‘’Lukah, Kail dan Kolek Penyambung Hidup Kami’’
Melihat Nelayan
Tradisonal di Sungai Siak Kecil
Sungai Siak Kecil jadi sumber
kehidupan bagi nelayan dan anak cucunya masa mendatang. Berbagai tantangan dan
rintangan mempertahankan keasrian sungai sudah dirasakan dengan berkembangnya
perkebunan dan rusaknya hutan di kiri kanan sungai dan anak-anak sungai. Padahal berbagai jenis ikan baik itu ikan
tapah, baung, selais menjadi sumber kehidupan bagi nelayan di sepanjang Sungai
Siak Kecil.
Kondisi nelayan di perbatasan Danau Zamrud |
Laporan ERWAN SANI, Siak Kecil
HITAMNYA air
Sungai Siak Kecil yang di dalamnya berdiam berbagai jenis ikan air tawar
menjadi harapan besar ratusan nelayan dari
Dusun Sungai Nibung Desa Teluk Kelambu dan dusun-dusun yang ada di
sepanjang aliran sungai. Dengan
berbekalkan alat tangkap tradisional berupa lukah, tajur dan joran pancing siap
tinggal berbulan-bulan di anak-anak sungai, tasik, suak dan ceruk di sepanjang Sungai Siak Kecil agar dapur di
rumah tetap berasap.
Berbekal tradisi
mencari ikan alami yang diterapkan secara turun-temurun hingga sekarang membuat alur sungai tetap asri,
sehingga ikan yang diinginkan masih tetap ada walaupun jauh menurun jika
dibandingkan era 1980 dan 1990-an. ‘’Lukah, tajur dan kail sumber kehidupan
kami,’’ ucap Jamal (57) sambil tangannya terus meraut buluh yang sudah
dibelah-belahnya untuk dijadikan lukah dengan menggunakan pisau.
Selain alat-alat
tradisional tersebut, sampan kolek menjadi alat transportasi untuk merentas
anak sungai, ceruk dan suak yang
diyakini menjadi tempat berteduh dan berkembang ikan. ‘’Sampan kolek dan dua dayung ini menjadi alat memperpanjang
langkah kami. Ke mana mau dituju, kolek ini jadi sahabat kami di tengah ataupun
tepi alur sungai,’’ ucapnya.
Mencari ikan
zaman 1990-an tak sama seperti sekarang, kata M Kahar, dulu tak jauh dari
perkampungan sudah bisa mendapatkan berbagai jenis ikan. Mulai dari ikan
selais, baung, patin dan tapah. Namun sekarang untuk mendapatkan ikan harus
membuat pondok dan tinggal berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. ‘’Bahkan tak
jarang kami memberi gelar pengulu kepada nelayan-nelayan yang lama tinggal
di hulu sungai dan tasik di Sungai Siak
Kecil ini. Termasuk Pak Jamal, sempat mendapat gelar itu,’’ ucap Kahar sambil
duduk memangku lutut di kursi panjang terbuat dari kayu di pondok tempat dia
berteduh dari panas dan hujan dan tempat tidur di waktu malam selama mencari
ikan.
Meskipun sulit
untuk mendapatkan ikan dan harus empat atau lima jam perjalanan menggunakan
pompong baru sampai lokasi ikan, tak membuat para nelayan putus asa dan
menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan ikan banyak atau kesenangan sesaat.
‘’Kami tak pernah menggunakan tube atau putas. Jadi kami menggunakan lukah dan
tajur dan kaillah untuk mendapatkan ikan,’’ jelas Kahar lagi.
Cubalah tengok
sepanjang Sungai Siak Kecil ini, kata Kahar, Mulai dari Paket J, Dusun Naning,
Dusun Sungai Saraf, Muara Dua, Bandar Jaya, Sungai Bakong, Teluk Cina, Sungai
Antan, Sungai Pagar hingga Pesingin, yang terlihat hanyalah tajur dan lukah di
pepak batang rasau. ‘’Tradisi menjaga sungai ini kami lakukan betul, jadi kalau
ada nelayan menggunakan tube atau putas dikenakan sanksi dari
nelayan-nelayan,’’ kata Kahar.
Bukan itu saja,
kata Agus yang menjadi kapten pompong mengingatkan, ketahuan ada orang merusak
tajur atau lukah juga dikenakan denda. ‘’Jangan sampai kono lukah orang pak kita belabuh kat tepi sungai ko. Kano dondo kito,’’ cegah Agus
menggunakan bahasa tempatan ketika Riau
Pos sempat menepi dan mau mengikat tali pompong di salah satu pohon kayu di
bibir Sungai Siak Kecil.
Meskipun kemajuan
teknolongi untuk menangkap ikan terus berkembang tak membuat nelayan-nelayan
yang ada di sepanjang Sungai Siak Kecil langsung berubah drastis. Bahkan untuk
melihat nelayan menggunakan jaring apung atau jaring dasar di sepanjang sungai
tak ada. ‘’Nelayan disini tak menggunakan jaring. Alasannya banyak kayu, kalau
jaring apung tentu tak dapat ikan-ikan dasar sungai. Makanya kami memilih lukah
dan pancing,’’ kata Kahar yang sudah tiga tahun terakhir menjadi nelayan,
setelah usaha kedai nasinya di Desa Mekar Jaya atau Paket J tak menjanjikan.
Kemudian para
nelayan juga benar-benar tak merusak pepohonan rasau atau batang kayu yang ada
di bibir sungai. ‘’Suak-suak di celah rasau itulah tempat lompong dan baung
bermain. Tengok tu ibu-ibu mancing di celah rasau,’’ ucap Agus sambil
memalingkan wajahnya kea rah ibu-ibu yang tengah serius melihat joran
pancingnya di celah-celah rasau.
Antara Kelestarian
Alam dan Keperluan Hidup
Keperluan akan hidup dan majunya teknologi pertanian dan
perkebunan, sehingga banyak menyulap hutan-hutan lebat di Riau berubah menjadi
perkebunan produktif yang notabene memberikan penghidupan yang menjanjikan.
Salah satu perkebunan produktif dan bernilai ekonomi tinggi yaitu perkebunan
sawit.
Tak sedikit
masyarakat Riau saat sekarang tergiur dengan perkebunan sawit dan dinyatakan
berhasil dan mampu menghidupi keluarga menjadi keluarga yang mapan. Hal ini jugalah
merubah pemikiran dari masyarakat tempatan dan juga masyarakat dari berbagai
daerah berlomba untuk membuat perkebunan sawit. Perkembangan perkebunan sawit
ini juga mempengaruhi cara pikir masyarakat nelayan yang dulunya menggantungkan
sepenuhnya dari hasil tangkapan ikan.
Pengaruh itu
akhirnya menjalar dan memberikan peluang kepada masyarakat luas untuk membuka
lahan baru untuk perkebunan. ‘’Jujur sepanjang sungai ini hutan tak lebat lagi.
Bahkan sepanjang sungai ini lahannya sudah ada pemilik,’’ ucap Agus sambil
terus memegang tangkai kemudi pompong yang terbuat dari kayu.
Minimal seorang
pemilik lahan memiliki 4-10 hektare. ‘’Saya juga pernah punya lahan sepuluh
hektare. Tapi akhirnya kami jual karena desakan ekonomi,’’ jelasnya.
Murahnya dan
masih tersedianya lahan di sepanjang kiri kanan Sungai Siak Kecil memberikan
dampak atau motivasi bagi warga untuk terus membuat kebun. Ini terbukti di
beberapa pohon kayu di bibir sungai dengan nama pemilik lahan. Walaupun lahan
tersebut masih ditumbuhi kayu hutan kisaran diameter 10-20 cm.
Diakui Hasan
warga Teluk Kelambu kepada Riau Pos,
sejak dua tahun belakangan ini pendapatan nelayan jauh menurun. ‘’Tangkapan
nelayan jauh betul turun. Ini terjadi dua tahun belakangan ini, sejak orang
banyak membuka lahan perkebunan. Mungkin dah banyak suak, anak sungai dan rawe
dah tertutup agaknyo,’’ jelasnya.
Masyarakat yang
membuka lahan tersebut tak sepenuhnya para nelayan yang menyempatkan diri untuk
menyambil membuka lahan. Akan tetapi masyarakat dari berbagai desa dan dusun di
sepanjang Sungai Siak Kecil sudah memeta-meta lahan yang ada. ‘’Jadi seberapa
mampu mereka buka lahan untuk perkebunan,’’ jelasnya.
Seperti dilakukan
Kahar, selain mencari ikan dirinya juga telah membuka lahan untuk perkebunan
karet dan sawit. ‘’Baru-baru ini membuat kebun sawit dan karet. Itupun kalau
jadi, karena banyak hama babi dan tikus yang memakan bibit sawit dan karet yang
kita tanam,’’ jelasnya.
Upaya untuk
membuka lahan perkebunan ini termotivasi karena banyak masyarakat yang berhasil
dari berkebun. ‘’Tak mungkin kita diam sajo.
Orang bukan lahan untuk kebun. Tapi kito
sikit ajo lahannyo,’’ jelas Kahar
yang mengaku memiliki lahan tak jauh dari Sungai Antan.
Diakuinya pemilik
lahan pada umumnya bukan saja masyarakat desa-desa yang ada di Siak Kecil, akan
tetapi berbagai daerah. Bahkan ada dari Sumatera Utara (Sumut) dan daerah
kabupaten/kota lainnya di Riau.***
Comments
Post a Comment