648.368 Hektare Kebun Sawit Ilegal
Koorporasi Dibela, Rakyat Merana
Dominasi investasi terhadap hutan telah mengakibatkan semakin kecilnya ruang hidup ruang hidup rakyat di Provinsi Riau. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan temuan Pansus Lahan DPRD Riau yang menyebutkan bahwa ruang-ruang kehidupan yang dialih fungsikan tersebut telah dialihfungsikan menjadi kebun-kebun kelapa sawit.
Dari temuan tersebut
diperoleh data terdapat 648.368,18 hektare kebun kelapa sawit yang dikuasai dan
dikelola berbagai korporasi tanpa izin. Bahkan temuan tersebut mayoritasnya
berelasi dengan kebijakan pelepasan kawasan hutan seluas 1.638.249 ha
berdasarkan SK Menhut No. SK.673/Menhut-II/2014.
Kebijakan alih fungsi
kawasan yang memihak pada kepentingan korporasi tersebut semakin diperparah
dengan data bahwa kebijakan tersebut juga mengakomodir kepentingan
investasi pertambangan dan lainnya, serta kebun kelapa sawit illegal yang
dikuasai tuan-tuan tanah lokal dan dari luar Riau.
Kondisi ini jelas
mengakibatkan kemiskinan dan kondisi krisis terhadap akses dan kelanjutan
nafkah hidup rakyat Riau, khususnya Suku Asli dan Masyarakat Adat Melayu Riau.
Tingkat kemisikinan ini berelasi dengan data BPS yang menyebutkan bahwa
mayoritas kemiskinan di Riau berada di Desa, yang apabila ditelisik lebih
lanjut merupakan desa yang berada di sekitar atau tepat di areal konsesi hutan
maupun perkebunan berada.
Hal ini merupakan
ekses dari menurunnya sumber penghidupan rakyat yang sebelumnya mengandalkan
alam, baik melalui pertanian, mengumpulkan hasil hutan, mengambil kayu dan
bahkan mencukupi kebutuhan dari sumber daya di hutan lainnya. Pasca investasi
bekerja, rakyat, khususnya Suku Asli dan Masyarakat Adat Melayu Riau terpaksa
merubah alur kehidupannya menjadi buruh-buruh perusahaan yang pendapatannya
minim, bahkan lebih parahnya sekedar menjadi penonton gagahnya alat-alat berat
merusak hutan, mengeringkan gambut, lalu dibakar dan ditanami sawit, akasia dan
komoditas yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya.
Berangkat dari hal
tersebut, WALHI Riau bersama LAM Riau dan beberapa komunitas Suku Asli dan
Masyarakat Adat Melayu bersepakat melakukan sebuah kirab budaya yang menjadi
simbol awal dibukanya musyawarah adat guna mendorong lahirnya gerakan reforma
agraria. Pentas kebudayaan yang akan dimulai dari Balai Adat Melayu Riau dan
berjalan menuju sentral kegiatan di Jalan Tjut Nyak Dien. Pasca kirab akan
dilakukan musyawarah adat yang dilakukan di Balai Adat. Kirab ini menjadi
simbol pembuka jalan perjuangan untuk pemulihan hak agraria Suku Asli dan
Masyarakat Adat Melayu Riau terhadap wilayah kelolanya.
“Kami menyadari bahwa
Kebijakan Reforma Agraria yang dijanjikan oleh Pemerintahan Jokowi bukanlah
sebuah wujud implementasi kebijakan Reforma Agraria Sejati, namun apapun
alasannya kebijakan Reforma Agraria harus diintervensi. Apabila kebijakan ini
tidak diintervensi langsung oleh Rakyat, maka kebijakan ini akan hanya berjalan
sebagai sebuah kebijakan yang sekedar kegiatan administrasi sertifikasi, belum
lagi kebijakan redistribusinya akan terancam dimanfaatkan oleh tuan-tuan tanah
bahkan korporasi untuk memperluas penguasaannya terhadap daratan Riau,” ujar
Riko Kurniawan Direktur Eksekutif WALHI Riau beberapa waktu lalu.
Sebagaimana dimuat
dalam Naskah Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria yang diluncurkan
oleh Kantor Staf Presiden disebutkan bahwa Kebijakan Tanah Objek Reforma
Agraria akan diimplementasikan dengan dua model, yaitu model pertama legalisasi
aset untuk 4,5 juta hektare lahan dengan skema 0,6 untuk sertifikasi daerah
transmigrasi dan 3,9 untuk Prona dan penyelesaian konflik. Dari angka 4,5 juta
ini jelas sudah tereduksi 0,6 juta untuk daerah transmigrasi.
Walaupun hal ini mereduksi, namun ada sebuah
niat baik guna memberikan perlindungan dan kepastian wilayah kelola masyarakat
transmigrasi yang sering diganggu oleh perizinan investasi dan lainnya.
Selanjutnya, angka 3,9 juta hektar inilah yang sangat rawan disalahgunakan
untuk mengakselerasi angka capaian target Tora, khususnya dengan
mengedepankan skema Prona dan legalitas Negara dalam upaya program
infrastruktur dan bukan untuk kepentingan rakyat. Guna mencegah hal tersebut,
maka harus segera diakselerasi angka 3,9 juta hektar tersebut dari peluang
legalisasi asset melaui skema penyelesaian konflik.
Sedangkan model kedua
Kebijakan Tanah Objek Reforma Agraria dilakukan dengan model redistribusi lahan
seluas 4,5 juta hektar, yang terdiri dari dua skema, yaitu diambil dari HGU dan
tanah terlantar seluas 0,4 juta hektar dan pelepasan kawasan hutan seluas
luasan 4,1.
“Kirab Budaya
merupakan kegiatan penghantar musyararah adat ini akan menjadi sejarah awal
lahirnya hasil mufakat yang menegaskan bahwa Suku Asli dan Masyarakat Melayu
Riau berhak menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Temuan 648.368,18 hektar
kebun kelapa sawit yang dikuasai dan dikelola berbagai korporasi secara illegal
dan halis pelepasan kawasan hutan seluas 1.638.249 ha harus menjadi lokasi
implementasi Tanagh Objek Reforma Agraria. Negara harus memulihkan daulat
rakyat ata wilayah kelolanya,” tambah Riko.
Penggesaan
implementasi Tanah objek reforma agraria di Riau merupakan sebuah kebutuhan
untuk membuktikan keberpihkan Negara terhadap rakyat dan membuktikan bahwa
Negara benar-benar hadir untuk Suku Asli dan Masyarakat Adat Melayu Riau.
Selain itu, implementasi kebijakan Tanah Objek Reforma Agraria kepada Suku Asli
dan Masyarakat Adat Melayu Riau akan berelasi dengan upaya memperbaiki dan
menjaga kualitas lingkungan hidup di Riau.
“Pemulihan hak komunal
Suku Asli dan Masyarakat Adat Melayu Riau terhadap tanah dan hutan bisa
dipastikan akan memulihkan keseimbangan ekologis di Riau. Masyarakat Adat di Riau
berpegang teguh pada prinsip pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan sesuai
dengan nilai-nilai kearifan adat, seperti cara bercocok tanam yang tidak
monokultur dan pembagian zonazi yang memisahkan kawasan pencari nafkah dan
kawasan larangan yang diperuntukkan untuk kepentingan ekologi,” tegas Al Azhar,
Ketua Umum LAM Riau.
Implementasi Kebijakan
Tanah Objek Reforma Agraria merupakan salah satu jawaban terhadap konsidi
konflik yang mewarnai praktik tata kuasa hutan dan lahan di Riau. Guna
meminimalisir potensi konflik lainnya dan penyalahgunaan implementasi kebijakan
ini dari praktik jual beli dan peralihan hak dengan model lainnya, maka
dalam pelaksaan kebijakan ini harus mengedepankan konsep penguasaan secara
komunal.
“Implementasi
kebijakan Reforma Agraria merupakan salah satu pintu penyelesaian konflik
berkepanjangan di Riau. Selanjutnya, guna meminamilir praktik buruk penguasaan
lahan, maka kebijakan Tanah Objek Reforma Agraria di Riau haru dilangsunkan
dengan prinsip redistribusi yang adil dengan negedepankan konsep kuasa dan
pengelolaan secara komunal yang tidak asing diterapkan oleh masyarakat adat,”
tutup Riko.(erwan)
Comments
Post a Comment