Joget Ini Sudah Bersatu dengan Daging Kami


Kampung  Sokop dengan joget dangkung dan berbagai tradisi suku asli lainnya membuktikan kalau negeri ini terus tumbuh dan tak pernah mati. Kampung terletak di Kabupaten Fajar  ini membuktikan kalau seni tradisi tetap hidup di hati anak suku asli dan tak tergerus oleh musik modern.

BERTANDANG ke Kampung Sokop  yang mayoritas didiami warga suku akit (suku asli) tentulah  tak terbayangkan sebelumnya. Namun keinginan untuk melihat berbagai tradisi yang dilaksanakan komunitas adat tertua di Riau tersebut, harus rela melakukan perjalanan laut dan darat dan memakan waktu tiga jam di atas pompong .
     Perjalanan menuju Kampung Sokop di Pulau Rangsang bukan perkara mudah dan sebentar. Tapi untuk kampung tersebut ditempuh dengan  menyusuri  Selat Air Hitam dan Sungai Sodow. Mungkin bagi pemula untuk menuju kampung ditetapkannya suku hutan menjadi suku asli oleh Menteri Sosial tahun 1970 ini bukan perkara mudah dan bisa saja tersesat. Pasalnya kuala-kuala anak sungai sama lebarnya dengan lebar Sungai Sodor.
    Selain banyaknya kuala anak sungai, sepanjang Sungai Sodor juga ditumbuhi berbagai jenis mangrove yang rimbun menghiasi kiri kanan tebing. Akar-akar belukap, bakau putih tampak membumbung dari gigi air sungai. Begitu juga dengan buah-buah bakau dan belukap menghijau dan terlihat juga buah nyirih yang menguning bergelantungan. Pemandangan ini benar-benar menyejukkan mata dan aroma udara hutan bakau membuat napas terasa sejuk.
     Namun bunyi pompong bermesin Mistubishi terus menderu dan melaju mengarah ke hulu Sungai Sodor. Sepanjang perjalanan di kanan tampak beberapa orang sibuk memasang jaring berwarna dongker. Di pinggir Sungai ini tiga nelayan dengan kakinya terbenam dengan cekatan memancang kayu-kayu berukuran selengan anak bayi. Kayu-kayu ini disusun berjarak 2-3 meter dan jaring bermata kecil. ‘’Ini namanya belat. Jadi bukan jaring. Dari belat inilah ikan dan udang mereka dapatkan untuk memenuhi keperluan hidup,’’ kata Selamat kepada kami.
     Tak hanya sampai disitu, selama perjalanan menuju Kampung Sokop ini tampak beberapa panglong arang. Tampak beberapa petani sibuk memikul kayu bakau meunju panglong arang yang letaknya tak jauh dari bibir sungai. Dengan  cekatan kayu bakau berukuran 3-4 inchi diangkat para buruh panglong arang saat itu. Kami saat itu tak bisa menikmati lebih lama karena pompong terus melaju. Beberapa saat sebelum bersandar di Pelabuhan Kampung Sokop kami sempat dipanakan dengan  berjela-jela rakit tual batang rumbia yang berukuran 1-1,5 meter  yang tersusun rapi.  ‘’Batang sagu ini dibawa ke Selatpanjang,’’ jelas Selamat lagi.
    Setibanya di Pelabuhan Kampung Sokop, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan sepedamotor. Sepanjang jalan berbadan beton cor tersebut di kiri kanannya terlihat bangunan rumah limas berjarak 200-300 meter dan terkadang ada juga berdekatan yang beberapa depa saja. Setelah berjalan berberap menit di atas sepedamotor akhirnya tiba di rumah Penghulu Sokop.
         Sesampai di rumah Penghulu Sokop bergai cerita didapatkan dari pemuka masyarakat. Seperti disampaikan Bah Amhad,  tentang asal muasal Kampung Sokop.  Berdasarkan cerita orang tua terdahulu Kampung Sokop diambil dari nama batang belokop (belukap) sejenis mangrove yang banyak di pinggir Sungai Sodor. ‘’Kampung Sokop ini diambil dari nama batang belokop memagari kampung ini. Dulu dari tepi sungai tak nampak kampung, sangking banyaknya batang belokop,’’ lanjutnya.
          Selain itu Bah Ahmad di dampingi Penghulu Sokop Udir, menceritakan berbagai hal terutama taradisi dan ajaran agama yang dianut. Bagi warga suku asli pada umumnya masih mengikuti agama nenek moyang. Dan perayaannya dilaksanakan pada 27 Ramadan hingga 29 Ramadan. Kemudian bagi istri atau suami nikah dengan warga tionghoa maka mereka mengikuti agama budha dan terkadang istri atau suami dari warga suku asli tetap berpegang teguh pada ajaran nenek moyangnya. Jadi tak heran jika pada perayaan imlek dalam satu rumah itu ikut imlek, tapi sebaliknya saat 27 Ramadan merayakan hari raya juga. Untuk perayaan hari raya pada umumnya memasang colok sama seperti agama islam merayakan tujuh likur.  Pada 27 Ramadan itu nanti pada sore harinya mebakar kemenyan kemudian berdoa untuk keselamatan, kesehatan dan dimudahkan rezeki. Karena pada malam itu diyakini 44 malaikat turun ke bumi. Sedangkan pada malam harinya baru ada pesta, ada joget dangkung. Sedangkan pada siangnya berkunjung-kunjungan, dan biasanya rumah-rumah menyediakan kue basah seperti. ‘’Tapi di kampung sokop ini sudah 25 persen warganya memeluk agama islam,’’ lanjut Udir.
        Dalam kesempatan itu, Bathin Suku Asli Kabupaten Kepulauan Meranti, Amir juga menyampaikan berbagai tradisi lainnya. Terutama  tradisi pengobatan dilakukan suku asli mirip dengan suku sakai yang ada di Minas atau di Duri. ‘’Karena kami juga berdikei,’’ kata Amir.
     Berdikei ini dilakukan satu orang bomo dengan satu orang pemukul  rebab atau gendang. Sedangkan sang bomo menyanyikan lagu dengan berpantun puji-pujian, dan dalam satu dua lagu maka bomo akan dirasuki roh-roh panglime darat, laut, tengah dan atas. Untuk panglime darat berwarna hitam, kemudian panglima laut berwarna kuning, panglima tengah  putih dan panglima atas merah.
       Adapun pertama dipanggil panglima darat, kemudian baru laut, tengah dan atas. Jika tak sanggung panglima darat untuk mengobati, maka diseru panglima laut dan seterusnya sampai tahu apa penyakit  dan terkena atau tersampuk dimana orang yang diobati tersebut.  Terkadang jika saling berlawanan antar bomo, maka 12 laku dilakukan terkadang tak menjadi juga kemasukkan sehingga pengobatan batal.
       Sedangkan ada pernikahan,  seperti pernikahan adat  Melayu, melakukan adat meminang. Kemudian dengan bahasa berpatun misalnya nak memperbaiki lantai yang rusak atau atap bocor dan kemudian menyampaikan maksud memetik bunga kembang di depan rumah.  Kemudian ada jawaban dari bapak perempuan bahwa dia harus melakukan komunikasi dengan anaknya. Selama tiga hari baru ada jawaban, ia atau tidak. Jika ia maka sebelah lelaki melakukan kunjungan dengan membawa nasi kunyit dan tepak sirih. Dalam kesempatan itu baru disepakati, terutama  melakukan kesepakatan pernikahan. Kemudian antaran, biasanya serba satu atau serba dua. Kemudian membuat kesepakatan jika tak jadi denda diberikan. Biasanya kalau batal, dengan kesepakatan serba satu maka diganti serba dua ke pihak perempuan atau laki-laki.
     Berkaitan dengan hantaran belanja untuk pernikahan harus serba empat. Misalnya untuk hantaran belanja itu Rp4.444.000. Atau hantaran belanja uangnya Rp444.400. Ini sudah menjadi kesepakatan bagi masyarakat kita suku asli.  ‘’Tradisi ini tetap dijalankan sampai sekarang,’’ jelas Amir.
     Bercerita panjang lebar bersama pemuka masyarakat Kampung Sokop tak terasa waktu berlalu senjapun tiba. Terdengar kumandang azan maghrib dari masjid di kampung tersebut. Usai melaksanakan salat maghrib berbagai hidangan makan malampun tersedia. Makanan khas bagi masyarakat pesisir pantai terutama ikan dan udang goreng terhidang. Istirahat sejenak usai makam malam waktu salat isak pun tiba.
Bertahan di Hiruk Pikuk Orgen

Kesenian tradisi selalu dihancurkan kemajuan zaman dengan teknologi canggih. Begitu juga joget dangkung Suku Asli harus bertarung dengan legit dan manisnya  Orgen dan VCD. Pasalnya organ  sudah menjadi idaman masyarakat, sehingga joget dangkung tak dipedulikan lagi.
    Jam di tangan saat itu menunjukkan pukul 17.45 WIB, terdengar suara Udir, Penghulu Kampung Sokop mengajak ke balai pertemuan  yang letaknya berjarak 300 meter dari rumahnya.  ‘’Yuklah kita ke balai kesenian dekat lapangan bola. Para penjoget tengah menunggu kita sekarang,’’ ajak Udir saat itu.
    Saat tiba dibalai kesenian milik Kampung Sokop malam itu acara belum di mulai. Namun dari tiga penjuru jalan menuju pesta kesenian nampak bergerombol. Sedangkan di tepi  lapangan hitam sepak bola di tengah kegelapan beratus warga matanya tertuju di depan panggung.  Kehadiran ratusan warga terdengar suaranya menderu karena perpaduan dari pembicaraan satu mulut lainnya seakan haus akan hiburan yang cukup lama tak dilihat mereka.
      Beberapa saat kemudian persembahan kesenian dimulai. Tampak lentik jari tangan dan gerak kaki para remaja suku asli yang mengenakan pakaian kebaya ditimpali kain batik dan selendang serba hijau di atas panggung  diiringi bunyi tetawak (gong) menengkah bunyi biola dan gendang seakan tak henti-hentinya mengajak orang kampung untuk memadati lapangan bola dan halaman depan balai kesenian.  ’Dah lame betul tak ade joget dangkung di Sokop ni,’’ ucap Joli (58) yang menyempatkan diri pulang dari Kota Duri bersama istrinya Mardiana, menyaksikan perhelatan joget dangkung atau kesenian  Joget  Asli Batin Pancur Kampung Sokop, Kecamatan Rangsang pertama di lakukan 18 Juni 2012 lalu.
        Pemandangan menarik sesaat sebelum dimulai Joget Dangkung, para penjoget yang sebelumnya terlihat muda naik panggung dan mengambil diri duduk pada kursi yang ada. Namun bersama dengan itu terlihat seorang wanita lanjut usia  mengenakan baju kebaya hijau, selendang di bahu dan berkain batik.
      Wanita lansia ini dengan tertatih-tatih naik ke atas panggung, tampak  tangannya berpaut pada  anak tangga untuk menaiki panggung.  Saat itu juga terdengar sorak sorai penonton dari depan panggung sambil memberikan tepuk tangan. Dengan hal ini  menunjukkan bahwa wanita satu ini merupakan sesepuh dan orang yang dituakan di Kampung Sokop. ‘’Dia itu dah tua betul, dan dialah yang tinggal dari sekian banyak generasi  joget masa lalu,’’ lanjut  Joli yang saat itu berada di tengah-tengah kerumunan orang kampong yang menyaksikan joget dangkung saat itu.
      Dialah Joan (84), wanita yang mengakui memiliki ratusan bahkan ribuan koleksi pantun ini benar-benar menghibur masyarakat Kampung Sokop saat itu. Karena kehadirannya kembali di panggung biduan dan membawa para cucunya menjadi penjoget tentu tak perkara mudah.  ‘’Anak mude sekarang sukenye organ. Kalaupun ada joget dah pakai VCD. Kalau pakai alat gendang, biola, tetawak kuno,’’ ucap Joan.
   ‘’Joget dangkung ini sudah menyatu dengan daging kami,’’ ucap Joan seakan tak putus asa untuk terus menyanyi  di panggung joget dangkung.
    ‘’Jangan suka bermain mata kalau sudi ambil sendiri’’ Inilah sepenggal syair lagu Joan yang sangat mengusik hati penonton dan para pengebeng saat itu. Karena syair itu sebagai penutup lagu pertamanya dan mendapat sambutan meriah dan tepuk tangan dari penonton.
     Wanita memiliki belasan cucu dan beberapa orang cicit ini seharian bekerja sebagai pembuat atap dari daun rumbia ini. Namun pada sore hari disempatkan diri untuk berlatih joget bersama dengan pemain musik tradisi lainnya. ‘’Anak-anak sekarang  payah nak diajak main joget. Mereke senang nengok organ atau bermain-main dengan kawan-kawan. Alasan mereka malu, padahal ini kesenian turun-temurun dari nenek moyang kite,’’ ucapnya.
        ‘’Dulu main joget dangkung hampir setiap malam,’’ kata  Joan yang merupakan biduan wanita yang melantunkan berbagai lagu bernapaskan pantun pada malam itu.
        Sebagai biduan yang sudah sepuh, tentunya kerisauan dan secercah harapan di dirinya agar para penutur pantun diiringi alat musik tradisional tetap terjaga. Namun hal itu menuru, Joan, masih belum didapatkannya. Bahkan anak-anak dan cucu yang didikkannya  sebagai penjoget masih terlihat setengah hati.  Menurut pengakuannya tak ada satupun yang bisa bernyanyi .  Diakuinya penguasaan pantun sangat diperlukan sebagai biduan joget dangkung.  Inilah menjadi PR bagi dirinya untuk mengajak anak dan cucunya agar bisa berpantun dan bernyanyi. ‘’Anak sekarang kalau joget-joget aje tak mau belajo benyanyi dan bepatun. Dulu sambil nyucuk atap belajar berpantun dan bernyanyi,’’ kenangnya.
       Dirinya juga mengenang masa lalu saat dirinya muda dan pertama menjadi  penjoget. Bahwa dirinya sangat ditempa oleh almarhum neneknya agar semua penjoget bisa bernyanyi. Makanya dari enam atau tujuh penjoget  semuanya bisa bernyanyi dan berpantun.
       Dari generasinya dulu hanya bersisa dua orang penyanyi dan sebelumnya sebagai penjoget lang buana ke mana-mana. Dari pelosok kampong sampai ke kota terutama di Kota Selatpanjang.
‘’Penyanyi joget dangkung hanya tinggal dua orang di Rangsang ni, saya dan adik saya Nursiah di Sondei,’’ ungkapannya.
     Ditemani  Rauf (62) pemain biola, Man (30) pemain gendang dan Zakaria  (63) pemukul ketawak (gong).  Joan  dengan memegang mikrofon penuh setia menunggu instruksi dari Rauf sang pemain biola. Ketika tali biola digesek Rauf, seketika pula suara Joan mengiringi musik itu terutama dengan lagu-lagu pantunnya.  Salah satu bait yang dilantunkannya, yaitu ‘’Pohon meranti rending. Disitu tempat berteduh. Tuan datang kemari membuat  hati kami menjadi  teduh ’’
       Joan seakan tak peduli usia senjanya, dan dirinya masih merasa kuat dan siap mengeluarkan beberapa pantun yang tersimpan sejak lama dan ketika ditanya berapa pantun dia miliki dengan tegas ia mengatakan;  ‘’Berapa ribu pantun yang bapak mau. Saya siap berikan,’’ ungkapan menantang ini keluar dari Joan ketika ditanya seberapa banyak kumpulan pantun yang menjadi kazanah lisan keluar dari mulutnya itu.
       Mantan pemain joget era tahun 1960-an ini menegaskan, berjoget sekarang kurang diminati masyarakat. Hal ini disebabkan sekarang  anak muda banyak mau mendengar orgen tunggal atau band.  Dulunya, kata Joan, lapangan Cik Puan yang ada di Selatpanjang menjadi arena tempat dia dan kawan-kawan main joget.  Terutama pada zaman camatnya  Bakar Umar.  ‘’Zaman itu hampir setiap malam kami main joget bersama kawan-kawan. Dan adik saya di Nursiah di Sondei tu. Kawan-kawan dah tak ada, tinggal kami berdue sekarang,’’ lanjutnya.
     Dengan digiatkan kembali joget, kata Joan, menjadi motivasi baginya untuk kembali mengenang masa lalunya. ‘’Karena alat lengkap jadi semangat juga untuk menyanyi lagi,’’ ucapnya dengan suara agak terbata-bata, karena baru selesai menyanyi saat kami mewawancarainya.
      Tak diberdayakan dirinya untuk menyanyi karena banyak warga main joget, tapi menggunakan kaset VCD. Jadi orang menyediakan pemain joget saja, sedangkan pemain biola, ketawak, gendang dan penyanyinya tak dipakai.   Hal inilah, menurut dia banyak anak muda sekarang tak menguasai  lagu-lagu atau pantun nasihat, pantun remaja dan orang dewasa. ‘’Jadi kami bernyanyi dan berpantun bukan sembarangan saja, akan tetapi member nasihat dan juga pantun menghibur,’’ ucapnya lagi.
      Dulu, kenang Joan, masa ia berumur belasan tahun sudah diajar berjoget. Bukan berjoget saja, nenek dia juga mengajarkan setiap pemain joget bernyanyi. Jadi penyanyi dalam joget bisa bergantian dan tidak letih.  Dari enam pemain joget secara bergantian bernyanyi sesuai dengan keinginan dari penonton dan penikmat joget. ‘’Kalau satu orang menyanyi tentu letih. Macam sekarang inilah, anak-anak joget tak bisa nyanyi. Akhirnya saya nyanyi sendiri seperti sekarang ini,’’ lanjutnya.
      Dengan berkembang kembali dan mendapat perhatian serius dari Kampung Sokop, Joan berupaya memberikan perhatian khusus bagi remaja yang ingin bernyanyi dan berjoget. Sekarang sudah dimulai, dengan melakukan latihan tiga kali dalam sepekan.
      Sebagai sepuh Joget Dangkung, dirinya mendapat dukungan penuh dari Rauf pemain biola, Man pemain gendang dan Zakaria pemain ketawak.  ‘’Kami sudah tua dan kami berupaya melakukan regenerasi. Apalagi macam saya pemain biola tak ada generasi penerusnya. Sekarang saya sedang mencari pemain muda dan berharap dalam waktu dekat mendapatkannya,’’ jelas Rauf.
       Menurut Rauf untuk pemukul gendang sudah ada penerusnya yaitu Man yang usianya masih 30 tahun. Dan berharap untuk ketawak dan biola dan penyanyi ada generasi penerusnya. ‘’Usia kami sudah di atas 60 tahun bahkan sudah ada mencapai 80 tahun,’’ jelas Rauf. ***

Comments

Popular posts from this blog

Gulai Ikan Salai dengan Pucuk Ubi

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis