yang tenang dengan rumah rakit kelompok nelayan yang mengolah hasil tangkapan menjadi ciri khas danau ini. Puluhan rakita terbuat dari kayu balak di atasnya terdapat pondok kecil menjadi pemandangan menarik ketika baru saja memasuki kuala Danau Tajwid.
      Masuk ke Danau Tajwid saat itu, kapten pompong langsung menurunkan gas mesin Don Feng. Baru saja memasuki danau pelampung jaring nelayan tampak melintang dari pinggiran danau hingga ke tengah danau. Hanya saja pompong saat itu bisa memilih alur untuk di lalui. ‘’Tak boleh laju-laju di danau ko. Abih jaring orang, kono amok awak,’’ jelas Nasrullah.
Tujuan pertama langsung berhenti di rakit milik M Yusuf (67). Rombongan tokoh masyarakat saat itu diketua, Nasrullah saat itu langsung berhenti ditepian rakit. ‘’Dari mano pak,’’ tanya Yusuf yang saat itu sedang mengangkat ikan salai dari tempat penyalaian ikan sederhana miliknya.
    ‘’Inilah nak melihat karojo bapak,’’ jelas Nasrullah yang saat itu juga didampingi ninik mamak lainnya.
    Saat merapat di rakit pondok ikan milik Yusuf, berupaya naik ke atas rakit dan berbicara panjang lebar. ‘’Dulu pak banyak ikan, kalau kini satu hari paling banyak bisa menyalai ikan 2-4 kilogram ajo. Kalau dulu berpuluh kilo ikan kito salai per harinyo,’’ kata Yusuf yang bekerja sebagai nelayan sejak berumur 20 tahun lalu.
    Dari tangkapan ikan itulah memenuhi keperluan hidupnya dan juga bisa menyekolahkan anaknya di UIN Suska Pekanbaru.
    Sambil melayani para ninik mamak, Yusuf terus mengangkat ikan-ikan salai yang sudah mengering dari tungku sederhana yang dibuat berdekatan tepian air Danau Tajwid. Berbagai jenis ikan salai yang dibuatnya kala itu. Ada ikan motan, selais, baung, toman dan ikan gabus. ‘’Ikolah pak untuk mencari idup. Paling tinggi sehari dapek 10 kilo ikan. Itu dah hebat,’’ jelasnya yang mengeluhkan kalau tangkapan ikan setiap harinya terus menurun.
     Selain Yusuf, saat bersandar di rakit salah seorang nelayan bernama Ahmad juga menghampiri perahu para ninik mamak. Dengan bermodalkan jala dengan perahu sonic miliknya berkeliling menabur jalan di tepian danau. Dalam sonic miliknya terdapat beberapa kilogram ikan motan. ‘’Awak mencari motan pakai jalo ko. Kadang tak motan ajo, apo dapat dalam jalo kito pungut semuonyo,’’ jelas Ahmad saat ditanya apa saja ikan yang ia tangkap.
     Saat itu Ahmad sempat juga menebar jala berdekatan dengan pompong yang ditumpangi Riau Pos. Saat mengangkat jala yang ditebarnya ternya benar kalau ikan yang didapat hanya ikan motan sebesar jari orang dewasa. ‘’Lumayanlah pak. Awak beransur dulu ke rakit yo,’’ ucap Ahmad sambil bercampang menuju rakit pondok miliknya yang tak jauh dari rakit milik Yusuf. 
Belasan Danau Hasilkan Miliaran Uang Per Tahun
Masyarakat Kelurahan Langgam dan  Kecamatan Langgam umumnya diuntungkan dengan adanya belasan danau. Karena di dalam belasan danau yang ada terdapat puluhan hingga ratusan ton ikan per tahunnya didapatkan nelayan. Bahkan salah satu danau terbesar yang dimiliki masyarakat Langgam merupakan Danau Tajwid.
    Di Danau Tajwid tersebut menurut Penghulu Ninik Mamak, Kenegerian Langgam, Nasrullah,  per tahunnya bisa menghasilkan uang sekitar Rp1,2 miliar per tahunnya. ‘’Kalau sekarang kalaupun turun kisaran ratusan jutalah hasilnya per tahun,’’ jelas Nasrullah.
     Makanya, kata Nasrullah didampingi ketua adat dan ninik mamak lainnya, Samsu Azwar, Mahyudin, Zamri dan tetua lainnya saat itu. Menurut Nasrullah jumlah danau yang dimiliki masyarakat Langgam sebelumnya sangat banyak. Akantetapi akibat kekeringan atau mendangkalnya danau-danau yang ada sekarang hanya tinggal 14 danau yang tersisa. Danau-danau yang masih bisa memberikan hasil ikan melimpah ruah itu seperti Danau Tajwid  yang merupakan danau besar dan panjang dimiliki masyarakat Langgam. Kemudian Danau dan suak lainnya seperti Danau Buntar, Tanjung Pahit, Sungai Lembaung, Danau Tanjung Bekit, Danau Tanjung Putus, Danau Sealang Jangkot, Suak Semanau, Sungai Segati Kanan, Danau Panjang, Sungai Gemuruh, Sungai Musi, Sungai Polong, Sungai Sekayan dan Sungai Segati Kiri.
     Dari sungai, danau dan suak yang tersebut, kata Nasrullah, terdapat berbagai jenis ikan, di antaranya ikan silais, baung, patin kunit, tapah, belido, sngarek, udang, tuakang, pantau, juaro, silinca, batung, kepituk, lele, toman, kalan bulek, jalai, kapiek,  bujan, paweh, motan, tilan, selusu, gurami, sebahan, sepongka, inggir-inggri, tabingal,nciling, barau, olah, ubuk, pitulu, cupul mato, pari, pantai cangga, pimping, baung pisang, gesso, ingau, ikan puyu, tempalo, sumpit dan baung pangkal.
      Sebagai kepala kepenghuluan Adat Langgam Nasrullah menegaskan, bahwa anak sungai, danau dan suak yang ada dimiliki masyarakat adat tersebut bisa dimiliki anak dan kemenakan dari kepenghuluan Langgam dalam satu tahun. Makanya aturan turun temurun dengan melakukan lelang terhadap 14 danau tersebut dilakukan. ‘’Biasanya lelang danau, suak dan sungai itu dilakukan setiap awal Januari,’’ kata Nasrullah.
     Diakuinya untuk danau dan sungai lainnya yang ada jumlah ikannya sangat menurun jika dibandingkan dengan Danau Tajwid. Untuk Danau tajwid sendiri nilai ekonomis atau pendapatan bagi masyarakat masih sangat tinggi. ‘’Tahun kemarin (2012,red) jumlah penghasilannya jika ditotalkan mencapai Rp1,2 miliar. Itu didapatkan dari lebih 60 nelayan yang menggantungkan hidup dari ikan dari dalam danau tersebut. Makanya nilai tawar untuk Danau Tajwid tetap tertinggi jika dibandingkan dengan danau, suak dan anak sungai lainnya yang ikut dilelang,’’ jelas Nasrullah dan diiakan Tarmizi, Azwar, Mahyudin dan Zamri.
        Danau ini merupakan asset desa yang setiap tahunnya dilelang pada kelompok nelayan. Di mana dana yang diperoleh dari lelang tersebut akan digunakan untuk pembangunan desa. ‘’Uang lelang danau, tasik dan sungai tersebut dipergunakan untuk pembangunan pendidikan, terutama biaya untuk MDA, Masjid dan juga pembangunan desa lainnya,’’ kata Nasrullah.
      Belasan danau, tasik dan anak sungai yang dimiliki masyarakat adat Langgam hingga sekarang harganya sangat bervariasi. Mulai dari Rp3 jutaan hingga belasan juta. Untuk Danau Tajwid tetap menjadi danau dengan harga tertinggi. Misalnya untuk lelang danau tahun 2013 ini untuk danau tersebut per tahunnya dihargakan sebesar Rp15 juta. Dengan begitu maka dalam satu tahun Desa Langgam mendapatkan uang mencapai puluhan juta rupiah dari lelang danau dan tasik tersebut.
      Dikatakannya, untuk danau dan tasik tersebut tak dilelang kepada masyarakat luar hanya kepada nelayan-nelayan tempatan atau anak kemanakan yang menggantungkan hidup dari mencari ikan di danau dan suak yang ada di Langgam. Untuk satu danau dilelang sesuai prediksi atau pendapatan ikan setiap tahunnya. ‘’Jadi bisa saja dalam satu danau atau suak hanya dimiliki satu kelompok nelayan dengan jumlah 5-6 orang. Tapi sebaliknya, seperti di Danau Tajwid terdapat sekitar 40-60 orang nelayan. Jadi biaya Rp15 juta menjadi tanggungjawab 40-60 nelayan yang ada. Jadi biayanya tak memberatkan nelayan, karena kisaran Rp300-500 ribu per orang,’’jelas Nasrullah.
      Kepemilikan danau,tasik dan sungai ini sangat terikat karena tasik dan danau tersebut dalam jangka waktu satu tahun menjadi milik kelompok nelayan yang membayar. Jika ada orang atau wisatawan yang ingin memancing di danau-danau yang ada tersebut harus mendapat izin dari pucuk adat atau kelompok nelayan yang memenangkan lelang. ‘’Jadi tak bisa sembarangan memancing. Kalau ada izin dari pucuk adat dan nelayan pemenang lelang baru bisa memancing kalau tidak dikenakan sanksi,’’ jelasnya.
       Keberadaan danau, suak dan anak sungai yang menjadi sumber pencaharian masyarakat yang mayoritas nelayan di Langgam sudah sangat memadai. Dari 1.500 KK atau kurang lebih 2.500 jiwa warga langgam sangat berharap lebih hasil ikan dari danau-danau tersebut.
      Oleh sebab itu saat lelang pucuk adat memberikan himbauan kepada nelayan agar tetap memakai alat tangkap tradisional, tidak memakai putas dan sentrum. Jika itu dilakukan bisa dikenakan sanksi terhadap nelayan yang berbuat tersebut. Untuk danau, suak dan anak sungai yang ada hanya diperbolehkan menggunakan alat tangkap, lukah, jala, jaring, rawai dan belat. ‘’Selain alat tangkap itu dilarang keras dan tidak diperbolehkan,’’ jelas Nasrullah.
      ‘’Kalau ada mutas atau sentrum pucuk adat langsung memberikan sanksi kepada nelayan itu,’’ sambung Zamri lagi.
         Sebenarnya pekerjaan masyarakat yang ada kata Lurah Langgam, Jon Hapzar tak semuanya nelayan. Akantetapi ada juga berkebun karet, sawit dan buruh lainnya. Namun lebih 50 persen warga di Langgam masih menggantungkan hidup dari bernelayan atau menangkap ikan di Sungai Kampar, danau, suak dan anak sungai yang ada. ‘’Jadi sebagai PAD lainnya lelang danau sangat membantu pendapatan kelurahan untuk pembangunan lurah Langgam ini,’’ jelas Jon Hapzar .
          Dikatakan Jon Hapzar, keberadaan kepenghuluan lembaga adat Langgam sangat membantu kerja dan terwujudnya Kelurahan Langgam yang maju. Dengan keberadaan pucuk adat, seperti Datuk Penghulu, Datok Lelo Kayo, Datuk Bandaro, Datok Kerja, Datok Singo, Datok Imbang, Datuk Paduko, Datuk Majo, Datuk Padano, Datok Lado, Datok Bono dan Datok Betuah benar-benar mengawasi kehidupan masyarakat Langgam. ‘’Aturan adat diteggakan sehingga terciptanya Langgam yang aman dan maju seperti sekarang ini,’’ jelas Jon Hapzar lagi.
      ‘’Kalau pendapatan masyarakat dari belasan danau yang ada jika dihitung betul-betul miliaran per tahunnya. Paling tidak dengan danau dan ikan yang ada masyarakat kami bisa hidup dan menyekolahkan anak mereka,’’ lanjutnya.
Ikan Mahal, Tangkapan Berkurang
Tangkapan ikan nelayan setiap tahunnya terus mengalami penurunan yang sangat drastic. Hal ini dikerenakan semakin surutnya air di dalam danau, suak dan anak sungai. Selain itu pencemaran air dan gundulnya hutan berubah—menjadi perkebunan sawit juga memberikan pengaruh besar.
      ‘’Dulu pergi mancing setengah hari dapat ikan satu sampan. Sekarang pergi sehari sampai malam, paling tiggi 2-3 kilo ikan yang didapatkan,’’ kata nelayan Syukur (40) yang sibuk memungut ikan motan dari dalam palka pompong milik Nasrun (52).
      Menjadi nelayan sekarang tak sehebat era tahun 1990-an. Tahun 1980-1990-an sekali pergi menjala, pasang lukah atau merawai bisa dapat ikan satu sampan atau satu pompong. ‘’Apalagi pasang bolat (belat,red), bisa penuh semua palka pompong ni,’’ ucap Nasrun menyambung perbincangan Riau Pos Selasa (21/5) pagi.
     Tangkapan ikan dari belat yang dipasangnya di Sungai Seggati kanan pagi itu cukup lumayan hasilnya. Meskipun dari kaca mata kami, saat itu terkesan banyak tetap saja Nasrun dan Syukur mengatakan tangkapan yang mereka peroleh pagi itu tidak seberapa. ‘’Paling tinggi pagi ini kami hanya dapat 8-10 kilogram saja,’’ jelasnya.
     Ikannya pun, kata Nasrun, tak besar-besar pada umumnya ikan motan dan anak ikan selais.  Kemudian ditambah ikan pantau dan beberapa anak ikan gabus, lele, toman dan anak ikan tapah. ‘’Baung tak ada betul. Kebetulan sekarang memang belum musim ikan baung,’’ jelas Nasrun.
       Berkurangnya tangkapan ikan tak hanya dikeluhkan Nasrun dan Syukur, malahan keluhan juga datang dari Yusuf dan Ahmad. Menurutnya tangkapan ikan sekarang turun lebih dari 50 persen jika dibandingkan tahun 1990-an. Dulu, kata Yusuf satu hari tak cukup tempat penyalai yang ada. Tapi sekarang, jelasnya tak jarang penyalai kosong tak berikan. ‘’Kalaupun ada anak ikan motan dan anak selais kisaran 1-2 kilogram per hari. Dulu baung sebaung-baungnya, ikan selais tak usah cakap lagi banyaknyo. Sekarang tinggal cerita.  Kita tak boleh pulo mengatokan tak ado. Ikan ado tapi tak sebanyak dulu,’’ jelas M Yusuf yang saat itu mencoba membalikkan salai ikannya.
   Dulu per harinya untuk menahan lukah, menjala dan merawai dirinya mencapai kisaran 40-50 kilogram per hari. ‘’Sekarang cari lima kilo ajo susah,’’ jelasnya.
    Keluhan ini juga disampaikan Nasrun. Menurutnya, tahun 1990-an pompong yang digunakan untuk menangkap ikan dipenuhi berbagai jenis ikan, mulai ikan baung, selais, tapah dan berbagai jenis ikan ternama lainnya. ‘’Dulu bisalah saya kata agak sombong, pilih ikan besar-besar aja dibawa pulang, yang kecil di lepas. Sekarang selais kecil-kecil pun diangkut bawa pulang,’’ cerita Syukur.
     Berkaitan dengan penurunan yang terjadi sangat menyulitkan para nelayan. Untung saja, kata Syukur harga ikan salai dan ikan-ikan basah atau ikan hidup hasil tangkapan mereka dibeli dengan harga lumayan mahal. Kemudian saat sekarang para penampung ikan dari Pekanbaru, Pelalawan dan Siak datang ke tempat mereka untuk mengambil ikan. ‘’Macam ikan motan ini diambil orang Pekanbaru. Katanya untuk makan ikan arwana. Tapi tak tahulah, yang jelas ikan motan tangkapan kami ada penerimanya. Itu saja kami dah bersyukur,’’ ucap Nasrun sambil menunjukkan ikan motan yang berada di dalam kaleng bekas cat di atas pompongnya saat itu.
       Begitu juga dengan harga ikan lumayan mahal, misalnya untuk ikan selais per kilogram basah dijual seharga Rp50-60 ribu. Sedangkan untuk salainya berkisar Rp130-150 ribu per kilogramnya. Kemudian ikan baung per kilogramnya berkisar Rp60 ribu kalau yang hidup. Tapi kalau berat di bawah 4 mata dijual per kilogramnya Rp40 ribu. Sedangkan untuk  salai baung kisaran Rp150 ribu per kilogramnya. Kemudian ikan limbat atau lele per kilogramnya berkisar Rp30 ribu, toman Rp20 ribu per kilogram, tapah Rp60 ribu per kilogram. ‘’Cari tapah yang payah sekarang. Sekali bolek dapat satu ekow tampa dah hebat,’’ jelas Syukur sambil menunjukkan seekor tapah seberat setengah kilogram dari dalam palka.
        ‘’Dulu kalau sudah banjir kemudian air surut jauh kami di Langgam ini banjir ikan. Dua Sungai Kampar Kiri dan Kanan macam mengantar ikan ke kampung kami ini,’’ ucap Syukur lagi.
         Diakui Zamris beberapa lubuk ikan tahun 1990-an cukup hebat sekarang sudah banyak yang kering.  ‘’Ini mungkin pengaruh dari hutan sudah tak ada. Sehingga rawa-rawa tempat ikan bertelur dan beranak tak adalagi,’’ jelasnya.        
Ikan Hilang, Rusaknya Danau DAS 
Beberapa ikan istimewa di daerah aliran sungai (DAS) Sungai Kampar mulai mengalami kelangkaan bahkan sangat jarang didapatkan masyarakat. Terjadinya hal ini diakibatkan beberapa hal: di antaranya terjadi kerusakan air di aliran Sungai Kampar, akibat limbah dari berbagai aspek. Mulai dari limbah kanal-kanal perusahaan sawit, limbah dari penambangan emas di hulu Sungai Kampar Kiri dan terjadinya pendangkalan aliran sungai akibat abrasi dan PLTA Kotopanjang.
        Hilangnya ikan-ikan dan berkurangnya tangkapan ikan ini seperti disampaikan Masnur,  bahwa sungai kampar sekarang sudah sangat tercemar limbah. Terutama limbah tambang emas dari hulu sungai, kemudian pabrik kelapa sawit, putas, racun ikan, senterum, pabrik karet. ‘’Itu semuanya terjadi di luar areal Langgam. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Ini yang kita harapkan ada kebijakan pemerintah, sehingga tak adalagi pencemaran air Sungai Kampar,’’ jelas Masnur.
      Dengan pencemaran tersebut, kata Masnur, pendapatan per minggunya tak bisa lagi dipersentasekan. ‘’Dulu per minggu bisa dapat satu juta. Sekarang dalam seminggu mencari 100 ribu saja susah,’’ ucapnya sedih.
      Hal serupa disampaikan Masrun, keberadaan hutan di tepian sungai sekarang juga sudah dibabat habis. Dulu, jelasnya tepian sungai hingga 500 meter masih tegakkan hutan. ‘’Sekarang sudah menjadi kebun sawit. Tapi siapa yang nak disalahkan. Sedihnya kita sekarang, hulu sawit hilir akasia. Jadi limbah pastilah kena kepada kita di Langgam ini,’’ tegasnya.
      Tercemar dan hilangnya ikan di Sungai Kampar, Danau dan tasik juga diakui Bahri(46) menurutnya keberadaan ikan sangat sulit sekarang. Dulu, kenang Bahri, sekali turun ke daerah Tanjung Putus,  dapat ikan berpuluh-puluh kilogram. Sekarang mencari satu kilo dua kilo saja sangat susah.  Kenapa begitu, jelas Bahri, sekarang di daerah itu telah mengalir kanal-kanal kebun sawit yang airnya turun ke Sungai Kampar. ‘’Sekarang paling tinggi Rp20 ribu per hari. Macam mana mau menyekolahkan anak. Untunglah kita ada kebun untuk bisa jadi gantungan hidup dan menyekolahkan anak,’’ jelasnya.
      Dikatakan Nasrullah jumlah tangkapan ikan yang semakin menurun membuat lebih 500 KK warga Langgam mengeluh. ‘’Tapi kita tak bisa berbuat banyak. Kita bisa menjaga daerah kita. Tapi dari hulu hilir sungai tetap saja mengacam kehidupan ikan di Langgam ini. Sebab disinilah pertemuan arus Kampar Kiri dan Kampar Kanan,’’ tegasnya.
Kearifan Lokal Mendapat Pujian 
Kearifan lokal yang dilakukan masyarakat Langgam mendapat pujian dari ahli Daerah Aliran Sungai (DAS) berasal dari Negara Belanda, Lembaga Telapak dan Mitra Insani.
    Seperti pengakuan Rob Koudstaal, keinginan masyarakat Langgam menjaga belasan Danau, Tasik dan anak Sungai merupakan keinginan menjaga alam tetap lestari. ‘’Apa yang dilakukan Masyarakat Langgam sudah tepat. Hanya saja persoalannya Langgam tetaplah terimbas pencemaran yang terjadi di hulu Sungai Kampar dan Hilir Sungai Kampar,’’ jelas Rob Koudstaal.
     Dirinya menegaskan bahwa untuk menjaga lingkungan sudah semestinya berbagai perusahaan yang ada yang diindikasi dapat merubah ekosistem Sungai Kampar harus memberikan kopensasi kepada masyarakat. ‘’Jangan sampai perusahaan kertas dan sawit mendapat keuntungan tapi masyarakat menderita,’’ jelasnya.
     Dirinya mengatakan bahwa sangat jelas terjadi pencemaran air. Terutama berkurangnya debit air, kemudian kualitas air tak sejernih dulu lagi. Kemudian adanya penyakit yang ditimbulkan ketika menggunakan air sungai terutama penyakit kulit. ‘’Tapi menyelesaikan masalah terjadi tak bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat Langgam akantetapi juga harus dilakukan masyarakat yang berada di aliran Sungai Kampar. Apakah itu masyarakat maupun perusahaan yang terlibat,’’ jelasnya.
      Kemudian dia juga menegaskan terjadinya perubahan daerah aliran Sungai Kampar, Danau, Tasik dan anak sungai akibat dari lingkungan yang terdegradasi, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan, pestesida, sedimentasi dan penebangan hutan. ‘’Faktor lain karena sudah over fishing,’’ tegasnya.
     Hal serupa disampaikan Christa Nag ahli DAS dari Negara Belanda, menurutnya over fishing, alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan dan habisnya hutan pengaruh terjadinya pendangkalan di Sungai Kampar. Kemudian tak menutup kemungkinan pengaruh berdirinya PLTA di hulu Sungai. ‘’Kalau PLTA sangat kecil sekali, tapi degradasi hutan sangat berpengaruh besar,’’ jelas Christa Nag.
     Direktur Mitra Insanti Zainuri Hasyim menegaskan bahwa keinginan mereka bersama masyarakat yang ada di hulu Sungai Kampar hingga Muara Kampar untuk mengatasi pencemaran DAS sangat besar. ‘’Oleh sebab dirinya bersama rekan-rekan Telapak, pihak Belanda dan masyarakat di aliran Sungai Kampar terus berupaya mencegah dan mencari solusi agar aliran sungai tak tercemar. Paling tidak sekarang kita sedang mencari langkah-langkah tepat menekan laju kerusakan DAS Sungai Kampar,’’ jelas Direktur Mitra Insani yang akrab disapai Zein ini lagi.
       Beberapa daerah atau perkampungan menjadi fokus pembinaan lingkungan lestari di DAS Sungai Kampar sudah dilakukan Mitra Insani. Mulai dari Desa Batu Sanggan, Gema, Gunung Sahilan, Langgam, PLTA Kotopanjang hingga Kuala Kampar dan Telukbinjai. ‘’Sekarang kita sedang mendata persoalan terjadi, kemudian baru dirangkumkan untuk memecah persoalan terjadi. Kita berharap ada langkah kongkrit kita dapatkan bersama,’’ jelasnya.
      Namun diakuinya kerja menjaga DAS Sungai Kampar agar tetap terjaga dan terhidar dari pencemaran tak bisa dilakukan sendiri. Oleh sebab itu semua pihak harus ikut andil dan peduli. Mulai dari pemerintahan, perusahaan berada dekat Sungai Kampar hingga masyarakat. ‘’Jika semua kompak, yakin pencemaran dan kerusakan DAS Sungai Kampar bisa teratasi,’’ tegasnya. ***
       
   

Comments

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar