Tanah Tegadai Numpang di Tanah Tauke
Kalaupun dari Selatpanjang berangkat siang
hari. Namun dari Kepaubaru berangkat pukul 05.30 WIB dengan ongkos sebesar
Rp100 ribu.
Tim kami tiba di pelabuhan saat itu sekitar pukul
07.30 WIB. Namun speedboat baru tiba di dermaga sekitar pukul 08.00. Di derai hujan pagi itu,tak membuat speedboat
yang memiliki dua unit mesin 85 PK menunda keberangkatan. Sekitar pukul 08.30
WIV anak buah kapal membuka tali. Kapten
kapal pun mulai melajukan speedboat melawan hempasan gelombang yang agak kuat
di Selat Air Hitam pagi itu.
Satu demi satu tepian kampung ditinggalkan
speedboat yang saat itu terus menyusur Pulau Tebingtinggi. Perkampungan pertama
pun di lalui, menurut kapten speedboat saat itu kampung dilewati, Sungai Tohor
Barat, Sungai Tohor, Nipah Sedanur, Sedanur Darul Ikhsan yang perkampungan ini
masih berada di Selat Air Hitam.
Sekitar
dua jam perjalanan akhirnya tiba di ujung Selat Air Hitam yang berada di ujung
Pulau Tebingtinggi. Tanjung yang menjorok ke arah Selat Melaka ini, disebut
orang dengan nama Tanjung Sari, Tanjung Gadai. Melewati perkampungan dan
pelabuhan Tanjunggadai pemandangan mata dimanjakan dengan rimbunan bakau dan
jenis tanaman mangrove lainnya. Tepian pantai yang terjaga ini tentunya berkat
kepedulian masyarakat setempat tak menebang rimbunan bakau. Terlihat juga dua
orang nelayan sedang memasang belat (jaring yang di letak pada tepian pantai
kemudian dibuat petak pundi sebagai tempat berkumpul ikan).
Beberapa menit melintasi Tanjung Sari dan
Tanjung Gadai, kemudian speedboat mengarah
ke Selat Panjang. Perkampungan pertama dilalui Kampunbaru dan Teluk Buntal. Sedangkan di
depan perkampungan ini tampak melintang Pulau Serapung milik Kabupaten
Pelalawan yang letaknya tak jauh dari Kuala Kampar. Kemudian terlihat juga
Pulau Panjang dan Pulau Sejati yang tak ada penduduk.
‘’Sekejap lagi tibelah kite di Kampungbaru
dan tak jauh dari situ ada pelabuhan Kepaubaru,’’ ucap Hermizon, yang menjadi
pembimbing dan juga tokoh masyarakat Kecamatan Tebingtinggi Timur.
Sesaat kemudian, kapten speedboat pun
mengurangi kecepatan mesin dari tepian Selatpanjang untuk menuju pelabuhan
Kepaubaru. Dari kejauhan ratusan orang dewasa dan anak-anak sudah berdiri di
ujung pelabuhan. Sambutan hangat warga ini memberi kesan tersendiri bagi kami. Apalagi sapaan ramah keluar dari mulut para orang tua dan tokoh masyarakat
yang hadir di ujung pelabuhan ketika kami naik ke atas pelabuhan. ‘’Selamat
datang di Kepaubaru. Beginilah kampung kami, hati-hati pak jambat banyak
lubang,’’ ucap beberapa masyarakat hadir saat itu.
Aroma
Mangrove dan Rumbia Menyapa
Aroma pantai berlumpur dan aroma dedaunan
bakau, nyirih, kedabu dan berembang langsung menusuk hidung ketika baru saja
menginjakkan kaki di ujung dermaga. Perkampungan Kepaubaru tepatnya Dusun II
ini benar-benar berada di tepian tebing Selatpanjang.
Panjang pelabuhan Kepaubaru ini sekitar 200
meter menjorok ke tengah Selatpanjang. Berjalan kaki beramai-ramai bersama
warga membuat Susana bahagia dan tak terasa sudah tiba di pangkal pelabuhan.
Setiba di daratan, kembali segarnya udara dan aroma batang Rumbia membuat nafas
terasa lega. ‘’Selamat datang di perkampungan meria (rumbia,red),’’ ucap Awi
(45).
Hampir semua rumah yang terbuat dari papan
dan atap rumbia di Dusun II, Desa Kepaubaru di halaman belakangnya tersaji
rimbunan batang rumbia. Bahkan ada beberapa rumah sangat sederhana berada pas
di dalam kepungan rumpun rumbia. Tapi terlihat anak-anak dan para orangtua
tetap ceria.
Menurut Awat warga Dusun II, Kepaubaru
merupakan perkampungan yang hasil dan kebun utamanya adalah batang rumbia.
Kemudian sebagian kecil warganya masih ada berharap dari hasil tangkapan ikan
di Selatpanjang dan hasil sea food dari sungai-sungai air asin dan lopak-lopak
yang ada di celah bakau. ‘’Di kampung ini ikan lumayan banyak, lokan, sebarai
dan siput juga ada,’’ ucap Awat kala itu.
Hanya saja, hasil perikanan dan hasil laut
lainnya hanya dikonsumsi bagi masyarakat tempatan tak ada di bawa ke luar
daerah. ‘’Jumlah nelayan siket jadi cukuplah untuk keperluan masyarakat kampung
ini,’’ jelas Awat yang juga warga keturunan Suku Asli yang sudah memiliki dua
anak ini kepada kami.
Menjadi nelayan tak menjadi pilihan
masyarakat Suku Asli di Kepaubaru, karena mayoritas para anak keturunan Suku
Asli bekerja sebagai penebang, penggolek dan pembersih kebun Rumbia. Bahkan
pada umumnya mengambil upah di perusahaan dan tauke pemilik kebun Rumbia.
Rumah
Berdiri di Tanah Tergadai
Berdasarkan data disampaikan Ketua Batin
Suku Asli Kepaubaru, Salim (65) warga Dusun II, jumlah warga Suku Asli di desa
pecahan dari Telukbuntal tersebut mencapai 85
persen lebih. Sedangkan selebihnya
berasal dari Suku Jawa, Tionghoa dan Melayu dan suku-suku lainnya.
Dengan begitu dari 1.335 jiwa atau 330 KK
lebih yang menempati Desa Kepaubaru lebih dari 1.000 orang merupakan anak
keturunan dari Suku Asli. Tapi sayang tak semuanya warga suku asli yang
merupakan orang pertama menempati Kepaubaru tersebut memiliki lahan akan tetapi
lebih menumpang ke kebun atau tanah milik orang lain yang mereka sendiri tak
tahu di mana tempat tinggalnya. ‘’Katanya dulu tanah nenek dan datuk kami, tapi
sekarang dan jadi milik orang lain. Biasalah di kampung dulu kalau perlu duit
ada batang rumbia di pajak. Atau istilah sekarang ijon. Karena tak cukup
membayar hutang akhirnya tergadai tanah tu,’’ jelas Atat (45) kepada kami.
Bahkan saat itu, kami sempat bertandang
ke rumahnya. Rumah yang sangat sederhana menggunakan papan dan beratap daun
rumbia. Kemudian tiang-tiang dan gelegonya terbuat dari kayu bulat. Meskipun sangat
sederhana tak membuat Atat berputus asa dalam menempuh hidupnya. ‘’Dulu katanya
tanah ini milik keluarga tapi sekarang dan jadi milik orang Cina dan tak tahu
di mana tempat tinggal mereka. Katanya ada di Selatpanjang dan setengah orang
ada mengatakan tinggal di Pekanbaru, tapi tak tahulah. Yang jelas saya masih
bisa menumpang membuat rumah di tanah ini,’’ jelas Atat yang bekerja menebang
dan membersih lahan Rumbia perusahaan yang tak jauh dari kampungnya tersebut.
Atat yang memiliki tiga orang anak ini,
mengakui bahwa dua anaknya masih bersekolah. Anak pertama sudah tamat SD dan
ikut bekerja bersamanya. Kemudian anak kedua kelas II SD dan dua masih kecil.
‘’Untuk hidup dan biaya anak sekolah semue kerje saye buat dari berkebun hingga
nelayan,’’ jelas Atat.
Sebagai orang miskin, kata Atat, tentu tak
memilih kerja. Mengapa dibilang miskin, kata Atat, karena kami tak memiliki
kebun dan tanah nak membuat rumah. Sebab sampai sekarang rumah berdiri di atas
tanah orang. ‘’Walaupun kononnya ini lahan datok nenek kami, tapi ape daye
sekarang bukan milik kami lagi,’’ jelasnya sambil membelah kayu baku di halaman
belakang rumahnya. Terlihat anaknya tercenung melihat Ayahnya sedang membelah
kayu saat itu.
Tak jauh berbeda dengan nasib, Awi (35)
warga Dusun II. Awi yang tinggal tak jauh dari kantor Desa Kepaubaru tinggal di
tengah rimbunan rumpun batang rumbia. Rumah yang hanya berukuran 5x6 meter dan
dua meter diperuntukkan untuk dapur sangat sederhana. Di dalam rumah tersebut
Awi juga membawa orangtuanya tinggal bersama. Sedangkan dirinya sendiri juga
sudah memiliki tiga orang anak. Anak pertama SD kelas III, anak kedua SD kelas
II dan anak ketiga masih berumur satu tahun tiga bulan. ‘’Inilah rumah kami pak
bersempit-sempit. Orang kampung susah macam ginilah. Kais pagi makan pagi, kais
petang makan petang,’’ jelas Awi sambil menyikap daun pintu rumahnya saat itu.
Walaupun rumah sangat sederhana tapi tak
merasa sempit, karena bagian depan rumah dibuat teras untuk duduk bersantai
pada sore hari. ‘’Teras ini selain untuk duduk-duduk juge dapat dibuat sebagai
tempat untuk menyocok atap bini saye,’’ kata Awi, yang saat itu hanya menjawab
sepatah dua patah kata saja kepada kami.
Menurutnya, kerisau selalu menghantui
hatinya. Mulai dari bujang hingga berumah tangga dan sudah memiliki tiga orang
anak. Tak dapat sekakang kerapun tanah. ‘’Sampai sekarang menumpang tanah
orang. Jadi kami tinggal menunggu tuan tanah tak suke aje,’’ kata Awi sambil
menghisap dalam-dalam rokok kreteknya saat itu.
Kerisauan warga lain juga terucap dari
Awat, menurutnya hampir semua keluarga Suku Asli saat sekarang yang tinggal di
Kepaubaru menumpang atau tinggal di tanah sendiri yang sudah menjadi milik
orang lain. Pemilik tanah hanya memberikan catatan, agar tak mengusik batang
rumbia dan selalu berharap membersihkan lahan mereka. ‘’Ya kalau mereka masih
suka, kalau tak suka elamat rumah dirubuh oleh tuan tanah,’’ ucap Awat.
Tepian
Bakau Menanti
Menurut Salim, saudara-saudaranya, anak dan
cucunya saat sekarang sangat susah. Dahulu, kenang Salim rata-rata kepala
keluarga memilik lahan. Tapi akibat dari tak memiliki kekuatan ekonomi,
akhirnya tanah tergadai dengan adanya sistem ijon atau pajak tersebut.
‘’Untung saje saye masih ada tanah tersisa.
Tapi kawan dan saudare saye tak siket tanahnya tegadai dan sudah menjadi milik
orang yang dulunya tauke tempat berhutang duet untuk keperluan itu ini. Dan itu
tak saya napikan, karena warga kami perlu duet dan makan,’’ ucap Salim.
Kemudian diakuinya akibat tak adanya orang
cerdik pandai di kampung untuk membina masyarakat dahulunya juga sangat
berpengaruh. ‘’Kami disini manelah ade sekolah tinggi, tamat SD dan SMP untuk
sekarang dah hebat. Apelagi di kampung kami hanya ada SD, itupun terkadang
harus menempuh jarak tige empat kilo jalan kaki baru sampai,’’ ucapnya.
Tapi ape nak dikate, kata Salim, semuanya
sudah terjadi. Yang ada sekarang anak cucu sudah tinggal di tanah orang.
Walaupun rumah bagus, tetap saja tanah sebagai tapak rumah milik orang lain.
‘’Jadi tinggal menunggu saatnya saja,’’ jelas Salim sambil duduk termenung dan
sesekali mengepulkan asap rokoknya di teras rumahnya di Dusun I.
Pernyataan Ewi (40), tak jauh berbeda
disampaikan Salim. Menurut dia, sepanjang ruas jalan dari tepian tebing
Selatpanjang hingga menuju Batin Salim,
tanah kiri kanan jalan milik orang atau tauke-tauke yang ada di
Selatpanjang dan daerah lain. Walaupun rumah terlihat cantik dan besar tetap
saja rumah berdiri di atas tanah orang. ‘’Jadi kalau kami di gusur, elamat tinggal
dekat tepi bakau, bekawan dengan siput dan lokan,’’ ucap Ewi bernada lirih
kami saat itu.
Tanah tak ada, kata Ewi, jadi mau tak mau
harus pindah ke tepian laut. ‘’Tanah itupun kite tak tahu, rupenye mungkin dah
ada orang punye,’’ ucap Ewi yang merasa sedih karena menumpang di kampung
sendiri, walaupun sudah tinggal puluhan tahun sejak nenek moyang mereka
bertempat tinggal di Kepaubaru.
Kesehatan
dan Pendidikan Utama
Kemampuan ekonomi masyarakat Suku Asli di
Kepau baru lumayan tinggi, hal ini dikarenakan upah yang didapatkan menebang
dan membersihkan kebun rumbia sangat memadai. Oleh sebab itu keperluan akan
pendidikan dan kesehatan menjadi faktor utama bagi warga Suku Asli.
Seperti pengakuan Pramono, keinginan
menyekolahkan anak sangat tinggi. Ini terbukti ratusan warga suku asli
menyekolahkan anak-anak mereka di SD di Dusun II Kepaubaru atau tak jauh dari
Kantor Desa. ‘’Jalan jadi kendala, kalau musim hujan tak sampai setengah murid
datang sebab rumah mereka terendam banjir atau jalan lecah tak bisa pegi
sekolah,’’ kata Pramono warga Dusun I kepada kami.
Keinginan untuk mengecap pendidikan sangat
terasa bagi masyarakat, sebab sebagian besar ada juga warga menyekolahkan anak
mereka ke Desa Telukbuntal. Walaupun pergi ke Telukbuntal per harinya bisa
menhabiskan uang untuk ongkos sebesar Rp20 ribu pulang pergi. ‘’Dari puluhan
murid yang tamat paling tinggi dua tige orang saje yang menyambung sekolah SMP,
sebab tak sanggup biaya. Sekolah SMP jauh betul, belasan kilometer dari kampung
Kepaubaru. Jalan cepat naik speedboat, berkisar 20 menit sampai ke
Telukbuntal,’’ jelasnya.
Bagi orang kaya, kata Awi, mungkin bisa
menyekolahkan anak mereka. Tapi bagi masyarakat suku asli yang pas-pasan tak
sanggup. Kalau sudah tamat SD sudah hebat. ‘’Untuk makan aje payah, apelagi nak
membiayai ongkos anak pergi sekolah ke SMP Telukbuntal, tak sanggup kami pak,’’
ucapnya.
Sedangkan untuk kesehatan, pemerintah
Kabupaten Kepulauan Meranti menempatkan satu bidan PTT di Desa Kepaubaru
tepatnya di Dusun II. Bidan bernama Sri Wahyuni, untuk bulan Februari melayani
sebanyak 150 jiwa warga yang datang berobat. ‘’Antusias masyarakat untuk
berobat sangat tinggi, dan Alhamdulillah mereka sangat peduli dengan
kesehatan,’’ kata Sri Wahyuni yang tinggal sendiri di Kepaubaru, karena
suaminya bertugas sebagai TNI di Kota Batam.
Begitu juga pengakuan warga, Atat,
keberadaan bidan di kampungnya sangat membantu masyarakat. Terutama untuk biaya
melahirkan, cukup terbantu, paling tinggi biayanya Rp100-200 ribu saja.
Karena keterbatasan obat-obatan, kata Sri Wahyuni
yang juga warga Kabupaten Kampar ini, sering memanfaatkan speedboat desa, untuk
membawa pasien rujukan ke Puskesmas Selatpanjang. ‘’Jadi warga diharapkan bisa
mengisi minyak dua jerigen 35 liter. Jadi kisaran 70 liter untuk mengantar
pasien ke Selatpanjang,’’ ucap Sri Wahyuni saat itu sedang hamil muda.
Habislah
Tanah Kami
Nasib anak-anak suku asli di Kabupaten
Kepulauan Meranti, khususnya di Kepaubaru tergantung kebijakan pemerintah.
Bahkan kejadian tak memiliki tanah
sebagai tapak rumah tak saja di Kepaubaru akantetapi dibeberapa tempat lainnya,
seperti keturunan suku asli di Desa Kudap, Rangsang, Tanjungkedabu dan Ransang
pesisir.
‘’Tak sedikit anak cucu dan keluarga kami
yang sampai sekarang masih menumpang hidup di tanah orang. Tapi tak semuanya,
karena sebagian ada juga tanah, tapi warga kami lebih betah tinggal di tepian
pantai,’’ kata Kepala Batin Suku Asli Kabupaten Kepulauan Meranti, Amir kepada kami.
Menurutnya, anak suku asli di Kepaubaru
pada umumnya bekerja sebagai buruh dan petani kebun rumbia. Akantetapi kebun
meria (rumbia) yang mereka kerjakan pada umumnya bukan milik pribadi.
‘’Kalaupun ada hanya beberapa suku asli saja, dan selebihnya menjadi buruh di
perkebunan perusahaan dan tauke-tauke yang memiliki kebun meria,’’ sebut Amir.
Hidup menumpang di tanah tauke atau
menumpang di tanah sendiri karena terjerat sistem ijon sudah lama terjadi. Diakui Amir tak memiliki tanah bagi saudara
dan anak cucunya saat sekarang juga dipengaruhi karena suku asli suka
berpindah-pindah. Namun sejak terbentuknya kabupaten Kepulauan Meranti dan
disentuh berbagai program akhirnya mereka menetap. Tapi tak semuanya bisa
begitu, sebab mereka bisa saja pindah dari Pulau Tebingtinggi ke Pulau
Rangsang, Pulau Merbau atau Pulau Padang. ‘’Berpindah karena mereka masih ada
hubungan persaudaraan yang akhirnya tanah mereka tergandai. Sehingga saat
mereka tiba ke kampung kembali tanah tak ada akhirnya menumpang di tanah orang
untuk membangun rumah,’’ jelasnya.
Apalagi di Desa Kepaubaru, tanah-tanah dan
hutan milik perusahaan besar. Sedangkan di tepian pantai banyak kebun rumbia
yang dimiliki para tauke. Diakuinya, dulu milik datuk atau nenek para
saudaranya di kampung tersebut. Akantetapi karena adanya sistim ijon atau pajak
akhirnya tanah tersebut milik tauke.
Sistem ijon satu pihak sangat membantu
masyarakat suku asli, akan tetapi satu pihak menguntungkan para tauke. Macam
mana tak membantu masyarakat, karena ketika sangat memerlukan uang tauke bisa
memberi seberapa diperlukan. ‘’Tapi kita tak sadar, yang semula kita
menggadaikan batang rumbia dan berujung pada penjualan tanah, karena uang yang
dipinjamkan tak bisa dikembalikan, apalagi dengan sistem bunga yang sangat
memberatkan masyarakat kita,’’ ucap Amir. ‘’Karena tak mau memiliki hutang
berkepanjangan, akhirnya tanah dijual agar tak ada hutang. Jadi jangan heran
kalau ada rumah di atas kebun orang lain, padahal kebun itu milik mereka
sebelumnya,’’ kata Amir.
Sebagai Batin Suku Asli, Amir merasa sangat
terpukul dengan keberadaan anak cucu dan saudaranya di Kepaubaru. Hanya saja
dirinya belum bisa berbuat banyak. Bahkan dirinya baru melakukan koordinasi
dengan pemerintah daerah setempat. Hanya saja keinginan dirinya agar pemerintah
membuat program khusus agar suku-suku asli yang menyebar di sepanjang pesisir
pantai, Tebingtinggi, Rangsang, Merbau dan Pulaupadang tak terus terpinggirkan.
Salah satu harapan yang dia gantungkan
yaitu agar pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti memberikan fasilitas terutama
menyediakan lahan kepada suku-suku asli.
Dengan adanya lahan sejengkal itu nantinya, kata Amir, bisalah suku asli
bertahan hidup dan tak menumpang kepada tanah tauke yang lambat laun akan
terusir. ‘’Namanya numpang, tentu ketika orang perlu kita disuruh pindah,’’
jelas Amir.
Usulan dari masyarakat Kepaubaru berharap
pemerintah melakukan koordinasi kepada pemilik tanah yang ada di desa tersebut.
Terutama berharap pemilik tanah menghibahkan tanah agak 20 meter tepi jalan
untuk para suku asli. Tapi menurut Amir, itu mungkin sangat berat bagi pemilik
tanah. ‘’Tapi perlu diingat juga kalau tak ada suku asli tanah tersebut tentu
akan menjadi belukar dan tak terurus,’’ ucapnya.
Dengan situasi yang terjadi di Kepaubaru
tersebut, Amir berharap pemerintah memberikan lahan per KK minimal 2 hektare.
Dengan lahan segitu dirinya yakin orang-orang suku asli akan menjaga dan
memeliharanya. ‘’Saya jamin tanah itu tak akan dijual, asalkan mereka dilakukan
pembinaan untuk membuat kebun,’’ lanjutnya.
Berharap membuka lahan sendiri, menurutnya
saat sekarang tak memungkinkan lagi. Pasalnya lahan atau hutan di Desa
Kepaubaru hingga Telukbuntal sudah tergadai dalam artian sudah dimiliki
perusahaan-perusahaan besar. ‘’Kalau masyarakat mengambil atau membuka lahan,
yakin kena lelah pakai parang oleh perusahaan,’’ kata Amir sambil tersenyum.
Suku Asli saat sekarang hidupnya semakin
terjepit. Apakah suku asli menggantungkan hidup dari laut maupun dari hutan.
‘’Dulu di mana ditebar jaring dan melempar pancir di tepi laut pasti banyak
ikan. Kalau sekarang sampah yang dapat. Kalau dulu dimana menahan jerat di situ
didapatkan kancil dan babi, sekarang usah diharapkan. Hutan dah jadi ladang
terang benderang, laut dah kotor tak berikan,’’ jelasnya. ‘’Kalau hutan habis ditebas, habislah
kehidupan kami,’’ keluh Amir lagi.
‘’Sekarang yang jelas habis tanah kami
tegadai. Menumpanglah kami selagi nyawa di badan,’’ ucapnya.
Tapi harapan itu mungkin masih ada, jika
saja pemerintah dan komunitas atau lembaga sosial mau memberikan perhatian
serius terhadap para suku asli pemilik Pulau Tebingtinggi, Rangsang, Merbau dan
Pulau Padang. Diakui semua orang merekalah yang hidup dan besar di tepian selat
sempit itu selama ini. ***
Comments
Post a Comment