Surat Kematian (1)




SENGATAN matahari tak menjadi hal menakutkan bagi warga tepian Pantai Timur Sumatera. Begitu juga derasnya arus dan tingginya gelombang Selat Melaka bukan momok menakutkan bagi perahu-perahu nelayan.
‘’Mungkin di sini akhir hidupku,’’ ucapan batin Duan lirih mengenang hidupnya yang serba kekurangan. Matanya berbinar dan hampir tak berkedip memandang jauh ke tengah barisan ribunan kelapa sawit.
Bulir putih tanpa terasa sudah mulai meleleh dan mengalir deras ke arah pipinya. ‘’Ah cengeng betullah. Masa ia orang jantan kalah dengan segala cobaan hidup,’’ seketika di telinganya ada yang membisikkan semangat untuk terus berjuang untuk melawan kerasnya kehidupan di dunia.
‘’Semua tuhan yang mengatur. Kita hanya menjalani dan berusaha,’’ ucapan positif kembali berbisik di telinga kanannya.
Sambil meletakkan tangan ke matanya, Duan tanpa sengaja telah mengusap air bening terus mengalir dari kedua belah matanya. Dalam batinnya berkata, seluas ini alam diciptakan Allah SWT, tak mungkin tak bisa hidup. ‘’Hanya orang manai (malasan) yang tak bisa berhasil. Ayo Duan kamu bisa,’’ ucapnya sambil melangkah menuju dapur rumahnya sambil mengambil air dari peran rumahnya.
Dengan meneguk air segelas, dirinya pun bergegas menuju bangsal rumahnya. Duan seakan terkesima dengan bisikan semangat yang didengarnya. Tangannya terus mengutas tali dan memasukkannya ke dalam karung. Setelah selesai mengutas talli, tangannya pun cepat-cepat mengambil karung berisikan jaring.
Dipikulnya karung tersebut dan mulai melangkah meninggalkan rumahnya. ‘’Dek abang pergi dulu. Air timpas kang baru balek,’’ Duan hanya berjaung dari halaman rumah memberitahu kepada isterinya Dare yang sibuk menganyam tikar pandan di tengah rumah.
‘’Iye bang hati-hati. Moge dapat lebih rezeki kite hari ni bang,’’ ucap Dare sambil terus menindas pandan untuk dirangkai menjadi tikar.
‘’Amin.’’ Duan membatin menyahut doa istrinya.
Karena letak tepian pantai tak jauh dari rumahnya, sekitar 10 menit dirinya sudah tercongok di tepi sesai (1). Tanpa berpikir panjang dirinya pun mulai merandah air di gigi sesai dan menuju sampan kolek miliknya yang betambat sekitar 50 meter dari tepian. Sambil meletakkan karung berisi jaring dan tali, Duan mulai membuka tali dari pancang tempat dia menambat.
Seketika, dirinya langsung naik ke sampan kolek. ‘’Ah letihnya,’’ ucapnya sambil mereguk  air dari dalam botol terletak di tangkup sampan miliknya. Berhenti beberapa saat kemudian dirinya merebahkan badan ke lantai sampan. Mulai hilang rasa letih, dirinya pun mulai meraih dua dayung dan mulai mengarahkan sampannya menuju ke tengah selat.
***
Sekitar satu jam mendayung, akhirnya Duan mulai mengeluarkan isi jaring dari dalam karungnya. Dirinya pun mulai menebar jaring dan sekitar 20 menit 10 keping jaring selesai diturunkan ke air. 
‘’Alhamdulillah selesai juga,’’ ungkap Duan sendiri sambil menghela napas panjang. Dan seketika itu pula dirinya meraih botol air. Sesaat kemudian Duan mulai menegakkan kajang untuk berlindung dari panas.
Selesai itu dirinya pun mulai meraih botol yang sudah dililiti tali. Rupanya benda itu kail tradisional dengan teknik menggunakan tali biasa dan menariknya dengan tangan. Sambil menfaatkan sisa siput blongking dan pumpun dijadikan umpan siang itu. Setelah memasang pancing ke tengah laut. Dirinya pun mulai merebahkan badan. Tanpa sadar dirinya terlelap tidur.

Comments

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar