''Kemana Lagi Kami Harus Pindah’’
''Tanah ini
sudah menyatu dengan kehidupan saya. Sejak dilahirkan sampai punya anak tiga
saat ini, saya tak pernah pergi ke mana-mana selain di kampung ini. Kalau
kampung ini hilang apa jadinya dengan kami dan anak-anak kami. Kemana kami
harus mengungsi..''
Rabiah (43), menatap nanar rumput ilalang yang
terhampar di belakang rumahnya. Pandangan guru SD di Dusun Penurun, Desa
Muntai, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis
ini menembus lurus ke laut Selat Melaka yang hanya berjarak sekitar 50
meter saja dari pelantar rumahnya.
Raut wajah
wanita berkerudung ini menunjukkan kekhawatiran mendalam, rumah tempat dia
dilahirkan 43 tahun silam dalam hitungan beberapa tahun lagi, bakal di telan
ganasnya abrasi pantai yang seakan tak kenal lelah menggerus daratan Pulau
Bengkalis, pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan negara jiran Malaysia
dan Singapura itu.
Suara
lirihnya bergumam, ''Sudah dekat betul laut dengan rumah kami. Kalau tiba
masanya nanti, rumah kami di telan laut, apa jadinya dengan kehidupan kami dan
anak-anak kami. Akan kah kampung tempat kami bermain dan dibesarkan harus pupus
di telan laut, dan ganasnya ombak Selat Melaka ini,'' ucapnya.
Ucapan ini
mungkin, bagi sebagian orang apa yang dikhawatirkan Rabiah mungkin dinilai
terlalu didramatisir. Padahal itu kenyataan yang tengah mengancam masyarakat di
Pulau Bengkalis terutama Muntai dan Teluk Pambang, tempat Rubiah dan ratusan
ribu jiwa penghuni pulau yang kini tengah dicekam oleh amukan abrasi pantai.
Kami bahkan
menyaksikan sendiri kondisi kampung yang memang berada dalam cenkraman abrasi
pantai ini. Jauh jarak pandang antara rumah Rabiah dengan pantai Selat Melaka,
hanya sekitar 50-60 meter saja. ''Duh dekat sekali laut dengan rumah makcik,''
begitulah gumam Riau Pos ketika tak sengaja bersua dengan Rabiah, saat
berkeliling ke dusun yang sudah lama tak dikunjungi karena sudah bertahun-tahun
tinggal jauh dari sanak famili.
''Itulah
keadaannye saat ini. Laut semakin mengangga dan siap menelan kami. Mau
bagaimana lah carenye lagi,'' ucap Rabiah pasrah.
Rabiah yang
tinggal bersama suaminya Zainal yang
juga dilahirkan di dusun Penurun itu, justru mengajukan pertanyaan yang cukup
membuat kami kewalahan menjawabnya. ''Apa tak ada cara untuk menyelamatkan
kampung kami ni??,'' tanya Rabiah.
Informasi di
himpun Riau Pos dari Rabiah dan sejumlah warga yang mendiami dusun tersebut,
sejak abrasi menggeroggoti satu dari empat pulau yang terdapat di Kabupaten
Bengkalis ini belasan tahun silam, belum sekalipun ada upaya nyata untuk
penyelamatan daratan yang masih tersisa.
Dikatakan
Bocel (38) warga Desa Pambang yang daerahnya tergerus abrasi, ditemui beberapa
waktu lalu mengaku memang telah ada beberapa kali proyek penanaman mangrove
api-api di pantai Teluk Pambang hingga ke Muntai, namun tak mampu menahan
ganasnya ombak Selat Melaka ketika musim angin tiba.
''Sudah
pernah ada proyek penanaman mangrove,
tapi karena tak tepat waktu dan sasaran, pohon tak bersisa dan sampai sekarang
tak membuahkan hasil,'' kata Ayub.
Tak hanya
Rubiah, kekhawatiran dusunnya akan ditelan laut Selat Melaka juga terpancar
dari ungkapan Atik (47), orang tua paruh baya yang lahir dan dibesarkan di Desa
Parit Tiga yang menurutnya tertua di Desa Teluk Pambang tersebut. ''Kami hanya
bisa pasrah. Tatkala hempasan gelombang Selat Malaka dengan perlahan merobek
tanah kebun dan ladang kami. Dari ujung sana hingga kaki ini berpijak dulunya
dipenuhi dengan kebun kelapa dan lainnya. Kini sudah hilang tak berbekas berganti dengan hamparan laut,'' kata ibu
tujuh anak ini.
Niyur yang
dulunya tumbuh berjejer di tepi pantai, hanya menyisakan akar serambut
menyumbul disana-sini. “Dulu di pantai ini penduduk kampung setiap dua kali
dalam setahun merayakan pesta rakyat pantai. Warga tumpah ruah berdatangan ikut perayaan atau
sekedar menyaksikan saja. Kini pemandangan itu tidak ada lagi,'' ujar Fatimah.
Abrasi
pantai terus mencabik Pulau Bengkalis dan menengelamkan tradisi anak negeri Melayu
yang berada di pulau terluar di kawasan perairan Sumatra bagian Timur. Syamsir
(40), putra pertama Fatimah menceritakan, lima tahun silam jarak dusun Parit
Tiga yang bersebelahan Dusun Penurun bisa
berjalan lewat pantai tapi sekarang sudah jauh dan jalan dipinggir
pantai sudah tak bisa dilalui lagi.
Informasi
dari Syamsir, Rabiah dan warga pambang Bocel, di lokasi abrasi, saat musim
angin tiba ketinggian gelombang mencapai 5 meter dan menggerus puluhan meter
daratan jatuh ke laut. Ini terjadi pada November- Januari.
Kian
parahnya abrasi yang melanda Pulau Bengkalis tersebut membuat sejumlah desa
terpaksa dipindahkan ke lokasi yang lebih ke daratan. Malah ada pula warga yang
harus rela eksodus ke negeri jiran Malaysia lantaran tidak memiliki tanah
tempat berkebun. Di pulau yang
berhadapan langsung dengan perairan tersibuk di dunia Selat Malaka itu, hidup
ratusan ribu jiwa yang bermukim di dua kecamatan. Yakni Kecamatan Bantan dan
Bengkalis.
Pengakuan
Ayub, hingga Februari 2010 sebanyak puluhan kepala keluarga di Desa Anak Teluk
Pambang dan Muntai sudah eksodus, pindah jadi Negara Malaysia akibat rumah dan
tanah mereka telah habis tergerus abrasi. Daerah Batu Pahat, negara bagian
Malaysia cenderung menjadi pilihan bagi warga Desa Teluk Pambang dan Muntai
untuk eksodus karena jaraknya cuma 35 mil atau sekitar satu jam mengunakan
speed boat dari pulau tersebut. Un
Belasan Desa Terancam Hilang
Abrasi di Pulau Bengkalis dan Rangsang sudah menjadi
persoalan serius bagi masyarakat di kabupaten Bengkalis dan Kepulauan Meranti.
Kepulauan Meranti sendiri, terdiri atas empat pulau, yakni Pulau Rangsang,
Tebingtinggi, Merbau dan Pulau Padang. Yang berhadapan langsung dengan Selat
Melaka adalah Pulau Rangsang yang merupakan pulau terluar. Pulau Rangsang sekaligus
menjadi pelindung bagi Pulau Tebingtinggi yang berada persis dibalik pulau
tersebut. Pasca pemekaran dari Kabupaten Induk pada 2009, Pulau Tebingtinggi
ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Namun
saat ini, sejumlah desa di Pulau Tebingtinggi, juga sudah tak terelakkan dari
abrasi. Ini terjadi karena semakin mengecilnya pulau Rangsang, sehingga tidak
mampu lagi melindungi Pulau Tebingtinggi, khususnya yang berada di Desa Mekong
dan Alai.
Data yang
dihimpun dari Bapedalda Kabupaten Kepulauan Meranti, tercatat belasan desa di
Pulau Rangsang yang berhadapan langsung dengan Selat Melaka. Di Kecamatan
Rangsang Barat, abrasi terparah terjadi di Desa Bantar yang berada di
penghujung tanjung pulau, Desa Anak Setatah, Desa Kedabu Rapat, Tanah Merah,
Sungai Cina, Melai dan Sonde. Di Kecamatan
Rangsang, abrasi juga mendera Desa Tanjung Kedabu,
Tanjung Medang Sungai Gayung, Tanjung Samak dan lainnya. Di Kecamatan Merbau,
Pulau Merbau, abrasi juga mengancam desa Cantai dan Teluk Belitung di Pulau
Padang.
''Sejak
abrasi melanda, desa kami sudah empat kali dipindahkan, pembangunan batu
pemecah ombak(Geronjong,red) barangkali bisa menjadi upaya dalam permasalahan
abrasi di pulau Rangsang,” kata Kepala Desa Setatah Zulhaidi.
Selain di
Kepulauan Meranti, Abrasi pantai ini juga meluluh lantakkan sejumlah desa di
Kabupaten Bengkalis. Diantaranya Desa Meskom, Jangkang, Selat Baru, Bantan
Tengah, Bantan Air, Muntai, Teluk Pambang, Sepahat, Tenggayun, Api-Api, Tanjung
Medang, Teluk Rhu, Tanjung Punak, Pasir Putih, Makeruh, Pangkalan Nyirih, Teluk
Lecah, Pergam, Terkul,Kampung Tengah dan
lainnya.
Sementara
itu Ketua Satkorlak Penanganan Bencana (PB) Riau yang juga Wakil Gubernur Riau
HR Mambang Mit meminta keseriusan dari pemerintah pusat dan provinsi bersama
Kabupaten Bengkalis untuk memperhatikan nasib warga yang tinggal di pesisir
dari ancaman abrasi.
Tidak hanya
itu batas wilayah terluar di Indonesia yang berada di Pulau Bengkalis di
Kabupaten Bengkalis dan Pulau Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti juga
terancam akan terus berkurang jika kondisi ini tidak segera di sikapi oleh
pemerintah. Jika magrove tidak bisa lagi menahan hantaman gelombang, mungkin
perlu dicari solusi lainnya seperti membuat bangunan penahan-penghancur
gelombang.
"Kami
minta perhatian khusus dari pemerintah pusat untuk ikut menanggani persoalan
abrasi di Pulau Rangsang yang sudah terbilang parah dan mengancam kelangsungan
hidup warga," kata Mambang Mit.
Saat ini
kegelisahan warga Pulau Bengkalis dan Rangsang menyatu dalam rasa cemas tak
menentu. Satu persatu kepala keluarga pun terpaksa mencari jalan menyelamatkan
hidup, mulai meninggalkan kampung dan mengadu nasib mencari tempat berteduh
baru. Jadilah kini kampung puluhan bahkan seratusan tahun silam, yang sempat
jadi primadona dan telah menorehkan banyak sejarah itu, kini berubah jadi
senyap sepi karena mulai ditinggalkan penghuninya. Akankah kampung tertua ini
benar-benar hanya tinggal sejarah?.***
Comments
Post a Comment