Bersahabat dengan Gelombang Tanjung Jati
Mendapatkan penghasilan memadai setiap
bulannya dan bisa berkumpul dengan keluarga siang dan malam idaman setiap
orang. Namun tidak bagi Romi dan Herwandi, nelayan pengerih di Desa Tenggayun,
Kecamatan Bukitbatu, Kabupaten Bengkalis siang dan malam berjibaku dengan
gelombang Tanjung Jati dan juga isi pengerih demi menghidupi keluarganya.
Bukit Batu
Romi sibuk membersihkan udang hasil tangkapan dari tengah Selat Tanjung Jati. |
UDANG duri
yang terjemur di petia (tempat
jemuran) beralaskan kain seperti kelambu hitam dengan lebar semeter dan panjang
kurang lebih lima meter sudah mulai memerah dan kering. Mengeringnya udang ini
setelah teriknya matahari sejak pagi hingga ke petang.
Jemuran menjulur panjang mengarah Selat Melaka
tepatnya ke Tanjung Jati tersebut
didekati Romi dan dengan perlahan tangannya mulai mengangkat-angkat
jaring seperti kelambu itu. Udang yang sudah meresik itu dengan seketika
teronggok ke tengah kelambu hitam itu. Kemudian Romi kembali berpindah ke
jemuran udang lainnya.
Terdapat lima onggok besar udang kering yang sudah siap
dibuang kulitnya.
Setelah
terkumpul Romi pun bergegas membawa onggokkan udang duri kering tersebut ke
dalam gudang. Ternyata di dalam gudang berukuran 3x4 meter itu sudah terlihat
menggunung udang kering yang siap dibuang kulitnya. ‘’Udang ni kalau dibuang kulit sikit jadinya.
Kalau belum dibuang, ye nampak
banyak,’’ jelas Romi sambil mengangkat onggokkan udang terakhir di petia ke dalam gudang (bangliau).
Beberapa
menit kemudian tampak Romi mulai mengambil goni atau karung plastik. Romi pun
mulai menyekop udang kering dan memasukkannya ke dalam karung tersebut.
Seketika karung berisikan udang kering tersebut dihempas-hempaskan ke lantai
oleh Romi. ‘’Peng, peng, peng,’’ bunyi lantai dipukul dengan karung berisi
udang saat itu. ‘’Ginilah cara membuang kulit udang tu. Sebab kalau dipukul
dibuka satu-satu bile siapnyo,’’ ujar
Romi sambil terus menghempas-hempas karung ke lantai.
Lanjutnya,
seperti beberapa tempat tangkapan udang seperti di Bagansiapi-api nelayan yang
membuat udang kering menggunakan mesin untuk mengupas kulitnya. ‘’Kalau kami
nelayan di Tenggayun ni masih seperti
zaman dulu, pakai hempas gini menanggalkan kulit udang. Makanya kalau tak
kering betul udangnya payah nak
tanggal kulitnya,’’ jelas Romi lagi.
Dikatakan
dia, udang kering atau ebi ini menjadi idola bagi nelayan pengerih di
Tenggayun. Selain udang kering kata Romi, ikan lomik dan ronjing atau ikan bulu
ayam yang terkenal di Pekanbaru juga banyak didapatkan. Masih tetap bertahannya
para nelayan di Tenggayun ini, karena masih menjanjikannya udang duri dan juga
ikan lomek dan bulu ayam tersebut.
Udang kering
atau ebi ini banyak peminatnya, apalagi banyak pernyataan para pembeli untuk
ebi berasal dari udang duri lebih manis. Menurut Romi udang kering atau ebi
yang dihasilkan dari pengerihnya tersebut cukup lumayan. Dalam satu bintang
atau pekan bisa mendapatkan minimal 30-40 kilogram udang kering. Sedangkan
untuk per kilogramnya ditolak atau dijual kepada pengepul berkisar Rp90-100
ribu. ‘’Ancamannya hanya musim hujan. Kalau musim panas atau tak hujan udang
didapatkan paling lama dua hari dan kering. Tapi kalau musim penghujan seperti
sekarang bisa seminggu baru kering,’’ jelas Romi.
Begitu juga untuk tangkapan ikan lainnya
sangat berpengaruh pada alam. Bukan hujan dan panas saja, akan tetapi jika
musim angin tiba. Sebab laut akan menggelora, gelombang besar pun tiba. ‘’Tapi
itulah nasib nelayan ni. Hadapi ajalah,’’ ujarnya.
Menangkap Udang
dan Ikan Siang dan Malam
Menangkap ikan menggunakan perahu kolek tak memiliki
tempat berlindung sudah tak dipermasalahkan. Bahkan dengan menggunakan penerang
seadanya berupa satu unit senter yang diletakkan di kepala menjadi penunjuk
arah.
Malam itu
sekitar pukul 22.00 WIB, Romi ditemani Fika mulai menghidupkan mesin robin yang
ada di belakang perahu kolek miliknya. Desingan mesin robin yang biasanya
dimanfaatkan warga untuk menyedot air tersebut dimanfaatkan nelayan Tenggayun
untuk menjadi mesin penggerak perahu mereka setiap harinya. ‘’Nak beli pompong
tak sanggup pak. Alhamdulillah dengan
perahu bermesin robin ini tak ada permasalahan hingga sekarang,’’ jelas Fika kepada Riau Pos.
‘’Ala bisa
karena biasa’’ . Bahasa ini mungkin patut diberikan kepada Romi dan Fika, sebab
tampa basa basi perahu terus melaju ke tengah selat dan menuju ke arah Tanjung
Jati. Semakin jauh tak terdengar lagi desingan mesin robin, tapi hanya terlihat
cahaya lampu yang ada di kepala Romi yang berpendar-pendar dari kejauhan. Anehnya
dari 16 mata pengerih yang dimilikinya
tak satupun terabaikan atau tertinggal bahkan tak pernah tersesat.
