Menjaga Kearifan Lokal untuk Kehidupan Berpanjangan

Menuai Berkah di Sungai Nilo Sepanjang Tahun

Menjaga kearifan lokal agar tak tegerus kehidupan modern menjadikan alam bersahabat dan tetap memberi berkah untuk kehidupan. Mempertahankan dan menjaga alam (menjaga kearifan lokal) inilah yang dilakukan suku petalangan, Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan yang menjadi tulang punggung ekonomi dan terus menuai berkah hidup dari setitik madu sialang tepian hutan dan seekor ikan dari lajunya arus Sungai Nilo.

Laporan ERWAN SANI, Desa Kesuma

SELASA (26/8) siang cuaca cukup cerah, sengatan matahari cukup terasa di kulit. Padahal saat itu baru pukul 10.40 WIB. Karena hampir tengah hari, jadi tak nampak aktivitas nelayan hilir mudik di tepian Sungai Nilo yang terletak di Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan tersebut. Hanya beberapa orang pemilik perahu robin tampak sibuk membuang air dari lambung perahu.
       Di bawah jembatan  milik PT Arara Abadi yang melintang antara tepian Sungai Nilo ini seakan dijadikan pelabuhan nelayan, sebab belasan perahu nelayan di kiri kanan sungai tampak bertambat. Tak hanya perahu, beberapa keramba terbuat dari papan berukuran mini berjejer di antara perahu tersebut.
       Melihat sebentar dari atas jembatan, Riau Pos dikejutkan dengan panggilan seorang warga untuk bergegas turun ke  tepian Sungai Nilo. Saat itu juga langsung turun ke tepian sungai, yang ternyata pemilik perahu yang akan membawa tim kecil Riau Pos untuk menuju hulu sungai.
      Ternyata yang memanggil tersebut Ujang (36)  bersama Harun, Dihun dan anaknya Rifki sudah bersiap-siap di atas perahu bermesinkan robin di tepian Sungai Nilo. Tiga karung, dua ember hitam berukuran besar dan lima jeriken berkapasitas 45 liter  tersusun rapi di tengah lambung perahu milik Ujang.
      Di tepian Sungai Nilo berdiri jeramba terbuat dari papan seadannya tak hanya ada perahu robin milik Ujang saja, tetapi belasan perahu robin nelayan lainnya juga tertambat dan tersusun rapi. Sedangkan berjarak 20 meter di seberang sungai juga berdiri jeramba untuk tambatan belasan perahu robin yang sepi aktivitas nelayan.
     Melihat wajah Riau Pos terfokus ke belasan perahu yang ada di seberang sungai, dengan bahasa lokalnya Ujang berujar; ‘’Sekarang orang tak menjaring, mancing dan merawai ikan do, sebab kurang kono. Air sungai surut jauh. Makonyo banyak perahu betambat tali sekarang ko,’’ ucap Ujang sambil mengangkat karung dari tengah lambung perahu ke belakang perahu.
     Menurutnya tiga karung yang dibawanya itu berisikan pakaian untuk perlengkapan mengambil madu sialang. ‘’Ini ko baju untuk dipakai ngambek madu. Naiklah, bio copek kito tibo di batang sialang tu,’’ lanjut Ujang sambil mempersilakan naik ke perahu.
      Bersama anak sulungnya Rifki (13), Ujang akan mengambil atau menurunkan madu lebah sialang milik Dihun. Sebenarnya Ujang sudah sangat dikenal di kalangan warga setempat sebagai tukang pengambil madu sialang di Desa Kesuma. Bahkan beberapa warga pemilik batang sialang memakai jasanya untuk menurunkan madu berton-ton setiap bulannya.
      Setelah tim kecil Riau Pos semua masuk ke lambung perahu, Ujang pun mengarahkan haluan perahunnya ke tengah Sungai Nilo, saat itu juga Rifki langsung menghidupkan mesin robinnya. Karena menggunakan mesin robin dan tak memiliki gear box, dengan seketika saja perahu langsung melaju.
       Awal penulusuran sungai berair putih kecoklatan menggunakan perahu robin ini membuat hati agak was-was, karena perahu yang semestinya diisi tiga orang harus diisi empat orang. Sehingga jarak air dengan lambung perahu sekitar 10 cm saja.
     Sekitar 15 menit melawan arus Sungai Nilo berarus deras dengan medan berliku-luku menyluitkan Rifki mengemudikan perahu. Apalagi makin ke hulu sungai makin menyempit dengan rimbunan rasau dan banyaknya pancang empang ikan terbuat dari kayu milik nelayan. ‘’Hati-hati tangan pak,’’ ucap Ujang mengingatkan ketika perahu melintas di celah kayu empangan ikan nelayan.
      Beberapa kali perahu robin yang dikemudikan Rifki harus kandas karena dangkalnya air. Yang lebih mengejutkan sekitar 45 menit menulusuri sungai baling-baling perahu tak berputar karena tersangkut kayu dan sisa jaring nelayan. Seketika Ujang langsung turun ke dalam air untuk melihat baling-baling perahu. ‘’Tak berputar kipasnyo do. Beranyutlah awak dulu yo,’’ ucap Ujang usai turun ke dalam sungai untuk memeriksa baling-baling perahu.
      Sekitar 10 menit perahu harus berhanyut akhirnya bertemu dengan Dihun kebetulan berada di salah satu anak sungai. Setibanya di perahu  Dihun langsung turun dengan membawa satu paku berukuran 3 inchi. ‘’Bisa tu,’’ kata Ujang kepada Dihun.
     Dihun yang agak sulit menjawab berujar, ‘’Bisa,’’ jelasnya.
      Setelah selesai memperbaiki baling-baling perahu, akhirnya sekitar 15 menit tiba di salah satu area rimbunan pohon sialang milik Dihun. Puluhan sarang lebah madu bergelantungan di dahan-dahan kayu berjenis cempedak hutan itu. ‘’Ini satu dari enam batang yang sayo punyo,’’ kata Dihun yang saat itu membawa Riau Pos melihat dari dekat  pohon sialang.
                                                                                       Madu per Panen Capai 200 Kg
Keberadaan hutan dan sungai kehidupan untuk masyarakat petalangan Desa Kesuma benar-benar menjadi mata pencaharian bagi masyarakat, terutama keberadaan pohon sialang yang terus dihinggapi lebah setiap bulannya. Untuk per pohonnya lebah bisa membuat sarang berkisar 30-60 sarang.
     ‘’Untuk yang satu pohon ini saja sarangnya saya hitung sudah mencapai 31 sarang. Insya Allah dalam waktu dekat kami ambil madunya,’’ kata Dihun.
       Biasanya kata anak kemanakan Suku Munti Raja/Puling Godang dari Suku Petalangan ini berujar, per sekali ambil dapat madunya mencapai 200-250 kg. ‘’Itu untuk per batangnya,’’ ucap Dihun yang memiliki enam batang sialang warisan dari Suku Munti Raja.
      Dengan enam pohon sialang dimilikinya, per bulannya dirinya bisa mendapatkan madu lebah sialang mencapai 1.200 kg atau 1,2 ton. ‘’Itu kalau rata-rata satu pohon sialang mencapai 20-30 sarang. Tapi kadang kala ada melawas. Macam sawet ada masa treknya,’’ ucap Dihun yang diiakan Ujang dan Rifki.
      Keberadaan pohon sialang di sepanjang tepian Sungai Nilo benar-benar membantu masyarakat di Desa Kesuma. Dengan harga jual per kilogram mencapai Rp40 ribu. ‘’Itu kalau ambil borong atau banyak. Tapi kalau diecer per kilogram dijual hanya Rp45 ribu,’’ jelas Dihun.
       Menurut Dihun, rata-rata madu lebah bisa diambil sejak hingga hingga 44 hari ke depan. Jika tidak, jelasnya, maka saat panen tak akan mendapatkan banyak madu. Dengan hitungan itu maka setiap bulannya dalam satu batang sialang hanya bisa diambil lima-enam sarang lebah saja. ‘’Makanya hitungan secara kasar per tiga bulan satu sarang lebih baru bisa dipanen kembali,’’ jelasnya.
        Dengan berbagai persoalan yang ada saat sekarang dan menggunakan teknologi makanya pengambilan madu lebah sialang tak lagi dilakukan pada malam hari tetapi dilakukan pada siang hari. ‘’Sehari paling banyak kita hanya mengambil lima-enam sarang saja. Kisaran dapat madunya hanya berkisar 200-250 kilogram atau hanya lima deriken,’’ lanjut pria berusia 45 tahun dan memiliki sembilan anak ini.
       Berkaitan dengan pembagian madu untuk yang punya pohon sialang dan pengambil jasa, menurut Dihun pada umumnya dibagi dua. Jadi, kata Dihun, jika dapatnya 250 kg maka dibagilah 125 kg per orangnya. ‘’Jadi benar-benar hitung kekeluargaan. Karena jasa yang mengambil madu juga berasal dari anak kemanakan kita juga,’’ jelas Dihun juga bekerja sebagai nelayan dan juga petani.
       Hanya saja, ucap Dihun yang juga dukun pengobatan tradisi bedeo ini setiap harinya banyak yang meminta madu. ‘’Yang minta madu tu banyak. Terkadang sampai ajo ke rumah orang dah nunggu borong semonyo. Jadi
       Sedangkan pemaparan Ujang yang menjadikan jasa pengambilan madu lebah sialang pekerjaan rutinnya, pengambilan madu tidak terus-menerus dan paling banyak tiga bulan sekali. Untuk mengisi kekosongan atau menunggu permintaan dari pemilik batang sialang dirinya bekerja menangkap ikan di Sungai Nilo. ‘’Kalau musim ikan mayoritas masyarakat Suku Petalangan bekerja menangkap ikan. Tapi sekarang ikan sedang tak kono jadi kurang orang menangkap ikan,’’ jelas pria memiliki empat orang anak ini lagi.



      Menurutnya di sepanjang Sungai Nilo terdapat berbagai jenis pohon kayu menjadi tanggung jawab masing-masing suku. Seperti untuk Suku Munti Raja, berhak untuk memelihara pohon kayu berjenis
       Untuk tetap menjaga kearifan lokal dan juga agar tidak pupusnya keberadaan batang sialang di sepanjang Sungai Nilo, masing-masing suku dari Petalangan menjaga masing-masing. Seperti keberadaan pohon sialang berasal dari pohon cempedak air dijaga anak kemanakan Batin Munti Rajo. Kemudian keberadaan pohon  makaluang dijaga anak kemanakan Batin Itam. Selanjutnya keberadaan pohon kayu sulur batang dijaga anak kemanakan Batin Pematan.
      Sedangkan jenis kayu lainnya menjadi hinggapan sialang, seperti pohon kempas, pulai, kedondong, kayu batu tak ada ketentuan atau tanggung jawab dari tiga batin ini. ‘’Tetapi bisa saja dimiliki orang lain atau masing-masing batin. Tapi menjadi hak milik atau tak bisa diambil orang lain, ketiga jenis kayu itu tadi,’’ jelas Dihun.
Keberadaan Suku Munti Raja/Puliang Godang harus benar-benar melestarikan keberadaan pohon-pohon sialang yang menjadi


‘’Air Sungai ko agak dangkal sekarang. Dah duo minggu tak ado ujan,’’ ucap Ujang sambil berusaha mempertahankan perahu agar tak oleng saat Riau Pos naik.
     ‘’Hati-hati yo,’’ lanjut Ujang mengingatkan setiap orang yang akan melangkah untuk masuk ke lambung perahu.
    

airnya sudah jauh surut karena sudah hampir dua pekan tak hujan
      Dengan senyum lebar Ujang mempersilahkan  Riau Pos dan tim untuk naik ke atas perahunya yang sudah dipersiapkan sebanyak tiga unit. Saat itu Riau Pos naik di perahu milik Ujang bersama Jailudin dan anaknya.***


Comments

Popular posts from this blog

Gulai Ikan Salai dengan Pucuk Ubi

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis