Aum Tuk Belang Tiap Malam

Menyusuri Kehidupan Nelayan Sungai Siak Kecil

Setidaknya ada sembilan puluh sembilan (99) jumlah tasik (danau) yang terhubung langsung dengan Sungai Siak Kecil, yang berada di Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis. Di sinilah, ladang perburuan para nelayan untuk mengumpul ikan-ikan. Kini, mereka mulai berpikir untuk pindah ke darat. Ikan buruan mereka sudah tak menjanjikan seperti dulu lagi.

Laporan Erwan, Siak
Pompong nelayan di Sungai Siak Kecil, Siak


POHON-POHON rasau jadi penghias sepanjang pinggir Sungai Siak Kecil. Sekilas, sungai ini nampak kecil atau hanya lebih kurang 10 meter lebarnya. Hanya saja, setelah diamati, ternyata cukup lebar juga. Pohon-pohon rasau yang tumbuh di sepanjang sungai menjadikan sungai itu mengecil. Tapi, begitu tebing dua sisi sungai terlihat, baru nampak sungai ini lumayan lebar, paling tidak antara 20-25 meter, bahkan ada yang lebar dari itu.

Pepohonan rasau yang merimbun dan jadi tumbuhan utama di sana, jelas tempat bersarang aneka ikan. Tak hanya di sepanjang pinggiran sungai, tasik-tasik yang banyak terhubung dengan sungai ini, juga banyak ditumbuhi pohon rasau. Bahkan, di tasik-tasik itu, pohon-pohon rasau tumbuh di mana-mana, hingga membentuk pulau-palau pohon rasau. Cabang-cabang akar rasau yang berada dalam air, membentuk ronggo-rongga, jelas tempat bersembunyi yang nyaman bagi ikan-ikan.

Selasa, 2 Oktober
tahun lalu, bersama teman-teman melakukan ekspedisi di sungai yang muaranya bertemu dengan Sungai Siak ini. Tim kecil ini memilih Desa Teluk Kelambu, Dusun Mekar Baru sebagai punca bertolak. Sebenarnya, Mekar Baru adalah nama baru. Dulu, dusun ini bernama Sungai Nibung, dan sejak transmigrasi Paket J berkembang, Sungai Nibung lebih dikenal dengan nama Mekar Baru.

Untuk sampai ke titik ini, dari Pekanbaru menggunakan mobil, memerlukan waktu antara tiga sampai empat jam. Dari Sungai Nibung ini, penyusuran Sungai Siak Kecil dimulai sekitar pukul 11.00 WIB, menggunakan pompong bobot sekitar satu ton, dengan mesin domping 20 PK. Bunyi pompong yang cukup bising, memecah kesunyian di celah-celah rimba rasau yang dilewati.

Dalam sekitar tiga jam perjalanan, silih berganti kampung-kampung kecil dilewati. Di sepanjang itu pula, kiri kanan sungai Siak Kecil sudah banyak ditanami dengan kelapa sawit. Hampir semua kampung yang dilewati, nampak hamparan sawit. Sebagian kampung itu, bisa ditempuh melalui jalur darat menggunakan sepeda motor, tapi ada juga hanya bisa dilalui jalur sungai.

Dalam perjalanan itu, menurut Agus, pemandu sekaligus tekong pompong menyebutkan, kampung terakhir yang dilewati adalah Sungai Bakung. Setelah itu, tak ada lagi perkampungan. Yang ada hanya kebun-kebun sawit yang baru dibuka dan pemukiman para nelayan.

Melewati dusun ini, nampak beberapa orang ibu-ibu bersampan, terjonggok di pinggir-pinggir rumpun rasau. Di tangan mereka bergayut joran. ‘’Ibuk-ibuk itu, tiap hari kerjanya memancing,’’ jelas Agus. ‘’Bolom ado, do…!’’ jawab, ibu tersebut dalam bahasa Melayu setempat, begitu ditanya, hasil tangkapannya.

 ‘’Tiap hari, inilah kojo kami. Mengail… Kalau air elok, ado mendapat… Sekarang ikan dah payah. Dah tak macam dulu,’’ papar, Munah perempuan berusia 57 tahun, dengan tetap tekun memperhatikan ujung joran pancingnya.

Haluan sampan yang dinaikinya,  sengaja dimasukkan ke celah suak bakau. Umpan kailnya dimasukkan di tepi rumpun rasau. ‘’Ikan lompong sukonyo tompat macam inilah…!’’ jelasnya lagi. Dalam perahunya nampak beberapa ekor ikan ukuran kecil. Ada selais, baung, dan anak lompong.

Memang, sejumlah ibu-ibu dari dusun yang berada di sepanjang Sungai Siak Kecil, hari-hari diisi dengan mengail. Selain dengan mendatangi lubuk-lubuk atau tempat yang diperkirakan sarang ikan, mereka juga memasang tajur (jenis pancing yang dipasang dan ditinggalkan dalam waktu lama. Seringnya sore dipasangi umpan, subuh atau pagi-pagi baru dilihat, mengena atau tidaknya).

Tangkapan mereka yang masih hidup, dikumpulkan dalam kandang seperti keramba. Sedangkan ikan yang mati, mereka jadikan ikan salai. Pada hari-hari tertentu, saat penampung datang baru ditimbang untuk dijual. Selalunya, para ibu-ibu ini hanya sebagai penambah penghasilan para suami, yang rata-rata bekerja juga sebagai penangkap ikan atau nelayan.

Kegiatan memancing ibu-ibu ini bukan pekerjaan ringan. Menurut Agus, kegiatan tersebut seharian, dari pagi hingga petang. Memang, dalam sampan ada rantang, sepertinya tempat bekal untuk makan siang. ‘’Kadang sampai ke Sungai Antan,’’ jelas Agus.

Tak lama berbincang dengan Munah, perjalanan berlanjut. Tak lama berselang, hujan mengguyur cukup lebat. Pagar-pagar putih bagai panah menusuk-nusuk air Sungai Siak Kecik dan membentuk bintik-bintik di air. Saking lebatnya, jarak pandang jadi terhalang bagai terhalang tirai putih. Tekong pompong menjalankan pompong dengan sangat hati-hati. Tekong itu basah kuyup, karena dalam perjalanan itu, ia harus mampir di kapal pompong yang lebih besar, untuk mengambil perkakas memasak. Perjalanan diteruskan dalam hujan bekas yang baru reda sekitar setengah jam.

Sekitar pukul empat petang atau pukul 16.00 WIB, perjalanan akhirnya berhenti di salah satu pemukiman nelayan. Dari Teluk Kelambu, dari titik keberangkatan tadi, berarti memerlukan waktu sekitar lima jam baru sampai di sini. Inilah Sungai Antan, tempat yang disebutkan Agus tadi.

Dusun ini berada di Desa Lubuk Garam, Kecamatan Siak Kecil. Diperkirakan perlu satu jam perjalanan dari titik tempat Munah memancing tadi. Kalau menggunakan pompong saja menghabiskan waktu sekitar satu jam, entah berapa jam diperlukan Munah mendayungkan sampannya tatkala dia memancing sampai ke dusun ini.

Riau Pos berhenti di Sungai Antan ini. Di titik ini, tak banyak pondok-pondok nelayan. Hanya ada empat pondok. Itupun hanya tiga yang ditempati. Tim Riau Pos berhenti di pondok nelayan bernama A Kahar, yang ternyata adalah orangtua Agus, tekong pompong yang membawa tim Riau Pos.

Waktu tim sampai di sana, Kahar hanya duduk-duduk di bangku yang ada di beranda pondoknya. Hanya bercelana pendek dan bertelegeng (tak pakai baju, red), tak berbaju. Kulitnya menghitam, menunjukkan kerap dijilat matahari. Ia tak berganjak dari duduknya, tapi mulutnya ramah, sembari menyambut ucap salam dan jabat tangan.

Tak banyak aktivitas petang itu. Di dermaga yang hanya terbuat dari beberapa tual balak
(kayu log) yang sudah menghitam. Selain pompong, sudah ada bertambat dua pompong lainnya. Di salah satu pompong, seorang anak muda asyik memancing. Sesekali ia menyembat pancingnya, dan anak ikan baung sebesar ibu jari tangan terkial-kial di mata pancingnya. Di pondok sebelah, Wak Jamal, nelayan lain yang bertetangga dengan Kahar, sibuk memotong bambu. ‘’Untuk buat lukah,’’ ujarnya, begitu ditanya untuk apa buluh tersebut. ‘’Kalau ndak cubo mengail, dekat kualo tu biasonyo mau baung,’’ ucap Kahar, memecah kebisuan.

Kebetulan, tim kecil ini memang membawa pancing dan mengikuti saran Kahar. Pompong kemudian menghala ke arah muara anak sungai kecil, bernama Sungai Antan. Hampir dua jam memancing, lumayan juga hasilnya, kendati tak ada dapat ikan yang besar. Jelang maghrib, tim kembali ke pondok. Malam itu, penghuni pondok menikmati santap malam dengan ikan hasil tangkapan. Lumayan, dapat sekuali kecil. Cukuplah untuk berlima.

Tak lama selesai bersantap,
kami berbincang-bincang dengan A Kahar. ‘’Ikan dah tak macam dulu. Sepekan ni, baru dapat Rp170 ribu,’’ cerita Kahar.

Untuk memburu ikan, Kahar memiliki 130 lukah. ‘’Bercampurlah. Ado lukah tapah, lukah selais. Tapi ikan yang masuk ke lukah tu, tak tentu. Ikan-ikan lain, macam baung, lompong ado jugo,’’ jelasnya.

Memang, nelayan di daerah ini mengandalkan dua bentuk lukah. Untuk menangkap tapah, mereka menggunakan lukah ukuran besar, yang dibuat dari tali nilon. Paling kecil, lukah tali ini ukurannya 1 meter x 1 meter dan tak jarang besar dari itu, hingga sekitar 2 meter x 2 meter. Sedangkan untuk memburu ikan lebih kecil, jenis selais, lompong, baung dan lainnya, mereka menggunakan lukah buluh. Selain itu, mereka juga mengandalkan tajur, yang mereka pasang berteter di pepak-pepak pinggir sungai tersebut.

Selalunya, aktivitas mereka banyak dilakukan pagi hari, bahkan dari subuh. ‘’Kadang, pukul empat subuh dah turun nengok lukah, sekaligus disambilkan nengok tajur. Paling tidak, tengah hari, jam-jam 12 atau jam satu baru selesai,’’ jelas Kahar.

Dulu, kala lele masih banyak di Sungai Antan, volume melihat lukah lebih tinggi lagi. Semalam bisa sampai tiga kali. Sekitar pukul 10 malam, pukul 2 dan pukul 4 subuh. ‘’Kalau nengok lukah keli (lele, red), sekilolah jarak dari pondok ni,’’ jelasnya.

Tak takut?   ‘’Apo yang ditakutkan. Niat kito cari makan,’’ jawab Kahar, dan senada dengan jawaban Wak Jamal.

Sama-sama Cari Makan
Keberanian mereka menghadapi tantangan hidup, mungkin membuat bulu kuduk sebagai orang merinding. Saat berbincang bersama dengan A Kahar dan Wak Jamal, mereka bercerita tentang kejadian sekitar sebulan lalu. Pak belang atau harimau, hanya berjarak sekitar 2 meter dari pondok Kahar.

Sekitar pukul 4 subuh, anjing yang ada di pemukiman tersebut ribut menyalak. Kahar yang tahu Wak Jamal sudah bangun, karena akan turun menengok lukah bertanya dari pondoknya. ‘’Mengapa anjing tersebut bising betul. Harimau agaknya,’’ kata Wak Jamal. Kahar pun membuka pintu dapurnya dan menyuluh menggunakan senter ke luar. Dan ternyata, hanya berjarak sekitar dua meter dari pondoknya, seekor harimau sedang berdiri.

‘’Agak-agak duo meterlah panjangnyo. Seumur-umur hidup, baru sekali tu sayo nengok harimau. Tapi, kalau mendengo suaro, sekali waktu hampir tiap malam,’’ cerita Kahar.

Lain lagi cerita Wak Jamal. ‘’Jangan salah. Beruang selalu datang. Kadang depan mato kito dio mengoyak kulit kayu, mencari madu kelulut,’’ ceritanya.

Kalau beruang, pengakuan Wak Jamal, ia sering melihat. ‘’Tapi apo ndak ditakutkan. Dio atas batang kayu, kito di sungai. Lagi pula, samo-samo cari makan. Kadang sampai sebulan lebih, sayo sorang di sini, apo tidak yang hendak ditakutkan,’’ ucapnya selamba.

Lukah keli mereka pasang bukan di Sungai Siak Kecil, tapi di Sungai Antan, anak sungai yang tak begitu jauh dari pondok mereka bermukim. Untuk sampai ke tempat memasang lukah tersebut, mereka tak bersampan, tapi berjalan kaki menyusuri hutan, dengan jarak sekitar 1 Km.

Tapah Buruan Favorit
Tapah merupakan buruan favorit nelayan di sini. ‘’Kadang, dapatlah duo-tigo ekor tapah. Cumo, sekarang lebih banyak kosongnyo. Entah besok ni agaknyo. Biasonyo, kalau hujan, mau jugo mengeno,’’ jelasnya dalam bahasa Melayu tempatan.

Sebagai ikan favorit, tapah memiliki nilai jual paling tinggi. Sekilonya dihargai penampung atau tauke Rp30.000, untuk ukuran seberat 4 ons ke atas. Jika di bawah 4 ons, per kilonya hanya dihargai Rp25.000. Sedangkan untuk ikan baung, dijual Rp25.000 per Kg. Sedangkan jenis toman dan lompong Rp20.000 per Kg. Untuk jenis ikan selain itu, mereka tak ada yang menjual dalam keadaan hidup. Selais dijual setelah dijadikan salai, dengan harga jual Rp70.000 per kg.

Untuk ikan salai, Selaislah memiliki harga jual paling tinggi. Untuk Tapah dan salai, per Kg Rp60.000, baung Rp50.000 sedangkan Toman dan Lompong Rp40.000.

Secara nomimal, harga ikan salai memang lebih tinggi dibandingkan dengan menjual ikan basah atau hidup. Namun, bagi para nelayan mereka berupaya untuk menjaga ikan tangkapan mereka tetap hidup dengan menempatinya dikurungan semacam keramba. Alasannya, kendati harga ikan salai lebih mahal, tapi ukuran timbangannya ringan. Untuk ikan Tapah saja misalnya. Sekilo ikan Tapah salai, paling tidak diperlukan 3 kilo Tapah basah.

‘’Selagi bisa dihidupkan, hidupkan. Kalau disalai, rugi. Memang hargonyo mahal, tapi rugi. Untuk sekilo ikan salai, habis tigo kilo ikan basah,’’ jelas Kahar. ‘’Belum lagi waktu menyalai. Kayu apinyo lagi,’’ tambahnya.

Jadi, yang mereka jadikan ikan  salai adalah ikan yang tak mungkin hidup. Kecuali ikan Selais, karena daya tahan hidupnya memang tak kuat.

Cerita Wak Jamal setali tiga uang dengan cerita Kahar. Lelaki 67 tahun berperawakan tinggi kurus itu lebih senior sebagai pencari ikan dibandingkan dengan Kahar. Di pemukiman itu saja, ia sudah berdiam sejak 1997 lalu. ‘’Kalau kojo cari ikan ni, dah dari kecik lagi. Kalau dulu ikut orangtua. Kito orang susah, dari kecil dah membantu orangtua mencari makan,’’ cerita Jamal, Rabu (3/10) pagi, yang katanya ia sudah bergelut dengan kegiatan mencari ikan sejak tahun 1963.

Bermukim di dusun itu, juga lebih dulu Wak Jamal dibandingkan dengan Kahar. Kahar baru lebih kurang tiga tahun mendirikan pondok di sana. Hanya saja, Kahar pernah meninggalkan pekerjaan mencari ikan, dan sempat mencoba keberuntungan jadi pedagang di Pasar Paket J. Namun, usaha dagangnya kurang maju, hingga sejak 2009 lalu, kembali ke dunia asalnya sebagai pencari ikan. Seperti Wak Jamal, Kahar juga mulai menggeluti kehidupan memburu ikan sejak kecil, ikut orangtua.

Wak Jamal memang lebih tekun dibandingkan Kahar. Lelaki yang rambutnya sudah memutih dengan perawakan tinggi kurus itu, sepertinya memang mendedikasikan diri untuk mencari ikan. ‘’Dari kecik lagi, inilah kojo awak. Kadang sampai sebulan lebih, sorang ajo dekat sini,’’ ceritanya.

Wak Jamal seorang duda tanpa anak. Kalau Kahar kadang sebulan sekali pulang juga ke Paket J, Dusun Bandar Jaya, tempat rumahnya berada. Lain Jamal, paling tiga bulan sekali baru ia ke dusun itu, ke rumah keponakannya. Ini, sejak usai Idul Fitri lalu, ia berada di pondok ikannya dan paling-paling Idul Adha nanti baru ia pulang ke rumah keponakannya. Keponakan Jamal juga pencari ikan, dan tinggal sepondok dengannya di pemukiman itu.

‘’Ndak kojo apolagi. Dari kecik lagi, inilah kojo awak. Ndak bukak kebun, tak ado modal,’’ ceritanya.

Buka Kebun Sawit dan Karet
Cerita nelayan di sini hampir senada. Ada keinginan pindah kerja di daerah, membuka kebun. Apalagi dengan melihat keberhasilan pemilik kebun sawit, yang kebunnya mulai jadi penghias sepanjang Sungai Siak kecil. Kahar sendiri, sudah memiliki lahan dan sudah ditebang. Hanya saja, modal menanam belum cukup. Ada yang sudah bertanam sedikit, habis dimakan babi dan tikus.

Di sepanjang Sungai Siak Kecil, memang hutan-hutan yang mulai ditebang jadi pemandangan di mana-mana. Bahkan, di beberapa pohon sudah ada plang ala kadarnya bertuliskan, batas lahan di sekeping papan, lengkap dengan simbol panah ke arah kiri dan kanan papan tersebut.

Dengan kondisi mereka hari ini, ada secercah harapan dari mereka adanya uluran tangan dari berbagai pihak. Tak banyak permintaan mereka, dapat bantuan alat tangkap dan sampan, bagi mereka itu sudah sangat membantu.

Apalagi, belum lama ini rombongan Bupati Bengkalis H Herliyan Saleh dengan beberapa speed boat, sempat masuk ke sana. Hanya saja, mereka tak tahu apa tujuan orang nomor satu di Negeri Junjungan itu. ‘’Mudah-mudahan ndak memberi bantuan,’’ harap Kahar dan Wak Jamal.

Rabu, 3 Oktober. Pagi itu, tangkapan Wak Jamal hanya dua ekor ikan Tapah seukuran berat sekitar tujuh sampai delapan ons. Hanya saja, ia tak pergi menengok lukah dan tajur, ia titipkan saja dengan keponakannya. Ia sibuk membersihkan bilah-bilah buluh, untuk dijadikannya lukah. ‘’Tak ado do,’’ ujarnya, begitu ditanyakan hasil tangkapannya.

Saat keponakannya mengangkat  kotak jaring tempat mereka mengumpulkan, nampak beberapa ekor Tapah ukuran kecil dan beberapa ekor Toman dan Lompong. Dengan tangguk, diambilnya satu ekor ikan Tapah, seukuran sekitar 3 atau 4 ons. Lalu, dengan cekatan keponakan Wak Jamal membersihkan ikan tapah itu dengan parang. Ternyata ikan Tapah tersebut mau dimasak, untuk santapan hari itu.

Kotak-kotak penampung yang ada memang rata-rata kosong. Hanya satu itu saja yang sedikit berisi. Kosongnya hasil tangkapan tersebut, ternyata baru Selasa atau sehari sebelumnya ikan mereka sudah ditimbang dan diambil penampung yang rutin datang pada hari Selasa. ‘’Kalau sekarang ni, paling sepekan sekali nimbangnyo. Hari Selasa. Kalau musim ikan, seminggu bisa tigo kali tauke menimbang,’’ jelas Wak Jamal.

Mereka menangkap ikan di sini memang sistem ber-tauke. Artinya, ada satu orang pedagang pengumpul yang menampung hasil tangkapan mereka. Untuk semua keperluan mereka, baik keperluan harian maupun keperluan alat tangkap mereka. Nelayan yang bermukim di Sungai Antan ber-tauke dengan seorang penampung bernama Hasan, yang berdomisili di Sungai Nibung atau Dusun Bandar Jaya, Paket J, Desa Teluk Kelambu.

Untuk keperluan harian para nelayan, langsung dibawa tauke dengan pompong ketika sedang turun mengumpulkan ikan. Menurut Kahar, untuk beras harganya selisih sekitar Rp1.000 dibandingkan dengan harga di Paket J.

Anggota Hasan tak hanya di Sungai Antan. Anggotanya lebih ramai lagi di Tasik Pesingin, sekitar satu jam setengah perjalanan menggunakan pompong  dari Sungai Antan. Tasik Pesingin adalah tasik yang paling pertama dijumpai kalau menyusuri Sungai Siak Kecil dari muara. Di sini, lebih banyak lagi pondok nelayan, bahkan sudah jadi perkampungan. Ada sekitar 40 pondok di sana, dan mereka bernaung di bawah beberapa orang tauke. 15 antaranya merupakan anggota Hasan.

Tatkala Riau Pos sampai di perkampungan ini, keadaan sedang sepi. Para nelayan rata-rata turun semua, melihat alat tangkap mereka. Hanya ada beberapa ibu-ibu sedang beraktivitas. Di pemukiman ini, beberapa nelayan ada yang bermukim bersama dengan istrinya. Para istri mereka ikut membantu suami mencari ikan dengan cara memancing.

‘’Kalau dah siap nyuci, masak, kami pogi mancing. Jadilah, untuk nambah-nambah memboli asam-garam,’’ cerita Atik, salah seorang ibu yang kami jumpai di Pesingin.

Cerita Hasan, kalau sedang musim, ia bisa mengumpulkan ikan tiga kali dalam sepekan. Namun, dalam kondisi sekarang ini, hanya sepekan sekali, yaitu hari Selasa. Mereka menimbang hari Selasa, karena ikan-ikan tersebut, baik basah maupun salai, dipasarkan di pasar Rabu, Sungai Apit.

‘’Kalau ikan banyak, seminggu tiga kali kita bawa ke pasar. Sekarang ni, seminggu sekali saja payah. Cari 300 kilo seminggu saja, payah. Kalau lagi musim, sekali nimbang bisa sampai 700 kilo,’’ jelas Hasan, di kediamannya di Sungai Nibung.

Menurut Hasan, dan juga cerita para nelayan, sejak tiga tahun terakhir, yaitu sejak 2009, tangkapan mereka kian sulit. ‘’Semusim-musimnyo ikan, samo macam tak musim dulunya,’’ kata Hasan.

Bahkan terkadang, tambah Hasan, biaya solar pun tak tertutupi. Kalau sudah demikian kondisinya, ia ikhtiar lain, mengumpulkan ikan asin dari Bandul dan Selat Akar, Kabupaten Meranti. Di daerah itu, Hasan memang terkenal sebagai juragan ikan. Orang-orang menyebutnya dengan Hasan Ikan.

Sebagai penampung ikan, hasil sepertinya juga seperti distributor. Ia tak hanya menjual hasil tampungannya langsung ke pasar, tapi juga jadi pemasok bagi pedagang ikan untuk daerah Sungai Apit, Sungai Pakning, dan Perawang. Harga jual Hasan jelas bervariasi, dan tergantung dengan banyak tidaknya ikan.

Kalau lagi musim, harga jual agak turun, tapi kalau ikan lagi susah, harga jadi melangit. Untuk harga standar atau normal langsung kepada, untuk ikan Tapah basah ukuran di atas 4 ons Hasan menjual rata-rata Rp60.000, Lompong atau Toman Rp40.000 dan Baung Rp50.000. Sedangkan untuk ikan salai, Tapah Rp110.000, Selais Rp110, Baung Rp90.000 dan Toman atau Lompong Rp80.000. Harga ini jelas naik turun, tergantung lagi musim ikan atau tidaknya.

Memang, bila dilihat terjadi kesenjangan harga cukup tinggi antara harga nelayan dan penampung. Hanya saja, biaya angkut dengan perjalanan pompong ke pepak-pepak tasik yang bisa mencapai delapan jam, jelas memerlukan solar yang tak sedikit. Apalagi, pompong penampung tergolong besar, dengan bobot sekitar enam ton menggunakan mesin Yanmar 24 PK.

Hanya saja, Hasan tak mau merinci berapa keperluan solar. Perhitungan Riau Pos, dengan bobot pompong dan mesin Yanmar 24 PK tersebut, paling tidak diperlukan antara 400 sampai 500 liter solar. Di tingkat lokal, solar dijual Rp6.000, bahkan kalau sedang langka bisa mencapai Rp10.000. Belum lagi solar yang diperlukan untuk membawa hasil ikan yang dikumpulnya ke pasar Sungai Apit, dengan jarak tempuh sekitar satu jam setengah menggunakan pompong.***


Comments

Popular posts from this blog

Gulai Ikan Salai dengan Pucuk Ubi

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis