Pembuat Pompong di Buluh Cina
Aktivitas pengrajin kapal motor kayu di Desa Buluh Cina Kabupaten Kampar mulai terancam. Pengrajin saat ini kesulitan memperoleh bahan baku pembuatan Kapal Pompong atau kapal motor kayu. Kalaupun ada, harga papan, gading-gading, lunas dan broti untuk tangkupnya cukup mahal dan didatangkan dari kabupaten lain di Riau.
Buluh Cina
DESINGAN mesin sinxo dari seberang Sungai Kampar di
seberang Kampung Buluh Cina bertalu-talu dan teratur dengan irama memekakkan
telinga. Bunyian mesin ini sesekali ditingkahi dengan bunyi pukulan palu pada
papan dengan suara berdentum-dentum dan bunyinya sangat teratur. Begitu juga
dengan bunyi mesin pengetam papan yang sesekali memekik mengupas kulit papan
yang kasar dan berbulu akibat gesekan rantai senso.
Bunyi alat-alat tukang yang modren ini
seakan mengajak setiap orang yang datang diperkampungan dibibir Sungai Kampar
untuk mendekat dan ingin mengetahui lebih jauh apa yang terjadi. Begitu juga
Riau Pos kala itu, berusaha mengetahui lebih dekat apa yang terjadi di seberang
sungai yang airnya terus mengalir deras berwarna kekuning-kuningan tersebut.
‘’Itu bunyi mesin senxio dan ketam mesin
orang buat pompong kayu diseberang,’’ ungkap Ria warga yang kala itu sama-sama
berada di dermaga penyeberangan kapal di Kampung Buluh Cina.
Dengan menggunakan kapal motor yang
terbuat dari besi dengan panjang lebih kurang 12 meter dan lebar empat meter.
Di kiri kanan dack disediakan tempat
duduk yang terbuat dari besi kemudian diiringi dengan bunyi mesin domping 24 PK
akhirnya dalam waktu 10 menit kapal besi bercat biru tua ini tiba di dermaga
penyeberangan yang ada di perkampungan seberang.
Satu persatu sepeda motor milik warga
yang kala itu berada di dalam kapal naik dengan suara sedikit memikik. Karena
kondisi air agak surut sehingga dermaga bersandarnya kapal pompong besi agak
tinggi sehingga sepeda motor harus mendaki untuk mencapai di daratan.
Setelah semua sepeda motor dan warga yang
ada di dalam kapal pompong penyeberangan naik, Riau Pos pun meninggalkan kapal
dan naik ke bibir sungai yang konon katanya lumbung pasir dan juga kerikil di
Kabupaten Kampar dan Riau umumnya.
Untuk sampai ke lokasi pembuatan pompong
atau kapal motor yang terbuat dari bahan baku kayu tersebut tak juga mudah.
Bahkan harus melintasi dua tempat pembuatan kapal, yang tidak ada pekerjanya.
Menurut warga setempat tukang pembuat pompong tersebut istirahat karena tak
memiliki bahan baku.
Setelah berjalan sekitar 200 meter dari
dermaga, dan melintasi anak sungai yang sedikit berlumpur dan saat itu harus
membuka sepatu dan menaikkan kaki celana akhirnya tiba di lokasi yang dituju.
Dengan senyum simpul dibibir, Jubir (38) menyambut kedatangan Riau Pos. Sambil memulai percakapan.
‘’Dari mana pak,’’ ucap Jubir sambil terus menhisap sebatang rokok di antara
jari tangannya.
Ditemani Jasri dan Zulkifli, tiga
pengerajin atau pembuat kapal pompong asal Dusun Kampung Baru Kampung Buluh
Cina ini terus melakukan aktifitasnya. Seperti Jasri saat itu terus
memutar-mutar besi hidrolik atau disebut jek
warga setempat. Kemudian memasukkan paku berukuran 2.5 inchi di antara
papan-papan penghubung lambung kapal pompong. Sedangkan Zulkifli terus memotong
gading-gading kapal sesuai dengan ukuran yang telah dibuat oleh kepala tukang
Jubir.
‘’Dah dua pekan ini kita tak kerja, sebab
air sungai naik. Hari ini baru hari keduo kito kerjo. Nasib tak elok listrik
mati pula,’’ kata Jubir.
Jubir yang sudah tiga tahun menekuni
sebagai pembuat kapal pompong dan merupakan buah hasil kepandaian turun temurun
dari ayah dan abang-abangnya ini mengaku bukan permasalahan air sungai meluap
saja mereka tidak bekerja. Akan tetapi ketersediaan bahan baku juga menjadi
faktor utama. Sehingga kapal yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu
singkat akan tetapi harus selesai lebih dari satu bulan. ‘’Kalau bahan baku
tersedia sepuluh hari satu kapal pompong siap kita kerjakan. Kalau tak ado bahan satu tahun pun tak siap,’’
ucap Jubir sambil terus mengemasi kabel listrik yang menghubungi mesin pengetam
papan yang berserakan di pinggir meja tempat dia bekerja.
Mendapat
bahan baku seperti papan, gading-gading, lunas dan tangkup atau kayu bloti berukuran
8x8 inchi sebagai kerangka kapal diakuinya sangat sulit didapatkan. Pada
umumnya bahan baku untuk papan merupakan kayu Meranti, sedangkan untuk
gading-gading, lunas kapal, tangkup kapal biasanya digunakan kayu Semaram,
Kuras atau Kempas, dan paling serendah-rendahnya kayu leban. ‘’Namun kayu-kayu
ini tak bisa kita dapatkan di kampung ini lagi. Kalaupun didapatkan dari
Kabupaten Pelalawan atau dari Langgam,’’ jelasnya.
‘’Kita tahu semua di sini kayu hutan tak
boleh ditebang,’’ lanjut Jubir sambil menunjuk papan ukuran lebar 10 inchi
tebal dua inchi dan panjang 12 meter yang berjejer rapat terjemur. Papan-papan
inilah menjadi bahan dasar pembuatan pompong di Kampung Buluh Cina.
Para pengerajin pembuat kapal pompong
yang terdapat enam tempat di Buluh Cina tersebut semuanya mendambakan bahan
baku papan, gading-gading, lunas dan tangkup kapal pompong dari daerah Langgam.
‘’Kalau tak ado dari Langgam payahlah
kito nak membuek kapal pompong
lagi,’’ lanjutnya.
Bahan
Baku Mahal
Membuat kapal pompong dengan mendapatkan
bahan baku jauh dari lokasi pembuatan tentu menjadi kendala besar. Bahkan bisa
terkena imbas biaya tinggi, sehingga para pengrajin Kapal Pompong di Buluh Cina
mendapat upah cukup makan saja. Karena biaya untuk mendapatkan bahan baku lebih
besar dari upah yang didapatkan.
Dikatakan Jubir, untuk satu keping
gading-gading kapal berukuran 1x30 centimeter per keping dirinya harus
meronggoh kocek sebesar Rp25 ribu. Sedangkan dalam satu kapal pompong terdapat
ratusan gading-gading mulai dari kerangka bawah hingga di dack kapal.
Begitu juga dengan papan untuk membuat
lambung kapal pompong ukuran 18 centimeter kali 12 meter per kepingnya dirinya
harus membayar sebesar Rp150 ribu. Satu pompong bisa memakai papan sebanyak
24-26 keping papan. ‘’Jadi kerjo ko
hanya lopeh makan ajo,’’ ucap Jubir merupakan salah satu
pemilik bangsal pembuat kapal dari enam tempat yang ada di Kampung Buluh Cina
mengeluh. Menurutnya, per hari paling tinggi bergaji Rp80-100 ribu, itu kalau
selesainya dalam waktu 10 hari.
‘’Tengoklah tempat lain tak ado yang
karajo, sebab putus bahan baku. Kemudian mahal pulo sekarang ini,’’ lanjutnya
lagi.
Terputusnya bahan baku karena jauhnya
lokasi penghasil papan, gading-gading dan material lainnya. Bukan bahan baku
kayu saja, untuk material lainnya seperti paku, baut dan lain-lain juga terus
melonjak naik. Untuk satu pompong menurutnya bisa memakai material baut
berukuran panjang ratusan batang. ‘’Kali
aja 15 ribu sebatang,’’ tegasnya.
Agar tak ada pihak dirugikan, kata Jubir,
para pekerja yang dibawanya tak merasa dirugikan dirinya biasanya melakukan
hitung borongan. Dalam hal ini hitung segala biaya pengeluaran pembuatan kapal,
kemudian lebih dari biaya tersebut baru dibagi rata. ‘’Keluarkan semua biaya
bahan baku baru dihitung gaji. Kapal kecil lebihnya ya kecillah gaji didapatkan
dalam waktu 10 hari itu,’’ ucapnya lagi.
Pemesan
Lumayan, Bahan Baku Terbatas
Satu unit
kapal pompong yang lambung kiri kanannya sembilan papan dan panjang 12 meter
dijual seharga Rp12,5 juta. Untuk naik sembilan papan ini mampu mengangkat
barang seberat 4 ton. Sedangkan untuk
yang naik 10 papan dan panjang 12 meter biasanya diharga Rp13,5 juta
sampai dengan Rp14 juta.
‘’Harga relatif rendah. Karena kita hanya
membuat kapal pompong kosong saja, sedangkan mesin pemesan memasang sendiri,’’
kata Jubir dan diiakan Jasri saat itu.
Dalam satu bulan untuk pemesan kapal
pompong lumayan banyak. Bahkan dirinya dalam bulan Januari ini sudah ada tiga
pemesan kapal pompong. Akan tetapi keterbatasan bahan baku maka dirinya
hanya berani membuat satu kapal pompong.
Jubir menegaskan, bukan tak mau mengambil pesanan banyak, akan tetapi takut
kapal tak selesai karena tak ada bahan baku. ‘’Awak tak mau ngambil resiko.
Makanya bulan ini kita berani ambil satu kapal saja,’’ jelasnya.
Rata-rata pemesan kapal berasal dari
daerah Kampung Lubuk Siam, Teratak Buluh, Air Tiris dan daerah lainnya bahkan
sampai ke Pelalawan. ‘’Pada umumnya untuk angkutan material kerikil dan pasir.
Ada juga satu-satu untuk transportasi penunjang untuk menangkap ikan,’’
jelasnya.
Dari pantauan lapangan Riau Pos, memang tidak begitu banyak lagi produksi kapal motor kayu khususnya
di Kampung Buluh Cina. Bahkan banyak kapal motor kayu yang pekerjaan terkesan
terbengkalai atau belum siap dikerjakan karena bahan yang terputus.
“ Kalau kondisinya seperti ini, imbasnya cukup besar.
Karena bukan saja pengrajin kapalnya yang terancam periuknya, akan tetapi
para penambang pasir, kerikil dan
nelayan juga akan terancam. Masalahnya semua kapal
motor itu 50 persen untuk keperluan armada tambang pasir dan
kerikil, sedangkan selebihnya juga diperlukan para petani,”
terang Jasri.
Menurut dia, kalau kondisinya selalu seperti ini otomatis
pesanan kapal motor akan menurun. Sekarang ini saja pesanan kayu hingga kini
belum juga datang,” ujarnya lagi.
Dia menambahkan, dengan adanya keluhan pengrajin selama ini paling tidak
pemerintah dapat melakukan solusi agar, bahan kayu yang selama ini sulit didapatkan dapat teratasi.
Sebab tidak hanya berlaku pada dirinya saja sebagai pengrajin kapal motor.
Tapi ini juga berlaku kepada warga yang ada di Buluh Cina. Apalagi bangunan milik warga disini
rata–rata bangunan kayu,” pungkasnya.
Warga Takut Tebang Kayu
Menurut warga setempat, perlakuan
aparat terhadap masyarakat tidak adil dalam menerapkan hukum. Sejauh ini
berdasar UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, sudah banyak warga yang dijerat
hukum gara gara menebang pohon. Padahal kayu kayu itu diproses hanya untuk
kepentingan rumah tangga seperti membangun rumah dan pembuatan kapal pompong. Tapi para pengusaha dan pemodal yang jelas jelas menebangi
pohon di hutan dalam jumlah besar malah tidak ditangkap.
"Kita berharap pemerintah setempat membangun komunikasi dua arah
dengan pejabat penegak hukum tentang regulasi aturan yang diperbolehkan dan
melanggar dari ketentuan illegal loging
di Riau” harapnya.
Berharap pemberlakuan Undang Undang No 41
tahun 1999 Tentang Kehutanan jangan sampai masyakat
juga dilarang menebang pohon. Mereka yang tinggal di perkampungan sebagian berprofesi sebagai tukang kayu. Jubir mengakui, kalau masalah
pembuatan kapal tak dipermasalahkan pihak aparat, akan tetapi dirinya yakin
para penebang kayu tetap ketakutan.
Agar tak mati
para pengrajin pembuat kapal pompong di Buluh Cina tentu diharapkan suplai kayu
tak jadi kendala. Dan diharapkan para penegak hukum juga memperhatikan
kepentingan perut masyarakat di kampung-kampung yang penghasilannya benar-benar
dari hasil hutan. ***
Comments
Post a Comment