Merangkak di Tengah Kemajuan Kota
Menjadi buruh angkut gerobak bukanlah pilihan hidup, namun menjadi
buruh pula bisa meneruskan hidup dan cita-cita anak untuk melanjutkan
pendidikan.
AIR bercampur tanah kekuning-kuningan sedalam mata kaki
orang dewasa terus mengalir di antara tumpukkan batang kayu api-api di alur
anak sungai berdekatan dengan pelabuhan internasional Kota Bagansiapi-api. Kayu
api-api berukuran 4 meter dan berdiameter 5-8 inchi yang berjumlah ratusan tual
tersebut semuanya diselimuti oleh lumpur.
Bukan diselimuti
lumpur saja, akan tetapi puluhan batang kayu api-api terbenam pada dasar anak
sungai tersebut. Dengan susah payah dua orang buruh untuk menarik dan
mengeluarkannya dari lumpur yang dalamnya selutut orang dewasa.Untuk menarik
satu batang kayu api-api cukup panjang tersebut bisa menghabiskan waktu 2-5
menit baru bisa tiba di atas gerobak yang terletak di ujung jalan aspal pada
pelabuhan yang sejak pagi terlihat sepi. Hanya satu dua polisi perairan keluar
masuk posnya dan para buruh galangan kapal milik Gih Huan yang terlihat ramai
lalu lalang di jalan.
''Inilah kerje
kami ko, jiko kayu loban tak didopek lagi,'' kata Rahman salah satu buruh
angkut kayu saat itu, sambil membersihkan tangan dan bajunya yang terkena
lumpur dari batang kayu api-api.
Batang demi
batang kayu api-api dinaikkannya bersama temannya Iwa ke gerobak yang bisa
mengangkut kayu berat satu ton tersebut. Akhirnya tibalah pada angka 24 batang.
Kemudian dengan susah payah Rahman dan Iwa berupaya mengangkat tangkai gerobak
terbuat dari kayu untuk diletakkan pada jok sepedamotor miliknya. Beberapa kali
ia mencoba mengangkat berdua, tapi sayang tak terangkat juga. Akhirnya Riau Pos
berupaya membantu kemudian baru bisa meletakkan pegangan gerobak ke atas jok
sepedamotor, dan dengan cekatan Rahman mengikatnya dengan beladar (karet dari
bekas ban dalam sepedamotor).
Menurut Rahman (45) pekerjaan sebagai buruh
tentu sangat berat saat sekarang. Pasalnya kayu atau barang yang mau diangkut
sangat terbatas. ''Dulu hampir setiap hari orang mengangkut kayu leban untuk
gading-gading kapal. Tapi sekarang kayu leban payah akhirnya berpindah
mengangkut kayu trocok berasal dari batang kayu api-api,'' jelas Rahman dan
diiakan Iwa yang saat itu berupaya membersihkan lumpur dari baju dan tangannya
saat itu.
''Kalau dah
ngangkat kayu terocok siaplah baju kotor dan berlumpur,'' lanjut Iwa saat itu.
Bekerja sebagai
buruh angkut menggunakan gerobak tentunya tak setiap hari ada. Jadi ada
musimnya juga, jika ada orang mau membangun ruko atau membangun rumah permanen
nasib elok disuruh mengangkut kayu terocok mereka. ''Jadi kita bersaing juga.
Kalau tukang tebang kayu tercocok atau api-api orang kita kenal bisalah kite
ngambik upahnya. Kalau tidak sulitlah mungkin dapat orang lain,'' ucap Rahman
yang memiliki enam anak dan tiga masih bersekolah.
Menjadi buruh
bukan pilihan, tapi pekerjaan lain tak ada, kata Rahman, tentu mau tak mau
harus bekerja dan untuk hidup. ''Paling tidak sekali angkut dapatlah untuk
membeli beras dan sisanya untuk biaya anak sekolah,'' ucapnya.
Sebagai buruh
angkut kayu untuk bangunan berupa terocok baik berasal dari batang api-api,
bakau maupun mahang per batang biasanya diberi upah sebesar Rp3.000. Sedangkan
untuk penebang per batang dibayar sebesar Rp15.000. ''Kalau nebang api-api dari
pulau seberang sampai ke sini per batangnya berkisar Rp15.000 bahkan bisa
lebih,'' lanjutnya.
Jadi kalau satu
tarik bisalah tergaji sebesar Rp30-35 ribu per orang. ''Kayu kita angkat kan
sebanyak 25 batang di kali Rp3.000. Jadi lumayanlah,'' tegasnya. Bekerja sebagai tukang angkut kayu
menggunakan gerobak bergaji per harinya Rp60-70 ribu. Jadi cukup lumayanlah
untuk tambahan belanja di rumah dan untuk membayar SPP anak dan keperluan
sekolah lainnya.
Untuk bekerja
sebagai penarik gerobak tentu tak bisa dipaksanakan. Dalam satu hari paling
tinggi tiga trip kuatnya. Pertimbangannya jauh dekat lokasi tempat mengantar
kayunya. Kalau lokasinya hanya dua tige kilometer bisalah sampai lima trip.
Tapi kalau belasan kilo, paling kuat satu hari dua kali. ''Itupun tergantung
ketahanan berobak dan tenaga kite,'' ucapnya.
Namun untuk buruh
menurut dia tak akan pernah berhenti. Pasalnya saat sekarang pembangunan Kota
Bagansiapi-api terus bergulir. Jikalau tak bisa mengangkut kayu cerocok bisa
juga mengangkut batu bata, kerikil dan pasir. ''Jadi untuk buruh saat sekarang
bisalah cari makan,'' jelasnya.
Ditanya mengapa
tak mau bekerja membuat kapal atau nelayan. Dengan tegas Rahman dan Iwa
mengatakan mereka sebelumnya merupakan mantan nelayan. Akan tetapi semakin
minimnya pendapatan akhirnya beralih kerja di darat. ''Kerja di laut hanya
habis untuk modal dan makan saja tak bisa lebih,'' lanjutnya.
Berkaitan mereka
tak bekerja di galangan kapal, karena para tauke lebih memilih pekerja dari
luar bagan. Menurut mereka masalah gaji tak jadi persoalan bagi buruh luar
tersebut dan mengatakan kalau orang tempatan tak mau kerja malas. Padahal, kata
Rahman itu salah, warga tempatan sebenarnya mau bekerja tapi karena mereka tak
mau diperbudak dengan gaji tak wajar akhirnya tak mau bekerja di galangan
kapal. ''Kalau benar gaji Rp80-100 ribu
per hari lebih baik kite kerja di galangan kapal,'' tegasnya.
Selain bekerja
sebagai buruh angkut gerobak, Rahman juga menegaskan kalau dirinya bersama
anak-anak mereka menanam padi di daerah Sinaboi. Untuk penghasilan padi
tersebut bisalah untuk buat makan. Sedangkan penghasilan buruh bisa untuk
keperluan lainnya dan anak sekolah.
Keberadaan buruh
menurut Yusuf, salah seorang warga yang
tinggal tak jauh di daerah pelabuhan sangat diperlukan. Kalau tak ada mereka tentu
untuk mengangkut kayu, barang-barang berupa ikan kering dan lainnya dari Pulau
Halang, Panipahan tentu sulit untuk diangkut. ''Truk memang ada, tapi warga
lebih memilih gerobak, jadi bisa masuk
ke gang-gang rumah. Tahu sendirilah di Bagansiapi-api ini banyak
gang-gang,'' tegasnya.
Papan dan Gading-gading Sulit
Sulitnya mendapatkan kayu leban yang dipergunakan untuk gading-gading kapal atau kerangka kapal
sangat berpengaruh terhadap pendapatan para buruh angkut gerobak di
Bagansiapi-api.
Dulu pada umumnya
kayu gadeng-gadeng didatangkan dari beberapa daerah seperti tanah merah,
bantaian dan lainnya. Tetapi sekarang sangat sulit didapatkan. Akhirnya para
buruh gerobak mencari pekerjaan lain terutama menjadi buruh angkut, kayu
terocok, pasir dan kerikil. ''Tapi itu sangat terbatas,'' kata Rahman.
Pernyataan
sulitnya mendapatkan kayu leban dibenarkan tauke pemilik galangan kapal Gih
Huan. Menurut arsitek kapal nelayan asal Bagansiapi-api ini untuk memenuhi
keperluan satu kapal saja mencari kayu leban kemana-mana, terutama di
perkampungan sepanjang Sungai Rokan. ''Terkadang itu juga payah dan tak bisa
dipenuhi dalam waktu satu dua bulan. Makanya jangan heran kalau bahan untuk
pembuatan kapal kita sering kekurangan,'' lanjut Gih Huan.
Bukan gading-gading
saja untuk mendapatkan papan untuk membuat badan kapal juga sangat sulit.
''Jadi apa dikatakan para pekerja pengangkut kayu menggunakan gerobak itu
benar. Karena mereka tak bisa mengangkut kayu leban dan papan lagi. Susah kita
nak dapatkan. Kalaupun ada dari sisa hutan orang membuka kebun sawit,''
jelasnya.
Untuk papan-papan,
gading-gading dan lunas kapal biasanya mengangkutnya menggunakan gerobak sampai
di galangan kapal. Dan biasanya
diberikan upah hitungannya per ton, atau per batang. ''Tapi biasanya pakai ton.
Jadi mudah menghitung biayanya,'' kata Gih Huan. (erwan)
Comments
Post a Comment