Berkebun Nenas di Siak, Riau
Asam Manis Nenas hingga Lintas Provinsi
Panan Nenas di Teluk Batik, Siak |
Tak
hanya perkebunan sawit dan karet saja menjanjikan, akan tetapi berkebun nenas
juga bisa memberikan kelebihan dan bisa menyekolahkan anak hingga ke perguruan
tinggi. Berkebun nenas tak lagi menjadi sampingan bagi masyarakat Telukbatil
dan Tanjungkuras, Kecamatan Sungai Apit tapi sudah menjadi pekerjaan harian.
Sedangkan di atas rumpun-rumpun nenas tersebut menyembul buah yang
bermahkota di atasnya. Rumpun nenas ini seakan memanggil Riau Pos untuk
mengambilnya, apalagi nenas lokal tersebut sudah mulai menguning alias siap
panen. Namun laju sepedamotor yang dikendarai Suherman tak berhenti juga tetap
melaju.
Beberapa saat kemudian akhirnya tiba tempat yang dituju, sama seperti
pemandangan semula, rumpun nenas yang tertata
dengan rapi dan buah-buah menyembul. ‘’Inilah kebun nenas saya pak. Tapi belum
dipanen, sebab belum masak semuanya,’’ jelas Suherman yang juga pemilik kebun
nenas di Desa Telukbatil.
Menurutnya, apa yang telah dibuat Pemerintah Kabupaten Siak, dengan
membuka lahan perkebunan nenas sejak tahun 2003 lalu membuka peluang ekonomi
bagi masyarakat. Karena secara otomatis yang selama ini berharap dari melait
atau menoreh getah sekarang sudah bertambah berkebun nenas.
Awalnya masyarakat menanam nenas secara tradisional dan tak tahu
pengerjaannya secara professional dan modern. Tapi dengan adanya program
pemerintah kala itu masyarakat mendapat berbagai pengalaman pengelolaan kebun
nenas. ‘’Dahulunya menjadi pekerjaan sampingan sekarang sudah menjadi
pekerjaan utama. Sebab hasilnya sangat menjanjikan dan sudah ada penampung
ribuan buah nenas yang dipanen setiap bulannya,’’ jelas Suher.
Beberapa saat tiba di perkebunan nenas milik Suher, salah seorang
tokoh masyarakat Teluk Batil, Ibrahim tiba di lokasi perkebunan. Menurut
Ibrahim apa yang dilakukan Pemkab Siak zaman H Arwin AS tersebut sangat membantu
masyarakat di Desa Telukbatil, Kayu Ara dan Tanjungkuras. ‘’Dengan hasil
menanam nenas sangat membantu perekonomian masyarakat. Walaupun sebelumnya
direncanakan dibangun pabrik, tapi sampai sekarang belum ada tetap saja hasil
kebun nenas bisa dipasarkan ke mana-mana, dan sekarang Sungai Apit sudah cukup
terkenal dengan hasil nenasnya,’’ jelasnya.
Menurut Ibrahim untuk dua desa yaitu Telukbatil dan Tanjungkuras, jumlah
lahan perkebunan nenas mencapai 1,200 hektare. Pasalnya jumlah kepala keluarga
yang menanam nenas di Telukbatil sebanyak 300 KK. Begitu juga di Tanjungkuras,
jumlah pemilik kebun nenas mencapai 300 KK. ‘’Jadi setiap KK dikali 2 hektare
tentu jumlah lahannya mencapai 1.200 hektare. Tapi kalau kita hitung secara
nyata mungkin lebih,’’ lanjutnya.
Hasilnya
Dua Kali Lipat
Menanam nenas bukan lagi menjadi pekerjaan
sampingan akan tetapi sudah bisa menghidupi keluarga bahkan hasilnya tak kalah
dengan hasil berkebun sawit atau karet yang selama ini dilakukan masyarakat
Riau umumnya.
Menurut Ibrahim untuk satu hektare nenas bisa ditanam 10.000 batang.
‘’Jadi untuk dua hektare bisa ditanam 20.000 bibit nenas. Pada umumnya nenas
yang ditanam masaknya serentak,’’ kata Ibrahim kepada Riau Pos saat itu.
Untuk modal dua hektare kebun nenas yang selama ini dilakukan Ibrahim
berkisar Rp10 juta. Namun penghasilannya bisa dua kali lipat dari modal
tersebut. Cerita Ibrahim dan Suherman, untuk menanam kebun nenas, bibit nenas
per batangnya seharga Rp200. Kemudian untuk pemeliharaannya seperti menebas
kebun sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 1 tahun dua bulan. ‘’Jadi setelah
ditanam selama dua bulan langsung diberi etril yang merupakan pupuk perangsang
agar berbuah serentak dan masak serentak,’’ kata Ibrahim dan di iakan Suherman
kala itu.
Bekebun nenas yang dilakoni masyarakat Telukbatil dan Tanjungkuras ini
tak lagi dengan sistem tradisional akan tetapi sudah modern. Selain membersihkan
kebun dengan menebas juga di dilakukan pemupukan. ‘’Kebun nenas kita beri pupuk
juga urea untuk percepat pertumbuhan,’’ jelasnya saat itu.
Agar panen bisa dilakukan dua bulan sekali, dalam dua hektare kebun nenas itu ditanam secara
bertahap. Sehingga masa panen tak lagi menumpuk ribuan biji buah nenas. Jadi,
kata Suherman, dalam dua hektare itu dalam satu tahun bisa empat kali panen
atau enam kali panen tergantung kita mengaturnya. ‘’Itu tadi kita sudah
menggunakan etril sehingga panen nenas bisa diatur,’’ ucap Ibrahim yang saat
sekarang sudah menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi terkenal di Riau.
Jadi untuk sekali panen bisa 400 jerat atau gandeng yang setiap gandeng
terdapat dua buah nenas. Dengan begitu dalam satu hari bisa memanen 800 buah
nenas. ‘’Semuanya tergantung permintaan dari agen atau pengumpul nenas,’’
jelasnya.
Bagi dirinya dan masyarakat yang berkebun nenas di Telukbatil, Kayu Ara
dan Tanjungkuras tak lagi risau buah nenas di kebun busuk atau tak terjual.
Untuk saat sekarang, nenas semuanya memiliki harga. Paling tinggi per renteng
atau gandeng untuk ukuran kelas satu diharga Rp9.000 atau Rp4.5000 per buahnya.
Sedangkan ukuran sedang Rp2.500 per buah dan ukuran kecil Rp2.000 per buah.
‘’Kalau nenas lagi banjir per buahnya ukuran besar Rp3.500,’’ ucap
Ibrahim.
Semuanya tergantung permintaan, kata
Suherman, tapi yang jelas tak ada pemilik kebun nenas yang merugi. Karena buah
nenas dari yang kecil hingga ukuran besar terjual semuanya tinggal perbedaan
harganya saja.
Nenas
Dibawa ke Medan dan Padang
Nenas Sungai Apit, terutama yang berasal
dari Desa Telukbatil, Kayuara dan Tanjungkuras saat sekarang bukan lagi
merambah di pasar lokal di Kecamatan Sungaiapit dan Kabupaten Siak saja, akan
tetapi sudah merambah ke kota-kota dan kabupaten lainnya di Riau. Bahkan tak
sedikit agen yang mengambil nenas di Sungaiapit
membawa ke beberapa provinsi lainnya, seperti Sumatera Utara dan
Sumatera Barat.
Seperti dikatakan, Ibrahim dan Suherman dan Fernando (36). Menurut
Fernando yang saat itu sedang memanen nenas kala itu bahwa nenas yang
dipanennya untuk dibawa ke Padang. ‘’Ini ada permintaan 400 gandeng untuk
dibawa ke Padang. Makanya saya panen hari ini, padahal hari ini hari pasar
biasanya saya tak ke kebun,’’ jelas Fernando sambil mengisi buah nenas ke dalam
keranjang yang berada di sepedamotornya.
Menurut dia, bertanam nenas tak lagi menjadi pekerjaan sampingan akan
tetapi sudah pekerjaan tetap bagi dirinya. Menurut Fernando kebun nenas yang
dipanennya tersebut lahannya bukan miliknya tapi orang lain. ‘’Tapi hasilnya
cukuplah untuk membayar sewa tanah dan juga untuk hidup,’’ jelasnya.
Ibrahim saat itu juga menegaskan, kalau nenas yang ada di kebunnya
diambil para penampung dari berbagai daerah. Ada dibawa ke Pekanbaru, Kampar,
Padang bahkan sampai ke medan. ‘’Jadi tak adalah nenas yang busuk. Kalau tiba
musim panen sudah ada penampungnya,’’ ucap Ibrahim lagi.
Berharap
Ada Industri Pengelola Nenas
Dengan banyaknya hasil panen nenas di tiga
desa yaitu Telukbatil, Tanjungkuras dan Kayu ara tersebut pemerintah desa
berharap mimpi memiliki industri pengelola nenas bisa terwujud di Sungai Apit.
‘’Dari hasil panen masyarakat mencapai tiga desa tersebut mencapai 40-50
ton per bulan. Untuk Telukbatil sendiri saja mencapai 20 ton setiap panennya,’’
kata Sekretaris Desa Telukbatil Arman.
Dengan besarnya hasil panen nenas masyarakat ini terkadang harga
dimainkan para penampung. Terutama saat banjir nenas, harga nenas bisa jatuh
hingga Rp2000 per buahnya. ‘’Tapi ketimbang busuk di kebun lebih baik jadi
duit,’’ jelas Arman
Banyaknya hasil panen nenas, masyarakat sudah mencoba membawa nenas ke
Pulau Burung yang merupakan daerah memiliki pabrik nenas. Akan tetapi harga tak
masuk dengan biaya yang dikeluarkan untuk operasional ke Pulau Burung. Selain
itu nenas banyak yang busuk untuk sampai ke daerah tersebut. ‘’Dulu pernah
dibawa ke Pulau Burung, harganya tak masuk dan masyarakat merugi, makanya
sekarang dijual dan dipasarkan ke Pekanbaru, Padang dan Medan saja. Dan
penampungnya menjemput sendiri, jadi masyarakat tak rugi,’’ ucapnya.
Untuk itu dia berharap ada kebijakan pemerintah ke depannya membangun
pabrik nenas. Apakah itu untuk kalengan nenas atau lainnya. ‘’Kalau dilihat
dari produksi nenas cukup untuk pabrik. Tandanya investor Malaysia pernah mau
membuat pabrik, akan tetapi karena orangnya meninggal jadi batal, padahal
lahannya sudah mereka tinjau. Ke depan kita berharap ada investor lokal mau
membangun pabrik itu,’’ jelasnya.
Hal serupa disampaikan Sekretaris Desa Tanjungkuras, Lozet, menurutnya hasil perkebunan nenas
masyarakat cukup besar dan berlimpah. Hanya saja sampai saat sekarang pabrik
belum ada. Namun masyarakat sekarang sudah terbantu dengan adanya pembeli dari
berbagai kota. ‘’Tapi harganya terus berubah karena tergantung permintaan. Jadi
terkadang harga bisa dibawah tiga ribu per buahnya. Tentu dengan harga segitu
membuat masyarakat tekor dan tak dapat untung,’’ ucapnya.
Untuk di desanya luas lahan perkebunan nenas mencapai 600 hektare.
‘’Tapi Alhamdulillah semuanya bisa berjalan lancer dan masyarakat tetap
berkebun, karena sampai sekarang masih jelas pasarnya,’’ ucap Lozet lagi.
Perlu
Dibangun Pabrik
Seperti pernyataan pengamat ekonomi dari
Universitas Islam Riau (UIR) HM Hasbi Zaidi SE MP yang kini menjabat Pembantu
Rektor II UIR beberapa waktu lalu, dia
menilai, salah satu sifat hasil pertanian nenas adalah tidak tahan lama dan
cepat busuk. Para petani pun akhirnya terpaksa menjual dengan harga murah
karena takut hasil panen nenas mereka membusuk begitu saja.
Lain
dengan barang industri yang punya sifat tahan lama. Menurutnya, di sinilah
peran Pemerintah Daerah. Pemkab Siak
harus berpikir bagaimana barang-barang tersebut tidak dijual dalam
kondisi mentah saja. Tapi bagaimana menumbuhkan hilirisasi nenasnya pada
petani.
Sementara
beberapa komoditi hilir dari nenas seperti bentuk kalengan, manisan kaleng,
belum tampak. Penciptaan produk-produk industri hilir dari nenas ini harus
diiringi dengan kualitasnya, seperti segi kemasan dan bahan-bahannya. Apalagi,
konsumen kini semakin cerdas. “Orang tidak hanya sekadar mencari rasa tapi
bergizi dan higienis,” ulasnya.
Selama
industrilisasi atau turunan sifat nenas belum digali, maka segi ekonominya
tidak akan menghasilkan pendapatan yang besar. Dengan kondisi itu petani tetap
dalam subsistensi. Yakni pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk hari itu
saja.
Pemerintah
daerah melalui dinas terkait seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun
Dinas Koperasi harus pro aktif melihat apa bekal yang harus dibekali pada
petani. Melatih masyarakat setempat apa yang harus mereka lakukan.
“Ini
langkah awal, memberikan informasi yang cukup sehingga mereka berkeinginan
untuk menghasilkan industri hilirnya,” ujarnya.
Bahkan ini bisa dijadikan sebagai produk khas Riau. Tinggal cara
pengemasannya seperti sebuah home industry alias rumah tangga. Dinas terkait
harus mendukung percepatannya.
Soal pencadangan agar lahan yang ada sekarang bagi petani nenas tetap
harus dipikirkan pemerintah daerah. Namun semuanya tergantung kebijakan
pemerintah daerah, apakah akan dipertahankan atau tidak. Misalnya, dengan
melakukan pelarangan penjualan lahan di area tersebut. Karena kalau tidak,
lahan itu akan hilang dan tergusur. Dan masyarakat akan tergiur dengan
tingginya harga lahan yang makin lama makin tinggi.
Lahan yang dimanfaatkan petani untuk perkebunan nenas sekarang merupakan
lahan berawa yang memang cocok untuk perkebunan nenas. Upaya-upaya penyelamatan
mata pencarian petani ini harus dilakukan dengan tindakan nyata. Kalau tidak,
lahan dan mata pencarian petani di kawasan itu akan hilang.
Sementara
untuk penyediaan lahan baru, menurutnya tidak mungkin jauh dari konsumen.
Kalangan masyarakat yang melintas di kawasan ini merupakan konsumen bagi petani
nenas selama ini. Kecuali pemerintah menyediakan penampung hasil-harus produksi
nenas yang dihasilkan petani seperti pabrik pengolahan nenas.
Mendirikan
pabrik pengolah nenas dinilai jauh lebih rumit dibanding pemerintah menciptakan
home industry petani nenas. Pasalnya, bagi investor tentu akan melakukan kajian
tentang profit yang diperoleh, ketersediaan bahan baku dan beberapa item
lainnya. Kalangan investor tidak akan begitu saja menanamkan investasinya bila
tidak ada jaminan itu.
Pemberdayaan masyarakat dengan cara home industry dan kelompok-kelompok
usaha tani, menurutnya bisa menjadi sebuah solusi untuk mengangkat kembali
mengangkat harkat dan martabat dari ekonomi petani. ***
Comments
Post a Comment