Selat Sinaboi Dulu dan Sekarang

Selat Menyempit dan Banyak Menjadi Daratan



Selat Sinaboi sudah mulai dangkal sehingga pompong atau kapal nelaya bisa menepi ketika air pasang naik saja. Dengan kondisi tersebut selat yang dulunya menjadi sumber berlimpahnya ikan dan udang tak lagi diramaikan dengan pompong yang berlabuh yang memasang jaring dan bubu. Kalaupun ada hanya di tengah-tengah selat saja, itupun ketika pasang naik tinggi.


MATA Abu Hasan (40) menatap tajam jauh ke arah selat antara Pulau Sineboi dari kursi tempat duduk yang disediakan pemilik kedai kopi yang terletak di Desa Sineboi Kecil dan hanya  berjarak sekitar 100 meter dari bibir pantai Selat  Sineboi.
''Melaut sudah menjadi pekerjaan rutin saya. Jadi laut Sineboi  ini sudah menyatu dengan hati saya. Walaupun kini sudah dangkal tetap saja ia bisa memberikan penghidupan kepada saya,'' kata Hasan.
       Dengan kelopak mata yang sudah mulai turun dan terlihat guratan yang menghitam, kemudian alis matan dan kepalanya yang sudah mulai ditumbuhi rambut putih, tetap saja anak matanya masih melihat dengan tajam dan tanpa memakai kaca mata. Matanya sesekali tertuju kepada setiap kapal nelayan yang melintas di selat Sineboi dan juga para warga yang datang di kedai kopi tersebut.
    Nelayan pribumi yang setia dengan Selat Sineboi ini, sesekali menghisap dalam-dalam rokok kretek yang ada di jari tangannya. Kemudian dilepaskannya secara perlahan-lahan dari  bibirnya yang sudah hitam akibat dimakan usia dan juga akibat panasnya bara rokok yang menjadi temannya selama ini melaut.
Dengan suara agak serak, dirinya memulai bicara dengan Riau Pos, terutama tentang kemashuran Sineboi Kecil dan Sinaboi Besar  dengan hasil tangkapan ikan, udang dan kerangnya.
    Abu Hasan, yang sejak 40 tahun lalu setia dengan laut Sineboi ini menguraikan satu per satu penyebab berkurangnya tangkapan nelayan. Hal ini disebabkan mulai mendangkalnya  selat antara Sineboi Kecil dan Pulau Sineboi. Makanya, yang dulunya warga menjadi nelayan sekarang berpindah pekerjaannya menjadi petani kebun sawit, padahal yang selama ini para warga Sineboi menggantungkan hidup dan membiayai anak sekolah dari hasil tangkapan ikan di laut tersebut. ''Kalau sekarang orang sini banyak bekebun sawit. Dah mulai meninggalkan laut ini, karena tangkapan ikan semakin berkurang,'' jelas Abu Hasan dengan suara agak parau. Dulu patin ada, terubuk ada sekarang payah nak didapatkan. 10 tahun lalu, kalau jaring 30-50 depa bisa dapatkan ikan berton-ton, tapi sekarang nak cari ikan 10-20 kilo pun payah,'' lanjutnya lagi.
      Dirinya juga menceritakan banyak nelayan yang sebelumnya memiliki kapal jaring, tapi besarnya biaya operasional dan berkurangnya tangkapan ikan membuat mereka harus menjual kapal tersebut. ''Kalaupun ada sekarang, kapal-kapal milik tauke yang pada umumnya milik orang tionghoa sebab mereka ada bangliau. Sedangkan warga yang ingin tetap melaut harus rela pakai sampan (perahu kecil) dan juga perahu yang diberi mesin,’’ jelasnya.
     Meskipun banyak warga beralih pekerjaannya, namun Hasan tak pernah berpaling dari mengais rezeki atau memenuhi kehidupannya dari hasil tangkapan ikan dan udang di Selat Sineboi tersebut. ''Dulu saya memang mencari ikan dan udang pakai bubu tegak dan menjaring, tapi sekarang dah tak kuat. Sekarang lebih memilih memasang lukah dipinggir pantai. Lukah dipasang saat air pasang naik dan diangkat pada saat air laut surut,'' kata kakek yang mengakui sering dimarah oleh anak dan cucunya ini, karena masih tetap hobi melaut.
     Menurut pengakuannya, per hari dirinya hanya bisa menangkap ikan sejenis Sembilang hanya 5-6 kilogram, tapi saat Riau Pos menyaksikan dirinya membongkar tiga lukah yang dipasangnya di tonggak-tonggak rumah milik para tauke atau pemilik bangliau di pinggir pantai, Sieneboi kecil lebih dari itu. Dari tiga lukah buluh yang diangkatnya tersebut, bukanlah sedikit bahkan satu lukah isi ikan sembilangnya mencapai 3-4 kilogram dengan ukuran kecil hingga sebesar legan orang dewasa. ''Saya hidup dari laut ini. Kalaupun berhenti kalau saya dah tak kuat lagi,'' ucap Abu Hasan.
     Berkurangnya tangkapan ikan bukan bearti para nelayan tak bisa melaut. Hanya saja, ungkap Muhammad Arif  (46) pemilik kedai kopi menyela, di selat ini tak lagi seperti dulu. ''Dulu nelayan menjaring dan memasang bubu tegak dalam selat ini, tapi sekarang tak bisa, sebab sudah dangkal. Jadi nelayan memilih memasang bubu di tengah laut atau teluk antara pulau-pulau yang ada di depan Bagansiapi-api,'' jelas Arif.  
     Diakui Arif, beberapa sungai yang ada di Kecamatan Sineboi saat sekarang juga ikut kering akibat pendangkalan air Selat Sineboi. ''Dulu Sungai Bakau, Sungai Sineboi besar dan Sineboi kecil ini dalam bermacam ikan ade. Kalau sekarang air surut sungai kering, kalau pasang naik baru ada air,'' jelasnya.
      Meskipun sulit mencari ikan di selat Sineboi kecil maupun besar belum mematikan penghasilan warga. Tangkapan berkurang masih batas wajar, sehingga tetap saja dua daerah ini sekarang sebagi penghasil ikan dan udang di Kabupaten Rohil.
       Hanya saja untuk saat sekarang pendapatan ikan bagi nelayannya kalah saing dengan penghasilan nelayan yang ada di Pulau Halang dan Panipahan. Berkurangnya tangkapan ikan para nelayan ini berakibat, para tauke ikan yang dulunya berada di Sineboi Besar dan Kecil mulai angkat kaki pindah ke Pulau Halang dan juga Panipahan yang saat sekarang penghasil ikan terbesar di Rohil.
      Akan tetapi sebagian pemilik bangliau masih tetap bertahan, Seperti di Sineboi Kecil Kecamatan Sineboi hanya tinggal 10-20 bangliau yang masih aktif. Dan bangliau ini pada umumnya dimiliki para warga tionghoa yang sudah puluhan tahun tinggal di daerah tersebut. 
     Salah satu pemilik bangliau yang masih bertahan di Sineboi kecil yaitu Asiong. Pasalnya Asiong memiliki delapan kapal nelayan yang setiap hari memasang dan membongkar bubu tiang miliknya. ''Bubu tiang tak bisa dipasang di Selat ini,  tapi jauh di tengah laut Selat Melaka. Jadi pada saat air surut dan pasang saja para anak buah kapal akan mengantar ikan ke bangliau ini,'' kata Asiong yang saat itu sedang memilah ikan dan udang yang baru diangkut oleh kapal miliknya saat itu.
        Bukan Asiong sendiri memilih dan memilah ikan dan udang, akan tetapi dirinya juga mengambil pekerja dari warga tempatan terutama para ibu-ibu rumah tangga. ''Sampai saat ini hasil ikan dan udang masih lumayan, tapi tak seperti dulu. Meskipun tak seberapa tetap saja saya menempatkan para pekerja dari desa ini terutama ibu-ibu rumah tangga,'' jelasnya. Dikatakannya, untuk per hari para ibu-ibu yang memilih dan mengupas kulit udang besar diberi gaji sebesar Rp25-30 ribu per hari.
      Menurut Asiong tangkapan ikan dan udang sangat jauh menurun, hal ini disebabkan para nelayan yang menangkap ikan di perairan Bagansiapi-api bukan saja datang dari beberapa pulau di Rohil akan tetapi juga datang dari daerah Medan, terutama dari Tanjung Balai Asahan, bahkan dari Malaysia dan Thailand. ''Jadi kita benar-benar bersaing untuk menangkap ikan. Kalau jaring kita pendek, kalau dari Tanjung Balai Asahan dan dari negara lain itu jaringnya panjang-panjang dan pakai kapal besar,'' jelasnya.
     Hal serupa dikatakan Olan (45) warga Sineboi Besar, yang saat sekarang hanya memiliki satu kapal untuk menangkap ikan. ''Dulu punya tiga kapal, tapi sekarang tinggal satu. Sebab dua sudah dijual, tak sanggup untuk biaya operasional. Pendapatan ikan tak mencukupi untuk menutupi operasional,'' tegasnya.
                                                 Ketika Penghasilan Ikan Tak Menjanjikan
Berkurangnya penghasilan dari menangkap ikan, berbagai alternatif mulai digeluti para nelayan yang dulunya menggantungkan diri sebagai nelayan. Salah satu alternatif yang dilakukan warga yaitu berkebun sawit dan berladang.  Pasalnya penghasilan kebun sawit untuk saat sekarang cukup menjanjikan bagi masyarakat Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). Begitu juga berladang kering atau menam pada di lahan terbuka dan tanpa irigasi.
    Bukti dua lapangan kerja ini sangat mengiurkan masyarakat di Kecamatan Sineboi pasalnya saat sekarang tak  bercocok tanam sawit dan padi. Hal ini terbukti ketika kami mendatangi kecamatan penghasil ikan di Rohil ini hamparan padi menguning dan diselingi pohon sawit menghijau sangat mengobati mata dari debu yang beterbangan di jalan yang baru dilakukan pengerasan. Walaupun sebagiannya sudah di hotmix.
     Berpindah sebagai petani sawit dan padi ini seperti dilakukan Yusuf (40), Warga Kecamatan Sineboi.  Padahal dulunya, Yusuf merupakan nelayan aktif , pasalnya sejak kecil dirinya sudah dikenalkan orangtuanya di laut. ‘’Sekarang melaut tak menjanjikan lagi, sebab tangkapan ikan di Sineboi berkurang betul. Kalaupun ada hanya beberapa kelompok nelayan yang saat sekarang masih ada alat tangkapnya,’’ kata warga akrab dipanggi Usuf ini.
    Menurutnya, untuk saat sekarang banyak pembukaan lahan baru, sehingga para nelayan memilih untuk mencari rezeki dari sumber lain. ‘’Sawit saat sekarang menjanjikan, tapi memang hasilnya tiga-empat tahun baru ada, tapi sebelum sawit berhasil para warga memilih menanam padi, sebab padi juga tubuh bagus di daerah ini,’’ tegasnya.
    Sebagai tokoh masyarakat, dirinya mengakui adanya peralihan pencarian masyarakat ini akibat kurangnya tangkapan ikan dan tak menentunya angin di Selat Malaka saat sekarang ini. Selain itu para nelayan harus bersaing dengan para nelayan dari daerah luar, terutama dari Tanjung Balai Asahan dan juga Malaysia. ‘’Memang tangkapan ikan masih ada, tapi tak sesuai dengan biaya operasional yang dikeluarkan saat turun melaut,’’ ucapnya lagi.***






Comments

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar