Konflik Gajah-Manusia, Populasi Sangat Kritis



Konflik gajah dan manusia sangat memilukan terjadi setiap tahunnya. Karena setiap tahunnya ada saja gajah yang mati. Padahal jika dilihat tahun 2006 tingkat konflik masih kecil walaupun ada gajah yang mati hanya kisaran dibawah 10 ekor. Hal inilah yang menyebabkan International Union Conservation Nation (IUCN)  mengeluarkan pernyataan bahwa keberadaan gajah Sumatera dari kritis menjadi sangat kritis bahkan bisa punah.

PEKANBARU (RIAU)

MELIHAT fakta keberadaan tutupan hutan di Provinsi Riau sebagai habitat gajah-gajah Sumatera semakin menyempit, sehingga kemungkinan besar terjadinya konflik gajah dengan manusia sangat tinggi. Tak hanya hutan-hutan lindung akan tetapi hutan yang ditetapkan sebagai taman nasional juga tak terlepas dari alih fungsi hutan menjadi perkebunan. Hal ini terjadi di kawasan Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan.

‘’Luas TNTN yang sebelumnya 83.000 hektare saat sekarang kurang lebih  50 persennya sudah dialih fungsi menjadi kebun sawit. Padahal semua tahu sawit merupakan makanan favorit dari gajah,’’ kata Humas World Wide Foundation (WWF) Riau, Syamsidar beberapa waktu lalu.

Kemudian gajah di kawasan hutan Serange juga semakin terjepit. Pasalnya hutan tersebut sudah banyak dibuka perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan juga HPH milik berbagai perusahaan besar di Riau. Akhirnya penyempitan habitat gajah semakin memprihatinkan.

Ini terbukti dan sangat menyedihkan, konflik gajah dengan manusia tahun 2012-2015 menjadi contoh besar semakin menyempitnya habitat mereka di hutan Riau. Jumlah gajah yang mati sangat jauh dari dugaan dan sangat mengejutkan. Pasalnya jumlah gajah yang mati mencapai belasan ekor, tentu secara persentase jumlah ini sangat besar.

Tingginya konflik gajah di Riau juga membuktikan menghilangnya beberapa kantong atau habitat gajah. Sebelum tahun 2003-2006 lalu  kantong atau habitat gajah di Riau terdapat 15 kantong. Tapi terhitung 2006-2015 jumlah habitat gajah di Riau tinggal beberapa kantong saja. Kantong tersebut dua di TNTN, Balai Raja, Tapung, Mahato, Giam Siak Kecil, Serange (perbatasan Kuantan Singingi-Indragiri Hulu), Pemayongan (perbatasan Riau-Jambi).

Sedangkan kantong-kantong habitat gajah yang hilang di antaranya, Rimbang Baling atau di daerah Bukit Siabu Kabupaten Kampar. Ini hilang diakhir tahun 2003 lalu, ketika daerah tersebut gajah sering berkonflik dengan warga. Akhirnya pihak BKSDA memindahkan semua gajah ke Pusat Latihan Gajah (PLG). Di antaranya dipindahkan di TNTN dan beberapa tempat lainnya.

Dengan kantong-kantong gajah tersisa dari investegasi dilakukan pihak WWF dan BKSDA jumlahnya berkisar tiga ratusan ekor gajah. Jumlah kelompok gajah terbesar di TNTN mencapai 150-200 ekor. Untuk kantong-kantong lainnya seperti Mahato berkisar 5-10 ekor gajah. Kemudian di Balai Raja jumlah gajah berkisar 30-an ekor dan di kantong Serange berkisar 30-an ekor.

Jika dirunut mengapa terjadi begitu besar konflik gajah dan manusia di Provinsi Riau khususnya tak lain karena semakin menyempitnya habitat mereka. Sehingga home ring mereka yang selama ini masih hutan alam berubah menjadi perkebunan sawit. Tentu secara otomatis gajah head to head dengan pemilik kebun. ‘’Ini terbukti di kawasan hutan Balai Raja. ‘’Jika ingin melihat gajah liar dengan mudah di Balai Raja saja. Sebab luasan hutan di Balai Raja semakin sedikit, bahkan bisa dikatakan bukan hutan tegak alam akan tetapi belukar saja,’’ lanjut Syamsidar.

Berdasarkan laporan satelit Citra, luasan hutan di Balai Raja Kabupaten Bengkalis yang sebelumnya mencapai 18.000 hektare, namun berdasarkan realise terakhir yang mereka sampaikan luasan hutan tinggal 120 hektare tutupan hutan.

Catatan WWF, konflik gajah dan manusia terjadi akibat penyempitan hutan, akibat perambahan hutan, alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. ‘’Tertinggi konflik dari catatan kami, karena alih fungsi habitat gajah menjadi perkebunan sawit. Sedangkan sawit salah satu makanan mereka,’’ jelasnya.

Tapi perlu menjadi catatan bahwa adanya perusakan perkebunan sawit karena gajah melintas saja. Sawit yang rusak juga sepanjang jalur perjalanan sekelompok gajah saja. Karena secara biologis gajah berjalan terus melalui jalur atau lintasan mereka selama mereka hidup. Diketahui bahwa setiap harinya atau selama 24 jam,  80 persen gajah itu makan. ‘’Makanya sawit makanan favorit itu dia makan. Tapi tak semuanya dimakan karena ditepi laluan gajah saja. Dan itu sudah kita buktikan di lapangan ketika konflik gajah terjadi. Begitu juga pondok-pondok rubuh karena laluan mereka,’’ jelas Syamsidar lagi.

Terjadi konflik gajah dengan manusia di Riau, menurut Syamsidar juga dimanfaatkan para pemburu gading gajah atau binatang langka di Riau. Ini dikarenakan jalur keluar untuk penjualan gading gajah, kulit harimau dan trenggiling. Makanya, jangan heran ketika konflik gajah terjadi dengan manusia kemudian gajah mati, akantetapi gading gajah sudah tidak adalagi.

‘’Kalau masyarakat biasa tentu tak tahu mau jual ke mana. Tapi karena ada cukong dan pembelinya. Makanya gading gajah sering hilang, ketika gajah ditemukan mati di perkebunan masyarakat. Kami tidak menuduh tapi indikasinya seperti itu, Makanya kami menyebutnya pemburu opertunis,’’ jelas pengurus WWF yang tugas di Riau sejak tahun 2004 lalu ini.

Menghilangkan atau mengurangi konflik gajah di Riau dan mengatasi kepunahan gajah di Riau, salah satunya penegakkan hokum terkait pembunuhan gajah. Sekian banyak kasus kematian gajah terjadi. Kemudian pihak BKSDA melakukan otopsi dan hasilnya diserahkan ke pihak kepolisan dan kejaksaan tapi tak ada pihak yang dihukum. Hal inilah membuat tingkat kematian gajah kian tinggi dan puncaknya tahun 2012 itu. ‘’Karena tak ada sanksi yang diterima pelaku pembunuh gajah. Padahal  kalau diurai tahu siapa pelakunya,’’ tegasnya.

Berkaitan dengan strategi agar tak terjadi konflik gajah di Riau, pihak BKSDA sudah melakukan berbagai upaya. Di antaranya memberikan pelatihan atau membentuk playing squad. Pelatihan dilakukan seperti memberikan pendidikan bagaimana menghalau gajah ke tengah hutan kembali. Program ini disebut mitigasi atau pencegahan terjadi konflik. Beberapa daerah atau tempat langsung dibentuk playing squad seperti di TNTN, kawasan RAPP, IKPP ini dibentuk tahun 2004. Kemudian di Indo Sawit dibentuk juga playing squad tapi sampai belum ada gajah akantetapi patroli yang dilakukan manusia.

Beberapa tempat yang hingga 2013 belum memiliki playing squad di Balai Raja, Mahato, Serange, Tapung dan Pemayongan. ‘’Kami berharap di daerah ini juga ada playing squad,’’ lanjutnya.

Kemudian solusi lain yang harus dilakukan setiap masyarakat harus menyadari bahwa gajah merupakan hewan yang harus di lindungi. Paling tidak dengan berbagi tempat dengan hewan tersebut bisa mempertahankan gajah sumatera ini. Karena gajah sumatera terbanyak di Provinsi Riau. Walaupun sebaran gajah sumatera berawal dari Aceh hingga Lampung. Kemudian yang tidak ada hanya Sumatera Barat saja.

‘’Kita harus berdamai dengan gajah karena sama-sama mahluk tuhan,’’ jelas Syamsidar.

Kemudian meningkatkan mitigasi yang seharusnya tak ada alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan di Riau. Kemudian mitigasi dilakukan dengan prosudural dan terorganisir. Perlu diakui gajah tidak akan menyerang manusia jika mereka tidak terancam. Kejadian selama ini, banyak pemilik kebun menghalau gajah dari kebun mereka akan tetapi gajah pindah ke kebun warga lainnya. ‘’Karena mereka tak terarah di halau makanya gajah merasa terancam akhirnya menyerang manusia. Tapi dari sekian banyak konflik tetap gajah paling banyak mati ketimbang manusia,’’ ucapnya.

Selain itu agar tak terjadi konflik, penegakkan hokum harus ditegakkan. Jika di urut dari tahun 2004-2012 jumlah gajah yang mati lebih dari 100 ekor lebih. Tapi sampai sekarang penegakkan hukum siapa pelaku dan sanksi diberikan tak ada. ‘’Jadi ini perlu ditingkatkan sehingga ada sanksi diberikan kepada pelaku pembunuh gajah,’’ lanjutnya.

Peru disadari kerugian terjadi jika gajah mati dan punah, maka secara ekologi maka rantai ekosistem akan terputus. Karena fungsi gajah penyebaran bibit di hutan-hutan di Riau. Jika tak ada gajah maka ekosistem akan habis di hutan Riau. Riau juga bakal kehilangan budaya dan kehilangan gajah. Padahal gajah sumatera menjadi kebanggan Riau dan Indonesia, karena gajah tidak ada di Kalimantan, Papua dan Sulawesi. Habitat terbesarnya di Riau. ***








   

Comments

Popular posts from this blog

Gulai Ikan Salai dengan Pucuk Ubi

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis