Tanah Tegadai Numpang di Tanah Tauke




Rumah beratapkan daun rumbia, berdinding papan hingga setengah permanent berdiri megah di tepi jalan Dusun II Desa Kepaubaru. Namun ratusan rumah tersebut taklah berdiri di atas tanah milik para tauke bahkan tak tahu di mana keberadaan mereka, padahal tanah tersebut merupakan peninggalan para nenek moyang mereka.

GERIMIS di Pelabuhan Camat Kota Selatpanjang tak menyurutkan semangat tim kami untuk berangkat menuju perkampungan di balik sebalik pulau Tebintinggi. Perkampungan yang baru dimekarkan yang sebelumnya bergabung dengan Desa Telukbuntal yang diberi nama Kepau Baru bermain di hati. Perjalanan menuju desa tersebut sekitar 3 jam dengan speedboat pribadi atau pemerintah. Tapi jika menggunakan speedboat penumpang mencapai 4,5 jam karena banyak singgah di pelabuhan.
    Kalaupun dari Selatpanjang berangkat siang hari. Namun dari Kepaubaru berangkat pukul 05.30 WIB dengan ongkos sebesar Rp100 ribu.
    Tim kami tiba di pelabuhan saat itu sekitar pukul 07.30 WIB. Namun speedboat baru tiba di dermaga sekitar pukul 08.00.  Di derai hujan pagi itu,tak membuat speedboat yang memiliki dua unit mesin 85 PK menunda keberangkatan. Sekitar pukul 08.30 WIV anak buah kapal membuka tali.  Kapten kapal pun mulai melajukan speedboat melawan hempasan gelombang yang agak kuat di Selat Air Hitam pagi itu.
    Satu demi satu tepian kampung ditinggalkan speedboat yang saat itu terus menyusur Pulau Tebingtinggi. Perkampungan pertama pun di lalui, menurut kapten speedboat saat itu kampung dilewati, Sungai Tohor Barat, Sungai Tohor, Nipah Sedanur, Sedanur Darul Ikhsan yang perkampungan ini masih berada di Selat Air Hitam.
     Sekitar dua jam perjalanan akhirnya tiba di ujung Selat Air Hitam yang berada di ujung Pulau Tebingtinggi. Tanjung yang menjorok ke arah Selat Melaka ini, disebut orang dengan nama Tanjung Sari, Tanjung Gadai. Melewati perkampungan dan pelabuhan Tanjunggadai pemandangan mata dimanjakan dengan rimbunan bakau dan jenis tanaman mangrove lainnya. Tepian pantai yang terjaga ini tentunya berkat kepedulian masyarakat setempat tak menebang rimbunan bakau. Terlihat juga dua orang nelayan sedang memasang belat (jaring yang di letak pada tepian pantai kemudian dibuat petak pundi sebagai tempat berkumpul ikan).
     Beberapa menit melintasi Tanjung Sari dan Tanjung Gadai, kemudian speedboat mengarah  ke Selat Panjang. Perkampungan pertama dilalui  Kampunbaru dan Teluk Buntal. Sedangkan di depan perkampungan ini tampak melintang Pulau Serapung milik Kabupaten Pelalawan yang letaknya tak jauh dari Kuala Kampar. Kemudian terlihat juga Pulau Panjang dan Pulau Sejati yang tak ada penduduk.
     ‘’Sekejap lagi tibelah kite di Kampungbaru dan tak jauh dari situ ada pelabuhan Kepaubaru,’’ ucap Hermizon, yang menjadi pembimbing dan juga tokoh masyarakat Kecamatan Tebingtinggi Timur.
     Sesaat kemudian, kapten speedboat pun mengurangi kecepatan mesin dari tepian Selatpanjang untuk menuju pelabuhan Kepaubaru. Dari kejauhan ratusan orang dewasa dan anak-anak sudah berdiri di ujung pelabuhan. Sambutan hangat warga ini memberi kesan tersendiri bagi kami. Apalagi sapaan ramah keluar dari mulut para orang tua dan tokoh masyarakat yang hadir di ujung pelabuhan ketika kami naik ke atas pelabuhan. ‘’Selamat datang di Kepaubaru. Beginilah kampung kami, hati-hati pak jambat banyak lubang,’’ ucap beberapa masyarakat hadir saat itu.
Aroma Mangrove dan Rumbia Menyapa
Aroma pantai berlumpur dan aroma dedaunan bakau, nyirih, kedabu dan berembang langsung menusuk hidung ketika baru saja menginjakkan kaki di ujung dermaga. Perkampungan Kepaubaru tepatnya Dusun II ini benar-benar berada di tepian tebing Selatpanjang.
     Panjang pelabuhan Kepaubaru ini sekitar 200 meter menjorok ke tengah Selatpanjang. Berjalan kaki beramai-ramai bersama warga membuat Susana bahagia dan tak terasa sudah tiba di pangkal pelabuhan. Setiba di daratan, kembali segarnya udara dan aroma batang Rumbia membuat nafas terasa lega. ‘’Selamat datang di perkampungan meria (rumbia,red),’’ ucap Awi (45).
     Hampir semua rumah yang terbuat dari papan dan atap rumbia di Dusun II, Desa Kepaubaru di halaman belakangnya tersaji rimbunan batang rumbia. Bahkan ada beberapa rumah sangat sederhana berada pas di dalam kepungan rumpun rumbia. Tapi terlihat anak-anak dan para orangtua tetap ceria.
       Menurut Awat warga Dusun II, Kepaubaru merupakan perkampungan yang hasil dan kebun utamanya adalah batang rumbia. Kemudian sebagian kecil warganya masih ada berharap dari hasil tangkapan ikan di Selatpanjang dan hasil sea food dari sungai-sungai air asin dan lopak-lopak yang ada di celah bakau. ‘’Di kampung ini ikan lumayan banyak, lokan, sebarai dan siput juga ada,’’ ucap Awat kala itu.
       Hanya saja, hasil perikanan dan hasil laut lainnya hanya dikonsumsi bagi masyarakat tempatan tak ada di bawa ke luar daerah. ‘’Jumlah nelayan siket jadi cukuplah untuk keperluan masyarakat kampung ini,’’ jelas Awat yang juga warga keturunan Suku Asli yang sudah memiliki dua anak ini kepada kami.
       Menjadi nelayan tak menjadi pilihan masyarakat Suku Asli di Kepaubaru, karena mayoritas para anak keturunan Suku Asli bekerja sebagai penebang, penggolek dan pembersih kebun Rumbia. Bahkan pada umumnya mengambil upah di perusahaan dan tauke pemilik kebun Rumbia.
Rumah Berdiri di Tanah Tergadai
 Berdasarkan data disampaikan Ketua Batin Suku Asli Kepaubaru, Salim (65) warga Dusun II, jumlah warga Suku Asli di desa pecahan dari Telukbuntal tersebut mencapai 85  persen lebih. Sedangkan selebihnya  berasal dari Suku Jawa, Tionghoa dan Melayu dan suku-suku lainnya. 
     Dengan begitu dari 1.335 jiwa atau 330 KK lebih yang menempati Desa Kepaubaru lebih dari 1.000 orang merupakan anak keturunan dari Suku Asli. Tapi sayang tak semuanya warga suku asli yang merupakan orang pertama menempati Kepaubaru tersebut memiliki lahan akan tetapi lebih menumpang ke kebun atau tanah milik orang lain yang mereka sendiri tak tahu di mana tempat tinggalnya. ‘’Katanya dulu tanah nenek dan datuk kami, tapi sekarang dan jadi milik orang lain. Biasalah di kampung dulu kalau perlu duit ada batang rumbia di pajak. Atau istilah sekarang ijon. Karena tak cukup membayar hutang akhirnya tergadai tanah tu,’’ jelas Atat (45) kepada kami.
       Bahkan saat itu, kami sempat bertandang ke rumahnya. Rumah yang sangat sederhana menggunakan papan dan beratap daun rumbia. Kemudian tiang-tiang dan gelegonya terbuat dari kayu bulat. Meskipun sangat sederhana tak membuat Atat berputus asa dalam menempuh hidupnya. ‘’Dulu katanya tanah ini milik keluarga tapi sekarang dan jadi milik orang Cina dan tak tahu di mana tempat tinggal mereka. Katanya ada di Selatpanjang dan setengah orang ada mengatakan tinggal di Pekanbaru, tapi tak tahulah. Yang jelas saya masih bisa menumpang membuat rumah di tanah ini,’’ jelas Atat yang bekerja menebang dan membersih lahan Rumbia perusahaan yang tak jauh dari kampungnya tersebut.
      Atat yang memiliki tiga orang anak ini, mengakui bahwa dua anaknya masih bersekolah. Anak pertama sudah tamat SD dan ikut bekerja bersamanya. Kemudian anak kedua kelas II SD dan dua masih kecil. ‘’Untuk hidup dan biaya anak sekolah semue kerje saye buat dari berkebun hingga nelayan,’’ jelas Atat.
     Sebagai orang miskin, kata Atat, tentu tak memilih kerja. Mengapa dibilang miskin, kata Atat, karena kami tak memiliki kebun dan tanah nak membuat rumah. Sebab sampai sekarang rumah berdiri di atas tanah orang. ‘’Walaupun kononnya ini lahan datok nenek kami, tapi ape daye sekarang bukan milik kami lagi,’’ jelasnya sambil membelah kayu baku di halaman belakang rumahnya. Terlihat anaknya tercenung melihat Ayahnya sedang membelah kayu saat itu.
     Tak jauh berbeda dengan nasib, Awi (35) warga Dusun II. Awi yang tinggal tak jauh dari kantor Desa Kepaubaru tinggal di tengah rimbunan rumpun batang rumbia. Rumah yang hanya berukuran 5x6 meter dan dua meter diperuntukkan untuk dapur sangat sederhana. Di dalam rumah tersebut Awi juga membawa orangtuanya tinggal bersama. Sedangkan dirinya sendiri juga sudah memiliki tiga orang anak. Anak pertama SD kelas III, anak kedua SD kelas II dan anak ketiga masih berumur satu tahun tiga bulan. ‘’Inilah rumah kami pak bersempit-sempit. Orang kampung susah macam ginilah. Kais pagi makan pagi, kais petang makan petang,’’ jelas Awi sambil menyikap daun pintu rumahnya saat itu.
     Walaupun rumah sangat sederhana tapi tak merasa sempit, karena bagian depan rumah dibuat teras untuk duduk bersantai pada sore hari. ‘’Teras ini selain untuk duduk-duduk juge dapat dibuat sebagai tempat untuk menyocok atap bini saye,’’ kata Awi, yang saat itu hanya menjawab sepatah dua patah kata saja kepada kami.
      Menurutnya, kerisau selalu menghantui hatinya. Mulai dari bujang hingga berumah tangga dan sudah memiliki tiga orang anak. Tak dapat sekakang kerapun tanah. ‘’Sampai sekarang menumpang tanah orang. Jadi kami tinggal menunggu tuan tanah tak suke aje,’’ kata Awi sambil menghisap dalam-dalam rokok kreteknya saat itu.
      Kerisauan warga lain juga terucap dari Awat, menurutnya hampir semua keluarga Suku Asli saat sekarang yang tinggal di Kepaubaru menumpang atau tinggal di tanah sendiri yang sudah menjadi milik orang lain. Pemilik tanah hanya memberikan catatan, agar tak mengusik batang rumbia dan selalu berharap membersihkan lahan mereka. ‘’Ya kalau mereka masih suka, kalau tak suka elamat rumah dirubuh oleh tuan tanah,’’ ucap Awat.
Tepian Bakau Menanti 
Menurut Salim, saudara-saudaranya, anak dan cucunya saat sekarang sangat susah. Dahulu, kenang Salim rata-rata kepala keluarga memilik lahan. Tapi akibat dari tak memiliki kekuatan ekonomi, akhirnya tanah tergadai dengan adanya sistem ijon atau pajak tersebut.
      ‘’Untung saje saye masih ada tanah tersisa. Tapi kawan dan saudare saye tak siket tanahnya tegadai dan sudah menjadi milik orang yang dulunya tauke tempat berhutang duet untuk keperluan itu ini. Dan itu tak saya napikan, karena warga kami perlu duet dan makan,’’ ucap Salim.
     Kemudian diakuinya akibat tak adanya orang cerdik pandai di kampung untuk membina masyarakat dahulunya juga sangat berpengaruh. ‘’Kami disini manelah ade sekolah tinggi, tamat SD dan SMP untuk sekarang dah hebat. Apelagi di kampung kami hanya ada SD, itupun terkadang harus menempuh jarak tige empat kilo jalan kaki baru sampai,’’ ucapnya.
     Tapi ape nak dikate, kata Salim, semuanya sudah terjadi. Yang ada sekarang anak cucu sudah tinggal di tanah orang. Walaupun rumah bagus, tetap saja tanah sebagai tapak rumah milik orang lain. ‘’Jadi tinggal menunggu saatnya saja,’’ jelas Salim sambil duduk termenung dan sesekali mengepulkan asap rokoknya di teras rumahnya di Dusun I.
     Pernyataan Ewi (40), tak jauh berbeda disampaikan Salim. Menurut dia, sepanjang ruas jalan dari tepian tebing Selatpanjang hingga menuju Batin Salim,  tanah kiri kanan jalan milik orang atau tauke-tauke yang ada di Selatpanjang dan daerah lain. Walaupun rumah terlihat cantik dan besar tetap saja rumah berdiri di atas tanah orang. ‘’Jadi kalau kami di gusur, elamat tinggal dekat tepi bakau, bekawan dengan siput dan lokan,’’ ucap Ewi bernada lirih kami saat itu.
      Tanah tak ada, kata Ewi, jadi mau tak mau harus pindah ke tepian laut. ‘’Tanah itupun kite tak tahu, rupenye mungkin dah ada orang punye,’’ ucap Ewi yang merasa sedih karena menumpang di kampung sendiri, walaupun sudah tinggal puluhan tahun sejak nenek moyang mereka bertempat tinggal di Kepaubaru.
 Kesehatan dan Pendidikan Utama
 Kemampuan ekonomi masyarakat Suku Asli di Kepau baru lumayan tinggi, hal ini dikarenakan upah yang didapatkan menebang dan membersihkan kebun rumbia sangat memadai. Oleh sebab itu keperluan akan pendidikan dan kesehatan menjadi faktor utama bagi warga Suku Asli.
      Seperti pengakuan Pramono, keinginan menyekolahkan anak sangat tinggi. Ini terbukti ratusan warga suku asli menyekolahkan anak-anak mereka di SD di Dusun II Kepaubaru atau tak jauh dari Kantor Desa. ‘’Jalan jadi kendala, kalau musim hujan tak sampai setengah murid datang sebab rumah mereka terendam banjir atau jalan lecah tak bisa pegi sekolah,’’ kata Pramono warga Dusun I kepada kami.
     Keinginan untuk mengecap pendidikan sangat terasa bagi masyarakat, sebab sebagian besar ada juga warga menyekolahkan anak mereka ke Desa Telukbuntal. Walaupun pergi ke Telukbuntal per harinya bisa menhabiskan uang untuk ongkos sebesar Rp20 ribu pulang pergi. ‘’Dari puluhan murid yang tamat paling tinggi dua tige orang saje yang menyambung sekolah SMP, sebab tak sanggup biaya. Sekolah SMP jauh betul, belasan kilometer dari kampung Kepaubaru. Jalan cepat naik speedboat, berkisar 20 menit sampai ke Telukbuntal,’’ jelasnya.
     Bagi orang kaya, kata Awi, mungkin bisa menyekolahkan anak mereka. Tapi bagi masyarakat suku asli yang pas-pasan tak sanggup. Kalau sudah tamat SD sudah hebat. ‘’Untuk makan aje payah, apelagi nak membiayai ongkos anak pergi sekolah ke SMP Telukbuntal, tak sanggup kami pak,’’ ucapnya.
    Sedangkan untuk kesehatan, pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti menempatkan satu bidan PTT di Desa Kepaubaru tepatnya di Dusun II. Bidan bernama Sri Wahyuni, untuk bulan Februari melayani sebanyak 150 jiwa warga yang datang berobat. ‘’Antusias masyarakat untuk berobat sangat tinggi, dan Alhamdulillah mereka sangat peduli dengan kesehatan,’’ kata Sri Wahyuni yang tinggal sendiri di Kepaubaru, karena suaminya bertugas sebagai TNI di Kota Batam.
     Begitu juga pengakuan warga, Atat, keberadaan bidan di kampungnya sangat membantu masyarakat. Terutama untuk biaya melahirkan, cukup terbantu, paling tinggi biayanya Rp100-200 ribu saja.
     Karena keterbatasan obat-obatan, kata Sri Wahyuni yang juga warga Kabupaten Kampar ini, sering memanfaatkan speedboat desa, untuk membawa pasien rujukan ke Puskesmas Selatpanjang. ‘’Jadi warga diharapkan bisa mengisi minyak dua jerigen 35 liter. Jadi kisaran 70 liter untuk mengantar pasien ke Selatpanjang,’’ ucap Sri Wahyuni saat itu sedang hamil muda.
 Habislah Tanah Kami
 Nasib anak-anak suku asli di Kabupaten Kepulauan Meranti, khususnya di Kepaubaru tergantung kebijakan pemerintah. Bahkan  kejadian tak memiliki tanah sebagai tapak rumah tak saja di Kepaubaru akantetapi dibeberapa tempat lainnya, seperti keturunan suku asli di Desa Kudap, Rangsang, Tanjungkedabu dan Ransang pesisir.
     ‘’Tak sedikit anak cucu dan keluarga kami yang sampai sekarang masih menumpang hidup di tanah orang. Tapi tak semuanya, karena sebagian ada juga tanah, tapi warga kami lebih betah tinggal di tepian pantai,’’ kata Kepala Batin Suku Asli Kabupaten Kepulauan Meranti, Amir kepada kami.
     Menurutnya, anak suku asli di Kepaubaru pada umumnya bekerja sebagai buruh dan petani kebun rumbia. Akantetapi kebun meria (rumbia) yang mereka kerjakan pada umumnya bukan milik pribadi. ‘’Kalaupun ada hanya beberapa suku asli saja, dan selebihnya menjadi buruh di perkebunan perusahaan dan tauke-tauke yang memiliki kebun meria,’’ sebut Amir.
     Hidup menumpang di tanah tauke atau menumpang di tanah sendiri karena terjerat sistem ijon sudah lama terjadi.  Diakui Amir tak memiliki tanah bagi saudara dan anak cucunya saat sekarang juga dipengaruhi karena suku asli suka berpindah-pindah. Namun sejak terbentuknya kabupaten Kepulauan Meranti dan disentuh berbagai program akhirnya mereka menetap. Tapi tak semuanya bisa begitu, sebab mereka bisa saja pindah dari Pulau Tebingtinggi ke Pulau Rangsang, Pulau Merbau atau Pulau Padang. ‘’Berpindah karena mereka masih ada hubungan persaudaraan yang akhirnya tanah mereka tergandai. Sehingga saat mereka tiba ke kampung kembali tanah tak ada akhirnya menumpang di tanah orang untuk membangun rumah,’’ jelasnya.
      Apalagi di Desa Kepaubaru, tanah-tanah dan hutan milik perusahaan besar. Sedangkan di tepian pantai banyak kebun rumbia yang dimiliki para tauke. Diakuinya, dulu milik datuk atau nenek para saudaranya di kampung tersebut. Akantetapi karena adanya sistim ijon atau pajak akhirnya tanah tersebut milik tauke.
     Sistem ijon satu pihak sangat membantu masyarakat suku asli, akan tetapi satu pihak menguntungkan para tauke. Macam mana tak membantu masyarakat, karena ketika sangat memerlukan uang tauke bisa memberi seberapa diperlukan. ‘’Tapi kita tak sadar, yang semula kita menggadaikan batang rumbia dan berujung pada penjualan tanah, karena uang yang dipinjamkan tak bisa dikembalikan, apalagi dengan sistem bunga yang sangat memberatkan masyarakat kita,’’ ucap Amir. ‘’Karena tak mau memiliki hutang berkepanjangan, akhirnya tanah dijual agar tak ada hutang. Jadi jangan heran kalau ada rumah di atas kebun orang lain, padahal kebun itu milik mereka sebelumnya,’’ kata Amir.
      Sebagai Batin Suku Asli, Amir merasa sangat terpukul dengan keberadaan anak cucu dan saudaranya di Kepaubaru. Hanya saja dirinya belum bisa berbuat banyak. Bahkan dirinya baru melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Hanya saja keinginan dirinya agar pemerintah membuat program khusus agar suku-suku asli yang menyebar di sepanjang pesisir pantai, Tebingtinggi, Rangsang, Merbau dan Pulaupadang tak terus terpinggirkan.
     Salah satu harapan yang dia gantungkan yaitu agar pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti memberikan fasilitas terutama menyediakan lahan kepada suku-suku asli.  Dengan adanya lahan sejengkal itu nantinya, kata Amir, bisalah suku asli bertahan hidup dan tak menumpang kepada tanah tauke yang lambat laun akan terusir. ‘’Namanya numpang, tentu ketika orang perlu kita disuruh pindah,’’ jelas Amir.
      Usulan dari masyarakat Kepaubaru berharap pemerintah melakukan koordinasi kepada pemilik tanah yang ada di desa tersebut. Terutama berharap pemilik tanah menghibahkan tanah agak 20 meter tepi jalan untuk para suku asli. Tapi menurut Amir, itu mungkin sangat berat bagi pemilik tanah. ‘’Tapi perlu diingat juga kalau tak ada suku asli tanah tersebut tentu akan menjadi belukar dan tak terurus,’’ ucapnya.
      Dengan situasi yang terjadi di Kepaubaru tersebut, Amir berharap pemerintah memberikan lahan per KK minimal 2 hektare. Dengan lahan segitu dirinya yakin orang-orang suku asli akan menjaga dan memeliharanya. ‘’Saya jamin tanah itu tak akan dijual, asalkan mereka dilakukan pembinaan untuk membuat kebun,’’ lanjutnya.
     Berharap membuka lahan sendiri, menurutnya saat sekarang tak memungkinkan lagi. Pasalnya lahan atau hutan di Desa Kepaubaru hingga Telukbuntal sudah tergadai dalam artian sudah dimiliki perusahaan-perusahaan besar. ‘’Kalau masyarakat mengambil atau membuka lahan, yakin kena lelah pakai parang oleh perusahaan,’’ kata Amir sambil tersenyum.
     Suku Asli saat sekarang hidupnya semakin terjepit. Apakah suku asli menggantungkan hidup dari laut maupun dari hutan. ‘’Dulu di mana ditebar jaring dan melempar pancir di tepi laut pasti banyak ikan. Kalau sekarang sampah yang dapat. Kalau dulu dimana menahan jerat di situ didapatkan kancil dan babi, sekarang usah diharapkan. Hutan dah jadi ladang terang benderang, laut dah kotor tak berikan,’’ jelasnya. ‘’Kalau hutan habis ditebas, habislah kehidupan kami,’’ keluh Amir lagi.
     ‘’Sekarang yang jelas habis tanah kami tegadai. Menumpanglah kami selagi nyawa di badan,’’ ucapnya.
      Tapi harapan itu mungkin masih ada, jika saja pemerintah dan komunitas atau lembaga sosial mau memberikan perhatian serius terhadap para suku asli pemilik Pulau Tebingtinggi, Rangsang, Merbau dan Pulau Padang. Diakui semua orang merekalah yang hidup dan besar di tepian selat sempit  itu selama ini. ***

Comments

Popular posts from this blog

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Mencari Kijing, Siput Gantung, Buah Tanah, Bongan dan Lokan (1) *Berwisata Mangrove di Kembung Luar