Petani Berhutang ke Tengkulak





Dewa Penyelamat Petani

Alih fungsi lahan dan kena cekik para tengkulak sudah menjadi pilihan para petani padi yang ada di Provinsi Riau. Jika berbicara tentang tengkulak atau penadah gabah bukan berasal dari Riau saja, akan tetapi sudah lintas provinsi. Bahkan saat sekarang gabah yang dihasilkan para petani padi di Riau diangkut ke Sumatera Utara (Sumut) hal ini terjadi di Kabupaten Siak dan Rokan Hilir (Rohil).

Laporan ERWAN, Rohil

Semaian Padi di Desa Serusa, Rohil
HIJAU anak padi di penyemaian dan menghijaunya bibit padi di atas hamparan puluhan hektare sawah di Dusun II Desa Kemuning Muda Kecamatan Bungaraya sangat menyejukkan mata.

Desingan bunyi mesin penyedot air seakan tak bisa mengganggu pemandangan dan telinga saat itu. Belasan kaum ibu-ibu berjejer di atas lumpur sawah yang jaraknya sekitar 200 meter dari badan jalan.  Para ibu-ibu tampak berdiri dan merunduk sambil mengarahkan kakinya mundur ke belakang. Sejumput demi sejumput anak padi ditunamkan akarnya ke dalam lumpur di tengah sawah. Sambil tetap memperhatikan jarak dengan benang yang di tarik lurus dari pematang sawah hingga pinggir jalan.

Iibu-ibu para pengambil upah tanam yang diberi gaji per hektare sebesar Rp450 ini seakan tak memperdulikan sengatan matahari pagi menjelang siang saat itu. Sebanyak  enam orang ibu dengan kepala ditutupi kain dan topi terus melanjutkan aktivitasnya menanam padi.

Tak saja kaum ibu-ibu di tengah sawah berkubang dengan lumpur. Akantetapi tampak juga kaum ibu-ibu yang sibuk mencabut padi semaian. Setelah lebih kurang satu cekak anakan padi yang dicabut ini diikat dengan helai demi helai daun kelapa muda. ‘’Mau ngambil foto kami pak. Cepatlah, biar kami bergaya dulu,’’ gurau salah seorang pekerja yang saat itu.

Hamparan lahan kurang lebih 50 hektare yang berada di Dusun II atau Dusun Padi Jaya ini benar-benar menyejukkan mata. Bahkan salah seorang kawan mencoba turun ke tengah sawah untuk ikut mencabut padi semaian kala itu. Keramahan dan semangat gotongroyong sesama petani ini benar-benar menunjukkan bahwa di desa rasa kebersamaan itu masih tinggi. Terutama dalam hal membuat lahan pertanian atau membuat kebun baru.

Setelah beberapa menit memperhatikan aktivitas para petani pengelola sawah di Dusun Padi Jaya ini. Kami langsung disambut sang pemilik lahan Sawah seluas 1,5 hektare yang saat itu mengawasi langsung para pekerja yang ada di tengah sawah saat itu.

Gunanto (42) sambil menyerumput rokok berujar, bahwa lahan yang sedang di tanam padi oleh ibu-ibu dan bapak-bapak yang pada umumnya warga setempat itu milik mertuanya. ‘’Lahan sawah 1,5 hektare ini milik mertua saya. Saya hanya mengawasi  para pekerja saja,’’ jelas Gunanto yang saat itu menjaga mesin penyedot air di tepi kanal tak jauh dari sawahnya. Saat itu mesin terus mencurahkan air dari selangnya mengarah ke sawah Gunanto.

Menurutnya untuk lahan seluas 1,5 hektare milik mertuanya itu tahun 2012 lalu mempunyai hasil lumayan. Pasalnya tahun lalu menghasilkan kurang lebih 8 ton padi kering. Sedangkan saat itu harga jual padi kering panen kisaran Rp3.500 per kilogramnya. Dan padi kering giling kisaran Rp4.000 per kilogramnya. ‘’Jadi hasilnya cukup lumayan tahun lalu. Pasalnya per hektare hanya menghabiskan biaya kisaran Rp4-6 juta. Itu sudah termasuk pupuk dan upah pekerja,’’ jelasnya.

Setiap musim panen per hektarenya bisa mendapatkan uang kisaran Rp15-16 juta per hektarenya. ‘’Itu untuk sekali panen. Tapi kalau dua kali panen bisa mencapai Rp25-30 juta. Bahkan ada petani bisa mendapatkan uang per tahunnya mencapai Rp56-60 juta per tahun. Jadi sebenarnya menanam padi sangat menjanjikan,’’ jelas Gunanto mengaku kalau anaknya saat sekarang sudah duduk di bangku SMP ini.

Berbeda dengan petani yang lahan sawahnya sewa. Per hektarenya bisa memakan biaya kisara Rp7-8 juta. Pasalnya untuk sewa sawah per tahun bisa mencapai Rp3-3.5 juta. ‘’Meskipun mahal sewa lahan sawah, tetap saja saya sampai sekarang kesulitan untuk mencari sawah yang tak dipakai. Bahkan saya berencana menyewa di Kecamatan Sabak Auh atau Sungai Mandau,’’ jelas Islahudin yang juga Kepala Dusun Padi Jaya Desa Kemuning Muda saat itu.
Menurutnya, untuk lahan sawah yang dia sewa saat sekarang mencapai 2 hektare dan semuanya sudah di tanam. Namun dengan mengambil contoh dari keberhasilan petani padi Bungaraya tahun 2012 lalu membuat dirinya bersemangat untuk menanam padi lebih luas lagi tahun ini. ‘’Kalau masalah modal sebenarnya tak ada permasalahan. Karena tauke (tengkulak,red) siap saja memberi duit yang kita perlukan. Kalau pinjaman Rp5-7 juta tengkulak mau memberi kita,’’ jelas Islahudin yang saat itu langsung mengajak ke lahan kelompok pertanian yang dirinya termasuk di dalamnya. Memang benar di kelompok tani nya ini sudah terdedah hamparan sawah yang nun menghijau hingga ke bibir perkebunan sawit warga setempat.

‘’sekarang kita tak risau gabah atau padi tak terjual, karena selain tauke lokal tauke dari Sumatera Utara juga turun kemari membeli gabah atau padi yang baru kita panen,’’ ucapnya.

‘’Jadi tiba saja masa panen, para tauke atau pembeli datang dari berbagai daerah. Itu membuat kita tak risau,’’ jelasnya.
       Pengalaman petani padi yang tak menghiraukan siapa pembeli padi sama dialami para petani padi Desa Serusa di Kecamatan Sinaboi Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). Ketika padi menguning saja para tengkulak atau pembeli dari Sumatera Utara (Sumut) sudah berjejer di tepi jalan. ‘’Kalau musim panen, para tengkulak sudah bejejer di tepi jalan untuk menampung gabah kami,’’ kata Sulami yang saat itu turun melihat langsung luasan sawah kurang lebih satu hektare miliknya.

Lahan padi kering atau padi tahun milik Sulami bersama anggota kelompoknya tersebut sebenarnya memiliki hasil yang cukup potensial. Hanya saja masalah pengairan sering menjadi kendala. Sehingga tak jarang terjadi kekeringan sehingga padi yang di tanam tak subur dan hasilnya kurang maksimal. ‘’Kalau masalah penjualan tak ada persoalan. Hanya saja kelemahan kita lahan padi di Serusa ini hanya sekali panen dalam satu tahun,’’ jelasnya saat itu.

Menurut Sulami, mulai dari Desa Bagan Jawa Pesisir, Parit Aman dan Serusa pada umumnya petani padi menanam padi jenis Sri Kuning, Segudang (kuku balam) dan ceherang. ‘’Jika tak kekurangan air, padi di hasilkan dalam satu hektare bisa mencapai 6,5 ton sekali panen,’’ ucap wanita yang terus menggerak para petani padi di Desa Serusa Rokan Hilir.

Bagi petani di Desa Serusa untuk biaya bibit padi per hektarenya memerlukan biaya sebesar Rp550 ribu. Kemudian upah tanah sebesar Rp1.150.000. Kemudian untuk pestisida, racun rumput, penyemprotan pupuk Rp1.250.000. ‘’Kalau untuk panen atau nuai lagi lagi, per orang dalam sehektare sebesar Rp210.000. Kali aja kalau 10 orang yang panen tentu sangat besar biayanya. Sedangkan kita memerlukan biaya besar,’’ jelas Sulami lagi.

Makanya keberadaan tengkulak masih tetap kuat di Dea Serusa, walaupun sudah memiliki koperasi tetap saja tak sanggup bersaing masalah harga. Sehingga tak sedikit padi dari Rohil diangkut para tengkulak dari Sumatera Utara. Akibatnya dengan kesewenangan tengkulak, membuat petani menangis. Bahkan sistem ijon membuat masyarakat menjerit. Seharusnya harga bagah kisaran Rp3.000 bisa terjual pada tengkulak kisaran Rp1.700 per kilogramnya.’’Tapi tak semua tergantung tengkulak. Jadi sebagian kecil saja,’’ jelasnya.

Agar tertutup ijon, maka tak sedikit pula petani menjual kepada tengkulak yang dari Sumatera Utara. Yang rata-rata mereka langsung membeli padi yang baru siap panen dengan harga tinggi kisaran Rp3.000-3.200 per kilogramnya. ‘’Jadi jangan heran jika musim panen tronton dan dump truk masuk ke tempat kami ini. Kalau sudah sampai Sumut jadilah beras Kuku Balam. Yang pada umumnya kita beli lagi,’’ ucapnya.

‘’Tengkulak Membantu Kami’’

Keberadaan tengkulak atau penampung gabah para petani di Kecamatan Bungaraya sebenarnya sangat membantu petani. Hal ini terucap dari salah seorang petani Dusun II, Misnanto (45). Walaupun tahun 2012 lalu dirinya sempat gagal panen karena melakukan uji coba IP300 atau panen tiga kali dalam satu tahun tetap saja, di awal tahun 2013 bisa menanam padi kembali berkat bantuan para tengkulak.

‘’Bagi kami mereka bukan tengkulak, tapi mereka mereka tauke kami yang siap membantu setiap saat,’’ jelas Misnanto.

Mengapa demikian, kata Misnanto, walaupun gagal panan pada saat penanaman akhir tahun 2012 lalu, tetap saja musim tanam tahun 2013 ini dirinya bisa memakai modal dari tauke. ‘’Tahun lalu saya harus rugi dan tak bisa membayar hutan sekitar Rp4 juta sama tengkulak. Tapi awal tahun ini saya bisa pinjam Rp4 juta lagi. Kan sangat membantu. Kalau menunggu pinjaman di UEK atau bank belum tentu bisa keluar secepat yang kita inginkan,’’jelas Munanto.

Tengkulak sebagai penolong ini benar-benar realita. Sebab Islahudin juga mengutarakan hal yang sama. Karena beberapa petani sudah mengajukan pinjaman untuk KUR di salah satu perbankkan. Tapi sayang, kata Islahuddin, sampai sekarang KUR tak juga cair, padahal musim tanam sudah tiba. ‘’Kalau tengkulak, hanya catat di buku saja uang langsung dapat. Bahkan ada beberapa tauke mengantarkan uang pinjaman ke rumah kita. Kan lebih membantu mereka dari perbankan dan lainnya,’’ jelas Islahuddin dan diiakan Zainal Arifin sebagai Ketua Gapoktan Sri Kemuning.

Menurut Zainal Arifin, tauke-tauke kepada petani hanya mengandalkan kepercayaan. Asalkan dalam panen menyerahkan padi kepada mereka ataupun membayar hutan dengan sesuai kesepakatan tak ada persoalan. Menurutnya untuk setiap musim tanam per Rp1 juta dikenakan tambahan sebesar Rp150.000. Jadi, jika meminjam Rp4 juta maka setiap petani hanya menambah uang sebesar Rp600 ribu dari pinjaman pokok. ‘’Kalau tak terbayar atau gagal panen bisa di bayar pada tahun berikutnya. Makanya petani sangat terbantu dan merasa tak dirugikan. Sebab bisa menjual kepada penampung lainnya,’’ jelas Zainal Arif lagi.

Terkadang hati terenyuh juga, ketika padi-padi atau gabah diangkut ke Provinsi lain. Akantetapi untuk dijual tingkat lokal harga tak bisa bersaing. Sehingga mau tak mau harus dijual ditingkat tengkulak. ‘’Walaupun selisih Rp100 per kilogram, tapi kalau dikali empat ton sudah berapa duitnya pak. Jadi kalau memang pemerintah berperan saya yakin beras tak lari keluar,’’ jelasnya.

Pengairan Bisa Pangaruhi Alih Fungsi Lahan

Penanganan cepat masalah pengairan atau irigasi sawah atau ladang perlu ditanggapi serius pemerintah. Jika tidak ribuan lahan sawah atau ladang kering masyarakat berubah menjadi perkebunan lainnya terutama kelapa sawit.

Hal ini seperti terjadi di Desa Serusa Kabupaten Rokan Hilir, sejak  sembilan tahun lalu soal pengairan selalu terkesampingkan. Sehingga ratusan hektare lahan sawah atau ladang kering masyarakat beralih fungsi menjadi kebun sawit sekitar 486 hektare lahan sawah atau ladang kering saat sekarang menjadi lahan sawit. Dan tinggal 300 hektare yang masih bertahan untuk ditanami padi. ‘’Padahal dulu lahan padi di Serusa mencapai 1000 hektare lebih. Hal ini lagi-lagi persoalan air atau pengairan. Karena terjadi kekeringan dan kurang produktif padi makanya warga berpindah menanam kelapa sawit,’’ jelas Sulami.

Tapi semakin terperhatikan pengairan air atau irigasi membuat kelompok tani miliknya tetap bertahan. ‘’Jika tidak sulit juga baginya untuk meyakinkan masyarakat.Apalagi jika lahan sawahnya sudah kering. Daripada tak berpreduksi lebih baik di buat kebun,’’ tegasnya.

Persoalan alih fungsi lahan ini juga terlihat di Desa Kemuning Muda, puluhan hektare lahan sawah sebelumnya ditanami padi saat sekarang sudah tumbuh batang sawit berumur 3-4 tahun. ‘’Kita juga sebenarnya sangat kecewa mengapa ditanami sawit. Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa saat itu karena lahan tersebut milik mereka,’’ jelas Zainal Arifin.

Tapi dengan adanya kesepakatan masyarakat desa dan kelompok tani yang ada, jika sawit-sawit milik warga itu tergenang air ketika musim tanam jangan disalahkan. Karena sudah resiko mereka. ‘’Alhamdulillah para pemilik kebun sawit tak marah. Karena itu kesalahan mereka,’’ jelasnya.

Namun demikian Zainal Arif juga menegaskan, persoalan irigasi dan pengairan sangat berpengaruh terhadap masa tanam dan pemupukan. Jika air tak ada dirinya yakin persoalan alih fungsi lahan bisa saja terjadi. Apalagi jika padi gagal panen setiap tahunnya. ‘’Kita tahu padi memang menguntungkan. Tapi kalau gagal panen tentu kita makan daun padi dan modal tenggelam,’’ jelasnya. ***



Comments

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar