Kopi Sempian Mashur
Tak Tahu Bawa Kemana Kopi Luwak
Lebih dari 600 hektare kebun kopi dan tak
kurang 200 ton per bulan biji kopi keluar dari Pulau Rangsang. Namun
harumnya kopi luwak (munsang) di negeri
Kepulauan Meranti ini di Indonesia namun lebih mashur di Batupahat Johor
Malaysia.
Rimbun , hijau daun dan memerahnya buah-buah kopi menjadi tanaman utama
masyarakat di sepanjang jalan-jalan menuju Dusun Parit Gantung, Parit Kasan,
Parit Amat, Parit Besar, Parit Senang dan Dusun Kedabu Rapat sendiri. Rabu (16/10)
pagi kami melakukan perjalanan untuk menuju Sempian yang sejak lama
terkenal dengan penghasil kopi di Pulau Rangsang. Dari sekian banyak dusun-dusun
penghasil kopi di Kecamatan Rangsang Pinggir Riau Pos memilih Dusun Parit Kasan
sebagai tempat tujuan pertama.
Hampir
semua lahan masyarakat di Dusun Parit Kasan lahan kiri kanan dan belakang rumah
mereka ditanami pohon kopi dan diselingi dengan pohon kelapa. Menurut ceritanya
di Dusun Parit Kasan dan sekitarnya itulah dulunya bernama Sempian yang
terkenal dengan perkebunan kopi.
Untuk sampai ke Sempian tim kami tak bisa langsung ke Parit Kasan,
akan tetapi menggunakan pompong dan dilanjutkan menggunakan sepedamotor satu
jam perjalanan baru tiba dusun yang dituju.
Setiba di Pelabuhan Peranggas Desa Lemang, pemilik kebun kopi juga
peternak Musang Nyoto (50) langsung menyambut dengan senyum. Dengan menggunakan sepedamotor TVS dan dua pengojek
melewati jalan aspal beton yang berkerikil dan berlubang sepedamotor melaju
kearah utara pulau. Kecepatan rata-rata 40-50 kilometer per jam.
Sepanjang jalan menuju Dusun Parit Kasan mayoritas di kiri kanan jalan
banyak terlihat perkebunan karet. Kemudian jelang tiba di Parit Gantung
hamparan sawah yang baru ditanami bibit padi terlihat luas. ‘’Inilah menjadi lubung
pangan di Kepulauan Meranti. Baru kemarin diresmikan Dirjen Pertanian, Wakil
Gubernur, DPR RI dan Bupati Kepulauan Meranti kemarin,’’ jelas tukang ojek
sambil terus melajukan kendaraannya mengarah utara.
Sekitar 40 menit perjalanan rimbunan pohon kopi pun mulai terlihat dan
juga tampak hamparan buah kopi yang dijemur di depan rumah warga. Sedangkan
dibeberapa kebun kopi tampak warga sedang melakukan panen. ‘’Panen kopi pak.
Iye,’’ ketika disapa tangan pemilik kebun terus memetik buah kopi dan kepalanya
sesekali dilindungi karena saat itu kami sedang mau mengambil fotonya
sedang melakukan pekerjaannya.
Akhirnya beberapa menit berselang tibalah rumah warga yang menjemput di
Pelabuha Peranggas. Rumah Nyoto saat itu sepi, karena istrinya sedang
menyeberang ke Kota Selatpanjang berbelanja. Sedangkan dua anaknya masih
bersekolah.
Nyoto langsung mempersilahkan naik ke rumahnya. Berselang beberapa menit
berisitirahat. Tim kecil Riau Pos, langsung disugguhkan secangkir kopi.
‘’Cobalah rasa kopi luwak kampong kami ini,’’ jelas Nyoto sambil menyuguhkan
kopi yang diletakkannya atas meja.
‘’Di kampong Sempian ini hampir semua warga memiliki kebun kopi,’’ kata
Nyoto, saat itu usai menyerumput kopi dari gelasnya.
Pada umumnya pohon-pohon kopi di tanami warga di bawah pepohonan niur.
Begitu juga yang dilakukan dirinya. Seluas 30 jalur kebun kopi miliknya pada
umumnya di bawah rindangnya pohon niur. Selang beberapa menit, Nyoto langsung
membawa ke kebun kopi miliknya yang terletak di belakang rumah. Menurutnya saat
sekarang belum masa panen. Makanya tak terlihat banyak warga yang menjemur buah
kopi basah di halaman rumah mereka.
Sambil terus berjalan melihat rumpun demi rumpun pohon kopi yang buahnya
masih hijau walaupun satu dua sudah memerah atau sudah masak, Nyoto berujar,
kalau saat sekarang kopi-kopi yang dimiliki masyarakat pada umumnya diambil
penampung. Bahkan pada penampung kopi
membelinya masih berbentuk jambu (buah kopi masak yang belum diolah menjadi
biji kopi kering).
Kopi jenis Arabika hampir memenuhi seluruh lahan 30 jalur miliknya
diselingi pohon niur. Jika dihitung hektarenya kurang lebih 9 hektare lebih.
Karena ukuran jalur diambil dari 300 depa orang dewasa baik panjang maupun
lebar lahan. ‘’Kebun ini peninggalan
orangtua dan sudah dibagi-bagi untuk adik beradik,’’ jelas Nyoto.
Puas bekeliling melihat kebun kopi, Nyoto mengajak kembali ke rumahnya.
Saat sampai di halaman rumah, bukan langsung masuk ke rumah namun diajak
langsung tmelihat kandang tiga ekor munsang miliknya. Kandang munsang sederhana
tersebut terbuat dari kawat jaring baik dinding maupun lantai. Akan tetapi
sebagian dibuat dari papan. Di dalam kandang dibuat bilik tempat munsang tidur.
Saat Riau Pos melihat benar siang itu munsang sedang tidur dan tidak mau keluar
dari tempat tidurnya.
Walaupun Nyoto berusaha memancing keluar dengan memberikan pisang masak.
Tetap saja munsang tak mau keluar dan berdiam saja di dalam. Akhirnya,
diusahakan menggunakan kayu dan mengaitkan ke badan munsang, akan tetapi tetap
saja tak berahasil keluar. ‘’Kalau siang payah keluar. Tidur die,’’ ucap Nyoto
sembari berjalan menuju rumah bersama tim kecil kami. Berusaha Jadi Pembuat Kopi Luwak
Banyaknya perkebunan kopi dan banyaknya
munsang yang berada di daerah Sempian sebelumnya tak terpikir oleh warga untuk
membuat Kopi Luwak yang harganya selangit. Namun berkat usahanya dan kelompok
yang dia bentuk, akhirnya banyak warga Sempian memelihara munsang untuk
dijadikan media untuk menghasilkan kopi luwak berkualitas.
Menurut Nyoto, awal dirinya tahu pembuatan kopi luwak di televisi. Dari
televisi itulah dia belajar untuk memelihara munsang, kemudian menghasilkan
ratusan kilogram kopi luwak yang siap dijajakan kepada masyarakat. Namun tak
adanya penampung akhirnya dari 10 anggota kelompok kopi luwak Nur Jaya yang
dibuatnya banyak melepas munsangnya.
‘’Biaya operasional untuk munsang dalam satu hari lebih kurang Rp13 ribu
per ekor. Jadi kalau 5 ekor tentu sangat besar biayanya,’’ kata Nyoto.
Rata-rata anggota kelompok kopi luwak di Sempian memiliki 3-13 ekor
munsang. Tentu biayanya tidak sedikit. ‘’Sedangkan pembeli kopi luwak masih
terbatas,’’ jelasnya.
Sambil melihat munsang yang dipeliharanya, Nyoto menjelaskan, kalau
binatang yang menghasilkan cita rasa kopi berkualitas dan bisa menyembuhkan
berbagai penyakit tersebut biaya untuk memeliharanya tak murah. Karena munsang
tak hanya diberi makan kopi saja akan tetapi juga diberi makanan lain, seperti
pisang bahkan sampai memberi makan ayam. ‘’Jika makan tak cukup dan kelaparan
lambat laun munsang mati,’’ jelasnya.
Karena tak sanggup untuk memberi makan munsang akhirnya beberapa warga
melepaskannya. Alasan ketika ditanya karena tak bisa memelihara biaya makannya
tinggi.
Padahal untuk mendapatkan munsang memerlukan biaya besar juga. Karena
untuk munsang ukuran dewasa per ekornya bisa mencapai Rp200-300 ribu per
ekornya. Bahkan harga munsang per ekornya pernah mencapai Rp500 ribu per ekor.
Besarnya biaya untuk operasional memelihara munsang ini juga diakui Misran, yang saat sekarang hanya
tinggal satu ekor. Memeliharanya sebenarnya tak sulit. Tapi biaya makan per
harinya bisa mencapai Rp13-15 ribu. ‘’Terkadang harus memberikan dia
(munsang,red) makan anak ayam, ikan dan buah. Tapi karena kita perlu untuk
dapat biji kopi bagus, makanya dipelihara juga,’’ jelas Misran, yang memiliki
2,5 jalur kebun kopi yang per bulannya bisa mendapat satu ton buah kopi basah.
Karena untuk mendapatkan munsang susah, oleh sebab itu Misran tetap
bertahan memelihara munsang miliknya tersebut. Sebelumnya Misran memiliki 3
ekor munsang. Akan tetapi sudah lepas dua ekor. ‘’Dulu tiga ekor, tapi sekarang
tinggal satu. Mungkin dalam waktu dekat cari dua ekor lagi. Kalau ada dua ekor
bisalah lebih siket kopi luak didapatkan,’’ jelasnya sambil berusaha
mengeluarkan munsang dari tempat tidurnya.
‘’Kalau siang ni musang tidur, payah nak keluar. Tapi malam baru die
keluar makan pisang atau biji kopi yang kite berikan,’’ kata Misran yang
tinggal di Dusun Parit Amat siang itu sedang menjemur buah kopi basah di atas
jerambah.
Atik (30) warga Dusun Parit Gantung, yang juga bagin dari kelompok Kopi
Luwak Sempian juga mengatakan, sulit untuk memlihara munsang. Terutama dalam
memenuhi makannya setiap hari. ‘’Kalau siang kurang makannya. Tapi malam hari
baru banyak makannya. Jadi harus diperhatikan betul. Kalau berbunyi-bunyi dia
(munsang) tengah malam, berarti dia lapar,’’ jelas Atik yang saat itu baru
selesai menjemur buah kopi yang sudah mulai berwarna coklat tertimpa panas di
atas terpal di depan halaman rumahnya.
Selain memiliki kebun kopi seluas 5 jalur, dirinya juga penampung biji
kopi dari warga terutama membeli buah kopi basah yang kemudian dia giling
menjadi kopi dan dijual kembali pada penampung kopi yang ada di Selatpanjang
maupun di kampungnya tersebut.
Untuk mendapatkan biji kopi dari kotoran
mungsang ini tak semudah dibayangkan. Karena tak setiap hari mungsang diberikan
buah kopi. Namun dalam satu pekan hanya diberi maksimal empat kali. Setiap
pemberian paling banyak hanya 2 kilogram. Jangan berharap dari dua kilogram
kopi yang diberikan itu habis dimakan sama mungsang. Paling tinggi setengah
kilogram hingga satu kilogram kopi saja.
Munsang tak serta merta memakan buah kopi yang diberikan. Namun pemilik
munsang harus memilih buah kopi yang masak ranum dan masih segar. ‘’Jangan
diberi buah kopi masak yang kite petik beberapa hari lalu. Tak akan disentum
dan dimakan munsang tu,’’ jelas Nyoto.
Agar di buah kopi bisa dimakan musang, makanya saat memtik buah kopi
yang sudah masak ranum kemudian pilih yang paling segar baru diberikan ke
kandang. ‘’Sudah pilihan begitu terkadang hanya dia makan secuil aje,’’ jelas
Nyoto sambil memperlihatkan buah-buah kopi segar yang bakal di makan munsang.
Pengalaman sulit untuk mendapat biji kopi dari kotoran mungsang ini juga
dialami Misran. Menurut dia buah-buah kopi yang diberikan benar-benar pilihan
dan segar. Sepertinya munsang ini penciumannya pandai memilah dan memilih kopi
bagus dan segar. Pernah beberapa kali memberikan buah kopi yang dipetik dua
tige hari. ‘’Memang tak disentuh sedikutpun,’’ kata Misran yang saat itu sedang
berusaha mengeluarkan munsang dari tempat tidurnya.
Banyaknya kopi luwak yang didapatkan tentu dikumpul dari kotoran munsang
selama berbulan-bulan. Karena untuk satu ekor munsang dalam satu bulan paling
banyak jika sudah menjadi kopi hanya satu kilogram. Itupun dinilai sudah sangat
banyak, karena tak jarang didapat hanya dibawah satu kilogram yang kulit airnya
belum dikupas atau sebelum menjadi biji kopi kering.
Kotoran Munsang Liar Sangat Membantu
Luasnya areal perkebunan di Sempian membuat
perkembangbiakan munsang sangat banyak. Keberadaan munsang liar ini juga sangat
membantu warga untuk mendapatkan kopi-kopi
berkualitas yang bisa dimasukkan bersama-sama dengan biji-biji kopi dari
kotoran ternak munsang warga.
Tak heran jika di daerah Sempian warga yang tak memiliki ternak munsang
akan tetapi bisa menjual kopi luwak ke penampung. Hal ini seperti dikatakan
Sarimen (70) warga Dusun Parit Kasan, dari satu hektare kebun kopi yang
dimilikinya per bulannya bisa mendapatkan 1-2 kilogram kopi dari kotoran
munsang liar di dalam kebunnya.
‘’Kalau rajin mencari kotoran munsang di dalam kebun banyak dapatnya,’’
jelas Sarimen.
Untuk mencari kopi kotoran munsang itu dirinya dalam sepekan sekali.
‘’Kalau rajin mencari banyak dapat. Tapi kalau kopi sedang masak tak jarang
dibiarkan saja, setelah tak musim panen baru dicari lagi. Apalagi dah tau kopi
luwak banyak khasiatnya. Kalau dulu ya dibiarkan saja berserakan di kebun,
sekarang tidak lagi diambil,’’ kata Sarimen yang menyempatkan berhenti dan
berbincang dengan Riau Pos dipinggir jalan saat pulang dari tempat acara pesta.
Menurutnya sejak adanya penampung kopi luwak atau kopi kotoran munsang
hampir semua warga mulai mencari dan mengumpulkan biji kopi tersebut. ‘’Kalau
tidak kita hanya memanen kopi di kebun saja. Bisa dijual basah atau kering,’’
jelasnya.
Sebagai penampung kopi luwak, Nyoto menjelaskan bahwa kualitas dari kopi
kotoran munsang liar sangat bagus kualitasnya. Kualitasnya sudah teruji dan
kopi-kopi di makan munsang liar ini lebih bagus. Namun untuk mendapatkan lebih
banyak memerlukan waktu sangat lama sehingga warga lebih mengumpulkan sediri
dan untuk dikonsumsi sendiri.
Banyaknya kotoran munsang di kebun-kebun kopi warga terbukti saat Riau
Pos berkeliling di kebun kopi Nyoto. Beberapa rumpun pohon kopi ditemukan
tumpukan-tumpukan biji kopi dari kotoran munsang. ‘’Ha ini biji kopi kotoran
munsang liar itu,’’ kata Nyoto sambil jarinya menunjuk sedikitnya 10-20 biji
kopi berserak tak jauh dari rumpun kopi.
Biji kopi dari kotoran munsang liar ini tak boleh dibiar lama-lama nanti
hancur biji kopi di dalamnya. Paling tinggi dalam satu bulan sudah harus
diambil dari tanah. ‘’Jika tidak kulit ari biji kopi hancur dan kopi di
dalamnya tak sedap dan jadi masam,’’ jelasnya.
Apalagi harga kopi luwak sangat tinggi. Untuk per kilogramnya bisa
mencapai Rp200 ribu untuk belum menjadi biji kopi atau masih ada kulit arinya.
Sedangkan untuk serbuk kopi luwak, seperti serbuk kopi luwak jantan, per
kilogramnya mencapai Rp2 juta. Kemudian untuk serbuk kopi luwak biasa Rp1 juta.
Tingginya kopi luwak jantan karena memiliki beberapa khasiat. Terutama
menghilangkan diabetes, darah tinggi, masuk angina, kanker hati dan
menghilangkan magh. ‘’Sayangnya pembeli sangat terbatas, karena kita belum
mendapatkan pasarnya,’’ kata Nyoto lagi.
Untuk kopi luwak yang dikumpulkan dari kelompoknya baru bisa dipasarkan
ke Selatpanjang, Tanjung Balai Karimun dan Pekanbaru. Menurutnya baru-baru ini
ada permintaan dari Jakarta. Akan tetapi sampai saat sekarang belum ada kabar.
Akhirnya Nyoto harus turun sendiri melakukan penjualan di pasar. Bahkan dirinya
pernah langsung menggunakan sepedamotor dari Rangsang menuju Tanjung Buton,
Siak, Perawang hingga ke Pekanbaru.
‘’Itupun tak laku semuanya. Tapi namanya usaha yang saya coba. Walaupun
jauh,’’ lanjutnya.
Kualitas Terbaik Tersohor Hingga Keluar
Negeri
Mayoritas warga yang tinggal di Dusun Parit
Gantung, Parit Nibung, Parit Sentul, Parit Amat, Parit Kasan dan Kedaburapat
memililiki kebun kopi. Luas lahan kopi yang dimiliki warga kisaran 1-30 jalur
per KK. Dari data yang ada luas perkebunan kopi di Kedabu Rapat atau Sempian
ini mencapai 600 hektare lebaih.
Dengan jumlah mencapai 3000 KK di Desa
Kedaburapat Kecamatan Rangsang Pesisir diperkirakan menghasilkan 200 ton biji
kopi yang dijual kepada penadah yang ada di desa tersebut dan juga
Selatpanjang.
Jika musim panen per jalurnya bisa mendapatkan 1 ton buah kopi. Jadi
hitung saja jika satu kepala keluarga memiliki 3-10 jalur kebun kopi, tentu per
panennya memiliki puluhan ton buah kopi basah dan kering. ‘’Jadi mayoritas
warga di Sempian ini memiliki kebun kopi, paling tidak untuk keperluan
sendiri,’’ jelas Nyoto.
Banyaknya buah kopi ini terbukti dari
pengakuan Sarimen, yang setiap bulannya atau 20 hari sekali bisa memanenkan
500-700 kilogram buah kopi. Begitu juga disampaikan Atik yang dirinya per panen
bisa menghasilkan buah kopi lebih dari 2 ton.
Kemudian Misran per panennya mampu mendapatkan buah kopi 2-3 ton.
Seperti pernyataan Kamaruddin, warga Dusun Parit Besar, dari 3 jalur
kebun kopi miliknya paling sedikit atau saat melawas mampu menghasilkan 500
kilogram buah kopi basah. ‘’Kalau musim buah bisa mencapai 1 ton bahkan
lebih,’’ jelasnya saat bertandang ke rumah Nyoto kala itu.
Nyoto menjelaskan sampai saat sekarang para pembeli biji kopi dari
Sempian para juragan lokal baik di Rangsang maupun Selatpanjang. Dengan kisaran
buah kopi per kilogramnya Rp2.000 sampai-2.500.
Menurut
Nyoto dan para pemilik kebun kopi lainnya, untuk bulan-bulan tertentu, seperti
bulan Juni 2012 lalu penghasilan kopi tumpah ruah di kampungnya tersebut,
bahkan hampir setiap rumah memiliki tempat jemuran buah kopi basah. ‘’Biasanya
bulan Juni dan 12 masyarakat panen raya buah kopi. Karena curah hujan tinggi
dan pada umumnya kopi di kebun masak. Saat hujan tiba kopi banyak masak. Kalau
musim panas, lambat masaknya,’’ kata Nyoto.
Tingginya kualitas kopi di Sempian ini tercium hingga ke Malaysia. Ini
diketahuinya saat dirinya bekerja di Malaysia sejak tahun 1980-1998 lalu. Di
batu pahat salah satu agen biji kopi Rangsang bernama Ho Seng, pernah
mengungkapkan kalau biji kopi dari Sempian kualitas terbaik. ‘’Tapi katanya
agen kopi itu dah mati,’’ jelas Nyoto.
Untuk itu dia berharap ratusan ton biji kopi yang ada di Sempian, baik
biji kopi biasa dan biji kopi luwak bisa dicarikan penampungnya di Indonesia.
‘’Kita penghasil kopi biasa dan kopi luwak terbesar, tapi pasarannya susah
didapatkan. Jadi kita berharap ada yang mencarikan itu dan mempromosikan
sehingga kopi-kopi di Sempian bisa dikenal di Indonesia,’’ jelasnya. ***
Comments
Post a Comment