Berkebun Nenas di Siak, Riau



 Asam Manis Nenas hingga Lintas Provinsi

Panan Nenas di Teluk Batik, Siak
Tak hanya perkebunan sawit dan karet saja menjanjikan, akan tetapi berkebun nenas juga bisa memberikan kelebihan dan bisa menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Berkebun nenas tak lagi menjadi sampingan bagi masyarakat Telukbatil dan Tanjungkuras, Kecamatan Sungai Apit tapi sudah menjadi pekerjaan harian.

LAJU sepedamotor yang dikendarai Suherman (46) di jalan tanah redang (gambut) yang sudah ditaburi pasir dan batu kerikil (Sertu)  terlihat melonjak-lonjak. Sekitar 20 menit melintas Jalan Harapan, pandangan matapun dimanjakan hamparan kebun nenas yang tertata rapi memanjang lurus ke belakang. Dari kejauhan terlihat seperti petakan-petakan atau gelombang.
     Sedangkan di atas rumpun-rumpun nenas tersebut menyembul buah yang bermahkota di atasnya. Rumpun nenas ini seakan memanggil Riau Pos untuk mengambilnya, apalagi nenas lokal tersebut sudah mulai menguning alias siap panen. Namun laju sepedamotor yang dikendarai Suherman tak berhenti juga tetap melaju.
     Beberapa saat kemudian akhirnya tiba tempat yang dituju, sama seperti pemandangan semula,  rumpun nenas yang tertata dengan rapi dan buah-buah menyembul. ‘’Inilah kebun nenas saya pak. Tapi belum dipanen, sebab belum masak semuanya,’’ jelas Suherman yang juga pemilik kebun nenas di Desa Telukbatil.
    Menurutnya, apa yang telah dibuat Pemerintah Kabupaten Siak, dengan membuka lahan perkebunan nenas sejak tahun 2003 lalu membuka peluang ekonomi bagi masyarakat. Karena secara otomatis yang selama ini berharap dari melait atau menoreh getah sekarang sudah bertambah berkebun nenas.
    Awalnya masyarakat menanam nenas secara tradisional dan tak tahu pengerjaannya secara professional dan modern. Tapi dengan adanya program pemerintah kala itu masyarakat mendapat berbagai pengalaman pengelolaan kebun nenas. ‘’Dahulunya menjadi pekerjaan sampingan sekarang sudah menjadi pekerjaan utama. Sebab hasilnya sangat menjanjikan dan sudah ada penampung ribuan buah nenas yang dipanen setiap bulannya,’’ jelas Suher.
    Beberapa saat tiba di perkebunan nenas milik Suher, salah seorang tokoh masyarakat Teluk Batil, Ibrahim tiba di lokasi perkebunan. Menurut Ibrahim apa yang dilakukan Pemkab Siak zaman H Arwin AS tersebut sangat membantu masyarakat di Desa Telukbatil, Kayu Ara dan Tanjungkuras. ‘’Dengan hasil menanam nenas sangat membantu perekonomian masyarakat. Walaupun sebelumnya direncanakan dibangun pabrik, tapi sampai sekarang belum ada tetap saja hasil kebun nenas bisa dipasarkan ke mana-mana, dan sekarang Sungai Apit sudah cukup terkenal dengan hasil nenasnya,’’ jelasnya.
    Menurut Ibrahim untuk dua desa yaitu Telukbatil dan Tanjungkuras, jumlah lahan perkebunan nenas mencapai 1,200 hektare. Pasalnya jumlah kepala keluarga yang menanam nenas di Telukbatil sebanyak 300 KK. Begitu juga di Tanjungkuras, jumlah pemilik kebun nenas mencapai 300 KK. ‘’Jadi setiap KK dikali 2 hektare tentu jumlah lahannya mencapai 1.200 hektare. Tapi kalau kita hitung secara nyata mungkin lebih,’’ lanjutnya.
