Kegigihan untuk Mengecap Pendidikan
Berkayuh Tak Sanggup, Bayar Rp20.000 Per
Hari
Kegirangan anak-anak SD di Dusun II Kepaubaru ketika
kamera diarahkan kepadanya menunjukkan bahwa mereka sangat menikmati
bersekolah. Hal ini mereka luahkan dikarenakan masuk ke dalam kamera dan
berharap tampil di koran. Saat kami mengarahkan lensa kamera, beberapa orang murid
SD dengan berkulit agak legam mengerumuni teman-temannya yang sudah berpose
saat ingin diambil foto.
Laporan ERWAN SANI, Kepaubaru
kehidupan masyarakat suku pedalaman di Riau |
Kecerian anak-anak
berseragam merah putih ini tak menunjukkan bahwa mereka dalam kesusahan.
Apalagi momen kedatangan tim kecil bersamaan dengan waktu istirahat murid SDN
038 Desa Kepaubaru Kecamatan Tebingtinggi Timur. ‘’Foto lagilah,’’ ucap Pendi
(9), yang saat itu terus bergaya dan tertawa saat lensa kamera ke arah dirinya.
Jumlah murid SD yang hadir saat itu jumlahnya lebih sedikit, pasalnya anak-anak dari Suku Asli untuk datang ke sekolah harus berjalan kaki dan melintasi jalan berlumpur atau tanah redang yang berdebu ketika musim panas dan lecah ketika musim hujan tiba. Kebetulan saat tim kecil Riau Pos bertandang, hujan deras menimpa di desa yang baru dimekarkan tersebut. Derasnya hujan malam itu membuat anak-anak Suku Asli tak mau datang ke sekolah.
‘’Hari ini jumlah murid yang hadir agak sedikit. Malam tadi hujan deras, jalan lecah jadi tak datang ke sekolah,’’ ucap salah seorang guru yang menyapa yang sedang mengabadikan wajah-wajah generasi penerus para Suku Asli di Kepaubaru saat itu.
Kegembiraan dan keinginan anak-anak Suku Asli untuk mengecap pendidikan sudah dirasakan sejak lama. Hanya saja pada umumnya orangtua mereka maupun abang-abang mereka cuma menamatkan tingkat SD. Sebab di Desa Kepaubaru tak memiliki sekolah lanjutan tingkat pertama. ‘’Sejak berdiri Desa Kepaubaru sudah diajukan pembangunan sekolah tingkat SMP, tapi sampai sekarang belum ada juga. Kalaupun ada harus menumpang di kampung sebelah,’’ jelas Pramono kepada tim kecil.
Meskipun demikian kampung ini masih berdiri bangunan sekolah yang sangat bagus dan dan layak bagi pendidikan anak usia dini. Tetap saja berbagai faktor lainnya sangat mempengaruhi warga Suku Asli untuk menyekolahkan anak mereka. Terutama masalah jauhnya pemukiman dari lingkungan sekolah. Kemudian masalah ekonomi atau pendapatan masyarakat juga sangat mempengaruhi untuk Suku Asli menyekolahkan anak mereka. ‘’Tak sedikit anak usia dini atau usia sekolah SD dan SMP harus bekerja membantu orangtuanya untuk bersekolah,’’
Seperti pengakuan Pramono, keinginan menyekolahkan anak sangat tinggi. Ini terbukti ratusan warga suku asli menyekolahkan anak-anak mereka di SD di Dusun II Kepaubaru atau tak jauh dari kantor desa. ‘’Jalan jadi kendala, kalau musim hujan tak sampai setengah murid datang, sebab rumah mereka terendam banjir atau jalan lecah tak bisa pergi sekolah,’’ kata Pramono, warga Dusun I.
Kemampuan ekonomi masyarakat Suku Asli di Kepau baru lumayan tinggi, hal ini dikarenakan upah yang didapatkan menebang batang rumbia dan membersihkan kebun rumbia sangat memadai. Oleh sebab itu keperluan akan pendidikan dan kesehatan menjadi faktor utama bagi warga Suku Asli.
Keinginan untuk mengecap pendidikan sangat terasa bagi masyarakat, sebab sebagian besar ada juga warga menyekolahkan anak mereka ke Desa Telukbuntal. Untuk mencapai ke Teluk Buntal tak sanggup melalui jalur darat. Karena kondisi jalan masih tanah dan membelah hutan. ‘’Tak musim hujan saja sulit untuk melintas jalan kurang lebih 15-20 kilometer tersebut. Apalagi jika musim hujan jalan menjadi bubur,’’ jelasnya.
Menurut Awi (39), tak ada warga yang sanggup melepaskan anak mereka untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMP di Desa Teluk Buntal. Selain masalah biaya terlalu besar juga masalah transportasi yang biayanya tak sanggup dipenuhi orangtua mereka. ‘’Sehari puluhan ribu harus dikeluarkan. Tentu tak sanggup kami. Untuk biaya makan Rp20 ribu sehari saja payah,’’ jelas Awi.
Bagi orang kaya, kata Awi, mungkin bisa menyekolahkan anak mereka. Tapi bagi masyarakat Suku Asli yang hidup serba kekurangan dan pas-pasan rasanya tak sanggup.
‘’Kalau sudah tamat SD sudah hebat. Untuk makan aje payah, apelagi nak membiayai ongkos anak pergi sekolah ke SMP Telukbuntal, tak sanggup kami pak,’’ ucapnya.
Walaupun demikian bukan berarti tak ada warga Kepaubaru menyekolahkan anak mereka hingga ke tingkat SMP dan SMA. Karena bagi tauke atau pendapatannya cukup besar bisa menyekolahkan anak mereka ke tingkat SMP. Setiap tahunnya jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP paling tinggi 2-5 lima orang saja.
Naik Speedboat 20 Menit, Berkayuh Dua Jam
Melanjutkan pendidikan merupakan keinginan setiap anak dan orangtua, akan tetapi kemampuan ekonomi juga sangat berpengaruh. Karena tingginya biaya transportasi akhirnya orangtua mengurungkan niat untuk menyekolahkan anak mereka. Namun demikian beberapa orangtua tetap mengorbankan materi atau uang agar anak mereka tetap bisa bersekolah.
Seperti dilakukan Sri Rahayu (14). Anak dari salah seorang guru SDN 038 Desa Kepaubaru ini harus rela pergi ke kampung tetangga demi menimba ilmu. Menurutnya, jumlah siswa untuk bersekolah di SMP Telukbuntal saat sekarang sekitar delapan orang saja. Itupun masih tetap bergantung keberadaan transportasi air atau laut (speedboat). Yang menyedihkan hati, ketika speedboat tak berangkat atau rusak. ‘’Kalau speedboat tujuan Selatpanjang rusak atau tak jalan mau tak mau harus tak bersekolah,’’ kata remaja yang akrab disapa Sri ini.
Siswa yang baru duduk di kelas II SMP ini, setiap harinya harus bangun tidur lebih awal, sekitar pukul 04.00 pagi. Karena speedboat yang harus ditumpanginya berangkat menuju Telukbuntal pukul 05.30 WIB paling lambat. ‘’Tak jarang pukul 05.00 WIB sudah ada di pelabuhan pak. Kalau mau ditinggal speedboat dan secara otomatis tak bisa sekolah hari itu,’’ jelasnya.
Setiap harinya untuk pergi ke Telukbuntal menyediakan ongkos tetap sebesar Rp20 ribu untuk pulang pergi. ‘’Itu belum termasuk ongkos jajan dan lainnya di sekolah,’’ ucapnya.
Menggunakan speedboat menuju Telukbuntal memakan waktu sekitar 20 menit. Karena setiap pelabuhan rakyat speedboat harus berhenti mengambil penumpang yang akan menuju Kota Selatpanjang setiap paginya.
Seperti pernyataan Ewi (45), untuk mencapai Telukbuntal tak bisa menggunakan sampan dayung. Karena bisa memakan waktu kurang lebih dua jam atau lebih. Dengan kondisi itulah, makanya mereka tak sanggup menyekolahkan anak mereka ke tingkat SMP. Karena tak mungkin membiarkan anak mereka mengayuh sampan di tengah Selat Selatpanjang. ‘’Tak rela kami melepaskan anak kami berkayuh 2 jam di tengan laut tu pak,’’ jelasnya Ewi yang merasa iba karena anak-anak keturunan mereka tak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Agar anak negeri ini tak buta hurup dan bisa melanjutkan pendidikan, mari bersama bangun jalur transportasi darat memadai untuk menuju sekolah. Kemudian mari bersama membangun sekolah satu atap mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA. Masih tegakah kita melihat negeri yang kaya tapi masih banyak generasi penerus bangsa yang hanya tamat SD?***
Jumlah murid SD yang hadir saat itu jumlahnya lebih sedikit, pasalnya anak-anak dari Suku Asli untuk datang ke sekolah harus berjalan kaki dan melintasi jalan berlumpur atau tanah redang yang berdebu ketika musim panas dan lecah ketika musim hujan tiba. Kebetulan saat tim kecil Riau Pos bertandang, hujan deras menimpa di desa yang baru dimekarkan tersebut. Derasnya hujan malam itu membuat anak-anak Suku Asli tak mau datang ke sekolah.
‘’Hari ini jumlah murid yang hadir agak sedikit. Malam tadi hujan deras, jalan lecah jadi tak datang ke sekolah,’’ ucap salah seorang guru yang menyapa yang sedang mengabadikan wajah-wajah generasi penerus para Suku Asli di Kepaubaru saat itu.
Kegembiraan dan keinginan anak-anak Suku Asli untuk mengecap pendidikan sudah dirasakan sejak lama. Hanya saja pada umumnya orangtua mereka maupun abang-abang mereka cuma menamatkan tingkat SD. Sebab di Desa Kepaubaru tak memiliki sekolah lanjutan tingkat pertama. ‘’Sejak berdiri Desa Kepaubaru sudah diajukan pembangunan sekolah tingkat SMP, tapi sampai sekarang belum ada juga. Kalaupun ada harus menumpang di kampung sebelah,’’ jelas Pramono kepada tim kecil.
Meskipun demikian kampung ini masih berdiri bangunan sekolah yang sangat bagus dan dan layak bagi pendidikan anak usia dini. Tetap saja berbagai faktor lainnya sangat mempengaruhi warga Suku Asli untuk menyekolahkan anak mereka. Terutama masalah jauhnya pemukiman dari lingkungan sekolah. Kemudian masalah ekonomi atau pendapatan masyarakat juga sangat mempengaruhi untuk Suku Asli menyekolahkan anak mereka. ‘’Tak sedikit anak usia dini atau usia sekolah SD dan SMP harus bekerja membantu orangtuanya untuk bersekolah,’’
Seperti pengakuan Pramono, keinginan menyekolahkan anak sangat tinggi. Ini terbukti ratusan warga suku asli menyekolahkan anak-anak mereka di SD di Dusun II Kepaubaru atau tak jauh dari kantor desa. ‘’Jalan jadi kendala, kalau musim hujan tak sampai setengah murid datang, sebab rumah mereka terendam banjir atau jalan lecah tak bisa pergi sekolah,’’ kata Pramono, warga Dusun I.
Kemampuan ekonomi masyarakat Suku Asli di Kepau baru lumayan tinggi, hal ini dikarenakan upah yang didapatkan menebang batang rumbia dan membersihkan kebun rumbia sangat memadai. Oleh sebab itu keperluan akan pendidikan dan kesehatan menjadi faktor utama bagi warga Suku Asli.
Keinginan untuk mengecap pendidikan sangat terasa bagi masyarakat, sebab sebagian besar ada juga warga menyekolahkan anak mereka ke Desa Telukbuntal. Untuk mencapai ke Teluk Buntal tak sanggup melalui jalur darat. Karena kondisi jalan masih tanah dan membelah hutan. ‘’Tak musim hujan saja sulit untuk melintas jalan kurang lebih 15-20 kilometer tersebut. Apalagi jika musim hujan jalan menjadi bubur,’’ jelasnya.
Menurut Awi (39), tak ada warga yang sanggup melepaskan anak mereka untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMP di Desa Teluk Buntal. Selain masalah biaya terlalu besar juga masalah transportasi yang biayanya tak sanggup dipenuhi orangtua mereka. ‘’Sehari puluhan ribu harus dikeluarkan. Tentu tak sanggup kami. Untuk biaya makan Rp20 ribu sehari saja payah,’’ jelas Awi.
Bagi orang kaya, kata Awi, mungkin bisa menyekolahkan anak mereka. Tapi bagi masyarakat Suku Asli yang hidup serba kekurangan dan pas-pasan rasanya tak sanggup.
‘’Kalau sudah tamat SD sudah hebat. Untuk makan aje payah, apelagi nak membiayai ongkos anak pergi sekolah ke SMP Telukbuntal, tak sanggup kami pak,’’ ucapnya.
Walaupun demikian bukan berarti tak ada warga Kepaubaru menyekolahkan anak mereka hingga ke tingkat SMP dan SMA. Karena bagi tauke atau pendapatannya cukup besar bisa menyekolahkan anak mereka ke tingkat SMP. Setiap tahunnya jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP paling tinggi 2-5 lima orang saja.
Naik Speedboat 20 Menit, Berkayuh Dua Jam
Melanjutkan pendidikan merupakan keinginan setiap anak dan orangtua, akan tetapi kemampuan ekonomi juga sangat berpengaruh. Karena tingginya biaya transportasi akhirnya orangtua mengurungkan niat untuk menyekolahkan anak mereka. Namun demikian beberapa orangtua tetap mengorbankan materi atau uang agar anak mereka tetap bisa bersekolah.
Seperti dilakukan Sri Rahayu (14). Anak dari salah seorang guru SDN 038 Desa Kepaubaru ini harus rela pergi ke kampung tetangga demi menimba ilmu. Menurutnya, jumlah siswa untuk bersekolah di SMP Telukbuntal saat sekarang sekitar delapan orang saja. Itupun masih tetap bergantung keberadaan transportasi air atau laut (speedboat). Yang menyedihkan hati, ketika speedboat tak berangkat atau rusak. ‘’Kalau speedboat tujuan Selatpanjang rusak atau tak jalan mau tak mau harus tak bersekolah,’’ kata remaja yang akrab disapa Sri ini.
Siswa yang baru duduk di kelas II SMP ini, setiap harinya harus bangun tidur lebih awal, sekitar pukul 04.00 pagi. Karena speedboat yang harus ditumpanginya berangkat menuju Telukbuntal pukul 05.30 WIB paling lambat. ‘’Tak jarang pukul 05.00 WIB sudah ada di pelabuhan pak. Kalau mau ditinggal speedboat dan secara otomatis tak bisa sekolah hari itu,’’ jelasnya.
Setiap harinya untuk pergi ke Telukbuntal menyediakan ongkos tetap sebesar Rp20 ribu untuk pulang pergi. ‘’Itu belum termasuk ongkos jajan dan lainnya di sekolah,’’ ucapnya.
Menggunakan speedboat menuju Telukbuntal memakan waktu sekitar 20 menit. Karena setiap pelabuhan rakyat speedboat harus berhenti mengambil penumpang yang akan menuju Kota Selatpanjang setiap paginya.
Seperti pernyataan Ewi (45), untuk mencapai Telukbuntal tak bisa menggunakan sampan dayung. Karena bisa memakan waktu kurang lebih dua jam atau lebih. Dengan kondisi itulah, makanya mereka tak sanggup menyekolahkan anak mereka ke tingkat SMP. Karena tak mungkin membiarkan anak mereka mengayuh sampan di tengah Selat Selatpanjang. ‘’Tak rela kami melepaskan anak kami berkayuh 2 jam di tengan laut tu pak,’’ jelasnya Ewi yang merasa iba karena anak-anak keturunan mereka tak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi.
Agar anak negeri ini tak buta hurup dan bisa melanjutkan pendidikan, mari bersama bangun jalur transportasi darat memadai untuk menuju sekolah. Kemudian mari bersama membangun sekolah satu atap mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA. Masih tegakah kita melihat negeri yang kaya tapi masih banyak generasi penerus bangsa yang hanya tamat SD?***
Comments
Post a Comment