Romi dan
Fika melaju ke tengah selat mengangkat belasan pundi pengerih yang menjadi
harapannya tiap siang dan malam. Dengan begitu dia harus mengangkat 16 pundi
pengerih setiap pasang naik dan saat pasang surut. Malam itu pendapatan dari
belasan pengerihnya cukup lumayan. Sejam di tengah laut petak tengah perahunya
menggunung udang bercampur dengan ikan gonjing, udang pepai dan jenis-jenis
ikan lainnya. ‘’Lumayanlah,’’ jawab Romi sambil mengarahkan cahaya senter di
kepalanya di geladak atau petak tengah perahunya saat itu.
Saat itu
juga Romi bergegas naik ke atas bagan atau toggok bagi nelayan Tenggayun
menyebutnya. Romi langsung membawa pungkis (bakul terbuat dari rotan) dan
melemparkannya ke dalam perahu. Selain pungkis dia juga memberikan raga yang
dibawahnya terdapat jala bermata halus seperti kelambu kepada Fika. ‘’Ini raga
untuk mengayak udang dan ikan. Mengayak atau memisahkan udang pepai tugas Fika.
Sebab saat membuka pundi itu tugas awak,’’ jelas Romi sambil melempar raga
dengan menggunakan tambang kecil ke arah Fika yang berada di tengah perahu.
Benar saja
sambil mengayak ikan di dalam air tersebut ikan-ikan gonjing menimbul dari air
dan menggunakan tapisan yang sederhana. Dengan cekatan tangan Fika mengambil
ikan-ikan gunjing timbul itu dan memasukkan ke dalam pungkis. Sedangkan udang
duri dan berbagai jenis ikan lainnya dimasukkan ke dalam pungkis yang lainnya.
Berbagai
jenis ikan dan udang di dalam pungkis tersebut kemudian di naikkan ke atas petia menggunakan tambang. Sesampai di
atas petia atau jeramba panjang
tersebut dionggokkan ke tempat pemilihan atau pemisahan antara ikan dan udang.
Melawan Ombak dan
Badai
Menjadi nelayan di tengah laut apalagi berhadapan dengan
Tanjung Jati dan Selat Melaka tentu tantangannya adalah ombak besar dan juga
badai. Ancaman inilah membuat para nelayan rigun (ciut atau was-was) ketika berada di tengah selat bahkan di atas
togok.
Seperti
dikatakan Herwan, jika musim angin Utara dan Barat Laut tiba para nelayan
terkadang rigun dan terkadang harus tak melaut. ‘’Ombak besar dan angin kencang
jadi taruhannya. Sebab banyak kejadian di Tanjung Jati ini pada musim Utara dan
Barat Laut,’’ jelasnya.
Bahkan
orangtuanya dan keluar pernah hampir tak bisa tiba ditepian ketika diterjang
badai pada musim Angin Utara beberapa waktu lalu. Tapi kata Herwan pengalaman
mengajarkan para nelayan yang ada di laut dan selat. Para nelayan paham betul
jika siang hari pokok hari atau awan pekat naik dari sebelah Barat para nelayan
langsung berkemas dan segera meninggalkan laut. ‘’Kalau dah meminggang pokok hari hitam pekat tu jangan ditunggulah, langsung naik ke togok,’’ jelasnya.
Romi sendiri
pernah pengalaman pada musim Utara ombak besar sempat naik ke atas petia atau jeramba togoknya. ‘’Di togok ni pernah gelombang musim utara naik.
Tapi Alhamdulillah tak ada masalah
dan togok ni tak rubuh,’’ jelasnya.
Herwan juga
menjelaskan yang sangat berisiko itu ketika mengambil ikan dari pengerih pada
malam hari. Sebab tak nampak pokok hari naik. Pedomannya kata Herwan hanya satu
ketika kilat mulai tegak seakan keluar dari dalam air. Jika tanda itu sudah ada,
maka para nelayan pun tak akan membongkar pundi pengerihnya dan segera berundur
ke tepi atau pulang ke togok. ‘’Tapi itulah lika liku menjadi nelayan.
Bagaimana lagi, ini pekerjaan kita mau tak mau harus dijalani,’’ keluhnya.
Ikan Busuk pun Ada
Harga
Namanya manusia, terkadang pada saat pasang naik atau
surut pada malam hari mereka sempat terlelap. Akhirnya belasan kilo bahkan
puluhan kilogram udang bercampur dengan udang tersebut tak terambil. Hal inilah
disebut para nelayan pengerih ikan atau udang dua kali air (ikan didapatkan
saat pasang naik dan surut).
Sebenarnya
ikan dan udangnya dua kali air ini juga tak terbuang. Bagi nelayan ikan dan
udangnya itu mau tak mau dijadikan ikan
busuk. Meskipun namanya ikan busuk tetap saja ada harga dan ada pembelinya.
Bagi
nelayan pengerih cara kerjanya sampai seperti nelayan gumbang dan bubu. Hanya
saja perlakuan terhadap alat tangkap berupa pundinya berbeda. Alat tangkap jenis gumbang dan bubu nelayan
harus merubah posisi pundinya, jika tidak ikan tak bersisa di dalam pundi sebab
terbuang keluar ketika air pasang naik atau surut. ‘’Kalau pengerih ini kita
tak perlu merubah posisi pundi. Sebab mata atau bagian jaringnya berubah
sendiri atau memutar sendiri. Jadi ikan di dalam pundi atau pusat tempat ikan
berkumpul tak terbuang,’’ jelas Romi.***
Comments
Post a Comment