Berkayuh di Tengah Pompa Migas (Riau)
Menjadi nelayan bukanlah pilihan, namun
untuk meneruskan kehidupan menjadi nelayan satu-satunya pekerjaan yang mesti
dilakukan. Begitu juga para nelayan pengerih di Desa Bunsur Kecamatan
Sungaiapit, yang setiap hari berhujan, berpanas dan berembun di tengah Selat
Lalang untuk melihat hasil tangkapannya di dalam keruhnya air selat.
BUNSUR (SIAK)
SAMPAN kolek berukuran panjang 5x2 meter
terbuat dari papan terombang ambing diterpa gelombang yang beranak di tengah
Selat Lalang. Sampan yang sangat sederhana yang dikayuh menggunakan dua mata
dayung ini berusaha memecah gelombang-gelombang kecil, yang hari itu sangat
bersahabat. Padahal beberapa hari sebelumnya angin utara yang kencang membuat
puluhan nelayan di Desa Bunsur mengurungkan niat untuk memasang pengerih.
‘’Tak sanggup tangan bekayuh ke tengah
selat tu pak. Gelombang dan angin mengugu tengah laut tu,’’ jelasnya Muhammad
Ali (53) saat Riau Pos bertandang di kediamannya Dusun Satu di tepian Selat
Lalang.
Untuk melaut bagi masyarakat Dusun Satu
tidak perlu jauh-jauh, karena rumah-rumah mereka pada umumnya terletak di
tepian pantai Selat Lalang. Jadi sampan kolek mereka juga letaknya tepat di
belakang rumah mereka.
Bagi nelayan pengerih cuaca dan arus pasang
naik dan surut sangat berpengaruh. Sebab dalam satu bulan untuk bisa melihat
pengerih menghasilkan ikan sekitar dua pekan saja. Selebihnya tak bisa
menikmati ikan pengerih, karena air pasang naik dan surut sangat kecil dan tak
berarus. Menurut Saari (47) pada umumnya pendapatan pengerih itu pada saat air
pasang menyorong (pasang naik tinggi). Itu di mulai pada 12-17 hari bulan
hijeriah. ‘’Itu untuk pasang naik siang tinggi,’’ jelasnya.
Selain pasang naik siang tinggi juga pada
pasang naik malam tinggi, seperti pada 28 hari bulan hingga 6 hari bulan baru
berikutnya. Namun demikian, pendapatan pengerih tak lagi seperti 10-20 tahun
lalu. Bahkan ikan didapatkan dari dalam pengerih hanya bisa mendapatkan uang belasan ribu dan
paling tinggi kisaran Rp50-100 ribu per hari. ‘’Itu kita sudah ada tiga atau
empat pengerih. Jadi ikan susah betul didapatkan sekarang ini,’’ jelas Saari
lagi.
‘’Tak masuk musim gelombang dan angin kuat
seperti sekarang ini. Bahase kite melencen sekarang ni. Sebab nak masang
pengerih pun tak bisa gelombang dan angin kuat. Tak berani kite ke laut sebab
kite hanye pakai sampan,’’ jelasnya.
Bagi nelayan untuk memasang pengerih di
tengah Selat Lalang memakan waktu 10-20 menit berkayuh sampan. Itu jika
dilakukan pada saat tidak musim angin atau gelombang menggelora. Tapi jika
musim angin dan gelombang, bisa sampai 40 menit sampai satu jam baru tiba di
tengah selat. Untuk membawa pengerih
ukuran cukup besar tak semudah dibayangkan. Paling tidak harus mengondan atau
menyeret pengerih menggunakan dua unit sampan. ‘’Kalau satu sampan saja bisa
ditarik arus pengerih kite. Sebab arus selat ini lumayan laju juga apalagi
kalau pasang tinggi,’’ lanjutnya.
Tapi bagi Muhammad Ali bekerja memasang
pengerih sudah menjadi pekerjaan yang sudah turun temurun. Jadi gelombang dan
kuatnya angin di tengah Selat Lalang sudah menjadi mainan dan kebiasaan bagi
nelayan di Bunsur. Menurutnya jika musim angin kuat dan bergelombang terkadang
harus ditempuh juga. Sebab dari hasil tangkapan pengerih itulah untuk memenuhi
keperluan hidup. ‘’Daripada dapur tak berasap lebih baiklah kita memasang
pengerih. Walaupun angin dan gelombang kuat. Tapi kalau musim angin siang aje
kite berani menengok pengerih, kalau malam tak berani,’’ lanjut Ali lagi.
Mengapa tak berani pada malam hari, karena
para nelayan pada umumnya menggunakan sampan dan tidak menggunakan mesin.
Selain itu paling maksimal untuk pencahayaan sampan hanya menggunakan lampu
lanting kalaupun ada lampu senter. Jadi, keberadaan penunjang penerangan
transportasi sangat terbatas. Kemudian pada sampan-sampan hanya ada kajang yang
terbuat dari daun mengkuang dan daun rasau. Semati-mati angin, kata Ali untuk
tempat berlindung di sampan memakai kembes (terpal pelastik). ‘’Itu sebabnya
kalau hujan dan angin kuat kami tak berani melaut pada malam hari,’’ jelasnya
sambil membubul (menjahit jala pengerih yang robek).
Keterpaksaaan untuk terus melaut tak peduli
musim angin atau gelombang menurutnya lebih untuk memenuhi keperluan hidup.
Sebab jika tak melaut hutang di kedai untuk keperluan hidup makin bertambah.
‘’Jadi menangkap ikan menggunakan pengerih ini untuk hidup aje bukan untuk cari
kaye,’’ ucap Ali yang mengaku memiliki enam orang anak dan masih menyekolahkan
dua anaknya di tingkat SMP dan SD.
Sebagai nelayan pengerih yang merupakan
nelayan tradisional yang masih ada saat sekarang ini tetap tidak pernah putus
asa. Walaupun kemegahan kota dan kemajuan teknologi alat tangkap terus
berkembang. ‘’Alat tangkap pengerih memang mengalami perubahan, dulu kami
menggunakan buluh tapi sekarang sudah menggunakan jala atau jaring untuk
penghalau ikannya. Hanya saja pranak (pundit,red) yang masih terbuat dari
jalinan buluh,’’ ucap Ali sambil menunjuk pranak yang ukuran panjangnya
mencapai satu setengah meter dan lebar sekitar 50 centimeter.
Mengapa
dinilai sebagai alat tradisional karena alat-alat untuk penangkap ikan, udang
dan sejenisnya ini masih menggunakan batang kayu untuk penimbul jaringnya.
Seperti untuk bendol kiri kanan dan alang atas bawah untuk pengikat jaring
masih menggunakan batang kayu mahang untuk penimbulnya. Jadi sangat berbeda
dengan gumbang yang menggunakan pelampung berupa drum plastik yang mengapung di
tengah selat-selat atau laut luas.
Jadi jaring tersebut diikat pada kayu yang
sudah dibuat persegi empat. Sedangkan untuk pundi terbuat dari buluh. Keunikkan
pengerih ini dibandingkan dengan gumbang
dan lainnya semua jenis ikan dari kecil hingga besar masuk ke dalam pranak atau
pundit. Kemudian pranak ini jika air
surut akan timbul sendiri. Jadi tak perlu harus
menarik dari dalam dasar air seperti dilakukan untuk pundit gumbang.
Ketika ditanya mengapa demikian karena saat
air surut pundi atau pranak itu akan timbul karena tidak di tendang oleh arus
air. ‘’Karena terbuat dari buluh secara otomatis air tenang dia akan timbul
sendiri. Makanya setiap air tenang atau pasang sudah penuh, para nelayan
pengerih akan turun untuk melihat isi pranak,’’ ucapnya.
Berbagai jenis ikan yang masuk dari anak
jerait (anak ikan lomek) hingga ikan besar-besar seperti debuk dan ikan jenak
(jinahang) masuk ke dalam pranak. ‘’Kalau rezeki elok dapatlah ikan besar.
Kalau tidak cukuplah untuk sekali makan,’’ jelas Ali lagi.
Tangkapan
Jauh Menurun
Mengandalkan pengerih semata benar-benar
tak bisa menghidupi keluarga. Hal ini dikarenakan menurunnya tangkapan ikan
dari pengerih dari tahun ke tahun. Bahkan dalam sekali mengangkat pranak atau
pundit terkadang hanya mendapatkan setengah kilogram ikan remis.
Hal ini mungkin, kata Muhammad Ali, sudah
tak ada ikan lagi di Selat Lalang yang diketahui tahun 1980-an dulu cukup
primadona ikan. ‘’Tahun 1990-an ikan masih banyak disini, tapi akhir-akhir ini
mencari anak jerait (ikan lomek, red) sudah susah. Paling tinggi dalam satu
pranak dua-3 kilogram saja,’’ ucapnya.
Kemudian mungkin di Selat Lalang sudah
tercemar. Sebab yang masuk dalam pranak atau pundi pengerih itu bukan ikan tapi
sampah plastik, botol-botol dan gelas air mineral. “Tapi kepada siape kite nak
mengadu, hanya kepada Allah SWT ajelah. Yang penting kita jalankan hidup ini,’’
jelasnya.
Dengan mengopes-ngopis sedikit-sedikit,
ucap Ali, dapatlah untuk memenuhi hidup dan menyekolahkan anak. ‘’Itu sudah
senang. Yang penting kita tak menganggur. Kalau tak musim masang pengerih
ngambil upah motong getah atau kerje serabutan lainnya,’’ lanjutnya.
Dulu juga pernah tumpah minyak mentah dan
lainnya. ‘’Tapi itu tak dipedulikan kita tetap juge masang pengerih,’’ ibanya.
Bertahan
Tampa Bantuan
Kisah sedih bagi masyarakat nelayan
pengerih di Bunsur karena tidak adanya bantuan dari pihak pemerintah. Mulai
dari transportasi untuk melaut hingga alat tangkap pengerih yang selama ini
pakai. Bahkan untuk mengganti alat tangkap pengerih para nelayan mengandalkan
ngutang pada kedai-kedai.
Untuk satu pengerih saja mengeluarkan biaya
paling sedikit mencapai Rp800-900 ribu. Namun untuk mendapatkan ini semua
mengandalkan kepercayaan yang diberikan orang kedai atau yang menjual jaring
kepada nelayan Bunsur. ‘’Modal jaring, pranak dan semuanya bisa mencapai
ratusan ribu bahkan bisa mencapai Rp1 juta. Dan untuk pengerih ini satu orang
tak bisa mengandalkan satu paling tidak tiga atau empat. Kalau satu pengerih
saja cukup untuk makan dan tak bisa untuk dijual,’’ jelas Mansur (40).
Menurutnya keberadaan alat transportasi
yang memadai menjadi dambaan dari nelayan pengerih di Desa Bunsur. Hanya saja
sampai saat sekarang masih mengandalkan modal sendiri dengan cara mencari
pinjaman atau berutang ke tauke di kedai-kedai. Dengan alat tangkap pengerih
dan transportasi apa adanya tersebutlah bisa menghidup keluarga dan bisa
menyekolahkan anak.
Dikatakan Mansur dan Saari, untuk satu unit sampan kolek yang
mereka gunakan untuk mengangkut pengerih ke tengah Selat Lalang harganya cukup
mahal bagi mereka. Pasalnya untuk satu unit sampan kolek diharga Rp1,5 juta.
‘’Itu sudah yang separuh pakai. Tapi kami tak pernah beli baru, jadi yang ada
ini diperbaiki terus,’’ jelasnya.
Untuk itu, Ali berharap Pemkab Siak juga
memberikan perhatian serius kepada nelayan pengerih. Paling tidak alat
transportasi apakah itu stempel atau pompong. Jadi untuk melaut tak lagi
menggunakan dayung. ‘’Kalau pakai pompong atau stempelkan senang kami tak
perlulah kami menongkah dayung ke tengah selat tu. Kalaupun ada gelombang kuat
atau angin kuat tak perlu kami rigun (takut,red) untuk membongkar pengerih,’’
harapnya.
Untuk kelompok pihaknya sudah membentuk
kelompok bernama tengiri. ‘’Tapi sampai sekarang kelompok kami ini belum ada
uluran bantuan pemerintah. Inilah yang kami harapkan agar kami bisa juga
maju,’’ ucapnya.
Terkadang, kata Muhammad Ali, mereka juga
terasa miris di tengah Selat Lalang tersebut mengepul api dari gas bumi dan
tanda banyaknya minyak di Selat Lalang. Tapi sayangnya uluran bantuan tak mengalir.
‘’Tapi tak apalah, asalkan api itu tetap menyale agar kami dapat diterangi pada
malam hari dari api itu,’’ ucapnya. ***
Comments
Post a Comment