Hasilnya Dua Kali Lipat
Menanam nenas bukan lagi menjadi pekerjaan sampingan akan tetapi sudah bisa menghidupi keluarga bahkan hasilnya tak kalah dengan hasil berkebun sawit atau karet yang selama ini dilakukan masyarakat Riau umumnya.
     Menurut Ibrahim untuk satu hektare nenas bisa ditanam 10.000 batang. ‘’Jadi untuk dua hektare bisa ditanam 20.000 bibit nenas. Pada umumnya nenas yang ditanam masaknya serentak,’’ kata Ibrahim kepada Riau Pos saat itu.
      Untuk modal dua hektare kebun nenas yang selama ini dilakukan Ibrahim berkisar Rp10 juta. Namun penghasilannya bisa dua kali lipat dari modal tersebut. Cerita Ibrahim dan Suherman, untuk menanam kebun nenas, bibit nenas per batangnya seharga Rp200. Kemudian untuk pemeliharaannya seperti menebas kebun sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 1 tahun dua bulan. ‘’Jadi setelah ditanam selama dua bulan langsung diberi etril yang merupakan pupuk perangsang agar berbuah serentak dan masak serentak,’’ kata Ibrahim dan di iakan Suherman kala itu.
     Bekebun nenas yang dilakoni masyarakat Telukbatil dan Tanjungkuras ini tak lagi dengan sistem tradisional akan tetapi sudah modern. Selain membersihkan kebun dengan menebas juga di dilakukan pemupukan. ‘’Kebun nenas kita beri pupuk juga urea untuk percepat pertumbuhan,’’ jelasnya saat itu.
      Agar panen bisa dilakukan dua bulan sekali, dalam  dua hektare kebun nenas itu ditanam secara bertahap. Sehingga masa panen tak lagi menumpuk ribuan biji buah nenas. Jadi, kata Suherman, dalam dua hektare itu dalam satu tahun bisa empat kali panen atau enam kali panen tergantung kita mengaturnya. ‘’Itu tadi kita sudah menggunakan etril sehingga panen nenas bisa diatur,’’ ucap Ibrahim yang saat sekarang sudah menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi terkenal di Riau.
     Jadi untuk sekali panen bisa 400 jerat atau gandeng yang setiap gandeng terdapat dua buah nenas. Dengan begitu dalam satu hari bisa memanen 800 buah nenas. ‘’Semuanya tergantung permintaan dari agen atau pengumpul nenas,’’ jelasnya.
     Bagi dirinya dan masyarakat yang berkebun nenas di Telukbatil, Kayu Ara dan Tanjungkuras tak lagi risau buah nenas di kebun busuk atau tak terjual. Untuk saat sekarang, nenas semuanya memiliki harga. Paling tinggi per renteng atau gandeng untuk ukuran kelas satu diharga Rp9.000 atau Rp4.5000 per buahnya. Sedangkan ukuran sedang Rp2.500 per buah dan ukuran kecil Rp2.000 per buah.
     ‘’Kalau nenas lagi banjir per buahnya ukuran besar Rp3.500,’’ ucap Ibrahim.
Semuanya tergantung permintaan, kata Suherman, tapi yang jelas tak ada pemilik kebun nenas yang merugi. Karena buah nenas dari yang kecil hingga ukuran besar terjual semuanya tinggal perbedaan harganya saja.
 Nenas Dibawa ke Medan dan Padang
 Nenas Sungai Apit, terutama yang berasal dari Desa Telukbatil, Kayuara dan Tanjungkuras saat sekarang bukan lagi merambah di pasar lokal di Kecamatan Sungaiapit dan Kabupaten Siak saja, akan tetapi sudah merambah ke kota-kota dan kabupaten lainnya di Riau. Bahkan tak sedikit agen yang mengambil nenas di Sungaiapit  membawa ke beberapa provinsi lainnya, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
     Seperti dikatakan, Ibrahim dan Suherman dan Fernando (36). Menurut Fernando yang saat itu sedang memanen nenas kala itu bahwa nenas yang dipanennya untuk dibawa ke Padang. ‘’Ini ada permintaan 400 gandeng untuk dibawa ke Padang. Makanya saya panen hari ini, padahal hari ini hari pasar biasanya saya tak ke kebun,’’ jelas Fernando sambil mengisi buah nenas ke dalam keranjang yang berada di sepedamotornya.
    Menurut dia, bertanam nenas tak lagi menjadi pekerjaan sampingan akan tetapi sudah pekerjaan tetap bagi dirinya. Menurut Fernando kebun nenas yang dipanennya tersebut lahannya bukan miliknya tapi orang lain. ‘’Tapi hasilnya cukuplah untuk membayar sewa tanah dan juga untuk hidup,’’ jelasnya.
     Ibrahim saat itu juga menegaskan, kalau nenas yang ada di kebunnya diambil para penampung dari berbagai daerah. Ada dibawa ke Pekanbaru, Kampar, Padang bahkan sampai ke medan. ‘’Jadi tak adalah nenas yang busuk. Kalau tiba musim panen sudah ada penampungnya,’’ ucap Ibrahim lagi.       
Berharap Ada Industri Pengelola Nenas
Dengan banyaknya hasil panen nenas di tiga desa yaitu Telukbatil, Tanjungkuras dan Kayu ara tersebut pemerintah desa berharap mimpi memiliki industri pengelola nenas bisa terwujud di Sungai Apit.
    ‘’Dari hasil panen masyarakat mencapai tiga desa tersebut mencapai 40-50 ton per bulan. Untuk Telukbatil sendiri saja mencapai 20 ton setiap panennya,’’ kata  Sekretaris Desa Telukbatil Arman.
     Dengan besarnya hasil panen nenas masyarakat ini terkadang harga dimainkan para penampung. Terutama saat banjir nenas, harga nenas bisa jatuh hingga Rp2000 per buahnya. ‘’Tapi ketimbang busuk di kebun lebih baik jadi duit,’’ jelas Arman
     Banyaknya hasil panen nenas, masyarakat sudah mencoba membawa nenas ke Pulau Burung yang merupakan daerah memiliki pabrik nenas. Akan tetapi harga tak masuk dengan biaya yang dikeluarkan untuk operasional ke Pulau Burung. Selain itu nenas banyak yang busuk untuk sampai ke daerah tersebut. ‘’Dulu pernah dibawa ke Pulau Burung, harganya tak masuk dan masyarakat merugi, makanya sekarang dijual dan dipasarkan ke Pekanbaru, Padang dan Medan saja. Dan penampungnya menjemput sendiri, jadi masyarakat tak rugi,’’ ucapnya.
     Untuk itu dia berharap ada kebijakan pemerintah ke depannya membangun pabrik nenas. Apakah itu untuk kalengan nenas atau lainnya. ‘’Kalau dilihat dari produksi nenas cukup untuk pabrik. Tandanya investor Malaysia pernah mau membuat pabrik, akan tetapi karena orangnya meninggal jadi batal, padahal lahannya sudah mereka tinjau. Ke depan kita berharap ada investor lokal mau membangun pabrik itu,’’ jelasnya.
    Hal serupa disampaikan Sekretaris Desa Tanjungkuras,  Lozet, menurutnya hasil perkebunan nenas masyarakat cukup besar dan berlimpah. Hanya saja sampai saat sekarang pabrik belum ada. Namun masyarakat sekarang sudah terbantu dengan adanya pembeli dari berbagai kota. ‘’Tapi harganya terus berubah karena tergantung permintaan. Jadi terkadang harga bisa dibawah tiga ribu per buahnya. Tentu dengan harga segitu membuat masyarakat tekor dan tak dapat untung,’’ ucapnya.
     Untuk di desanya luas lahan perkebunan nenas mencapai 600 hektare. ‘’Tapi Alhamdulillah semuanya bisa berjalan lancer dan masyarakat tetap berkebun, karena sampai sekarang masih jelas pasarnya,’’ ucap Lozet lagi. 
Perlu Dibangun Pabrik
Seperti pernyataan pengamat ekonomi dari Universitas Islam Riau (UIR) HM Hasbi Zaidi SE MP yang kini menjabat Pembantu Rektor II UIR  beberapa waktu lalu, dia menilai, salah satu sifat hasil pertanian nenas adalah tidak tahan lama dan cepat busuk. Para petani pun akhirnya terpaksa menjual dengan harga murah karena takut hasil panen nenas mereka membusuk begitu saja.
     Lain dengan barang industri yang punya sifat tahan lama. Menurutnya, di sinilah peran Pemerintah Daerah. Pemkab Siak  harus berpikir bagaimana barang-barang tersebut tidak dijual dalam kondisi mentah saja. Tapi bagaimana menumbuhkan hilirisasi nenasnya pada petani.
     Sementara beberapa komoditi hilir dari nenas seperti bentuk kalengan, manisan kaleng, belum tampak. Penciptaan produk-produk industri hilir dari nenas ini harus diiringi dengan kualitasnya, seperti segi kemasan dan bahan-bahannya. Apalagi, konsumen kini semakin cerdas. “Orang tidak hanya sekadar mencari rasa tapi bergizi dan higienis,” ulasnya.
     Selama industrilisasi atau turunan sifat nenas belum digali, maka segi ekonominya tidak akan menghasilkan pendapatan yang besar. Dengan kondisi itu petani tetap dalam subsistensi. Yakni pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk hari itu saja.
     Pemerintah daerah melalui dinas terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun Dinas Koperasi harus pro aktif melihat apa bekal yang harus dibekali pada petani. Melatih masyarakat setempat apa yang harus mereka lakukan.
    “Ini langkah awal, memberikan informasi yang cukup sehingga mereka berkeinginan untuk menghasilkan industri hilirnya,” ujarnya.
      Bahkan ini bisa dijadikan sebagai produk khas Riau. Tinggal cara pengemasannya seperti sebuah home industry alias rumah tangga. Dinas terkait harus mendukung percepatannya.
      Soal pencadangan agar lahan yang ada sekarang bagi petani nenas tetap harus dipikirkan pemerintah daerah. Namun semuanya tergantung kebijakan pemerintah daerah, apakah akan dipertahankan atau tidak. Misalnya, dengan melakukan pelarangan penjualan lahan di area tersebut. Karena kalau tidak, lahan itu akan hilang dan tergusur. Dan masyarakat akan tergiur dengan tingginya harga lahan yang makin lama makin tinggi.
      Lahan yang dimanfaatkan petani untuk perkebunan nenas sekarang merupakan lahan berawa yang memang cocok untuk perkebunan nenas. Upaya-upaya penyelamatan mata pencarian petani ini harus dilakukan dengan tindakan nyata. Kalau tidak, lahan dan mata pencarian petani di kawasan itu akan hilang.
    Sementara untuk penyediaan lahan baru, menurutnya tidak mungkin jauh dari konsumen. Kalangan masyarakat yang melintas di kawasan ini merupakan konsumen bagi petani nenas selama ini. Kecuali pemerintah menyediakan penampung hasil-harus produksi nenas yang dihasilkan petani seperti pabrik pengolahan nenas.
    Mendirikan pabrik pengolah nenas dinilai jauh lebih rumit dibanding pemerintah menciptakan home industry petani nenas. Pasalnya, bagi investor tentu akan melakukan kajian tentang profit yang diperoleh, ketersediaan bahan baku dan beberapa item lainnya. Kalangan investor tidak akan begitu saja menanamkan investasinya bila tidak ada jaminan itu.
      Pemberdayaan masyarakat dengan cara home industry dan kelompok-kelompok usaha tani, menurutnya bisa menjadi sebuah solusi untuk mengangkat kembali mengangkat harkat dan martabat dari ekonomi petani. ***

Comments

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar