Kehidupan Nelayan Pemukat di Selat Melaka
Mencari ikan dengan alat tangkap tradisional yang disebut kise
menjadi rutinitas masyarakat di Dusun Setia Kawan, Desa Teluk Pambang,
Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis. Badai dan petir menjadi kawan
sehari-hari namun senantiasa diwaspadai. Udang adalah incaran utama
untuk penyambung hidup anak dan isteri. Tapi kemiskinan tetap mendera, meski
telah kerja keras, banting tulang saban hari dan malam.
Laporan ERWAN, Bengkalis
|
Nelayan di Bengkalis, foto erwan sani |
ANGIN jolong utara (baru memasuki
musim angin utara, red) berhembus sedikit kencang siang itu. Ombak Selat
Melaka tampak mulai bergelora menghempas bibir pantai, gelombangnya
bergulung-gulung mengejar pantai. Sejumlah camar hinggap dan terbang di
antara rindangnya pohon-pohon bakau di Dusun Setia Kawan.
Dusun itu berjarak sekitar 60 Km arah timur dari ibukota Kabupaten Bengkalis.
Mayoritas dihuni masyarakat yang bekerja sebagai nelayan tradisional. Tak ada
kapal sebagai sarana menangkap ikan layaknya nelayan modern. Masyarakat di
dusun ini mengandalkan cara tangkap yang masih sangat tradisional yang mereka
sebut ngise, sementara alat tangkapnya disebut kise.
Yakni sebentuk alat yang terbuat dari jaring dengan ukuran lebar lebih
kurang 1-2 meter dan panjang 80-100 meter. Di kedua ujungnya diikat dengan
kayu yang disebut pakau jantan. Fungsi pakau jantan ini untuk membuka sisi
kise sehingga ketika dimasukkan ke dalam air akan membuka lebar
sehingga ikan bisa terperangkap di dalam. Di antara pakau jantan tadi diikat
tali yang disebut tali pengere (tali penarik isi pukat) dengan panjang 5-6 meter. Tali ini berfungsi untuk menarik kise.
Untuk menariknya, tali tadi diikatkan ke pinggan nelayan baik yang ada di
sisi darat maupun yang ada di sisi laut.
Kalaupun ada sarana lain yang bisa digunakan untuk menangkap ikan, itu
hanyalah sampan. Ketika angin utara dan barat berhembus, aktivitas nelayan
terpaksa dihentikan. Mereka tak sanggup menagak (melawan) hembusan angin
dengan gelombang yang cukup tinggi. Jika tetap dihadang, nyawa menjadi
taruhan.
Kehidupan nelayan di dusun ini masih sangat memprihatinkan. Sebagian rumah
mereka masih tertera tulisan ‘’rumah tangga miskin’’ yang dibuat Pemkab.
Meski demikian, pantang bagi mereka memiliki tauke seperti kebanyakan
nelayan. Walau hidup sulit, bebas dari beban hutang pada tauke yang
kadang-kadang merugikan nelayan hingga tujuh turunan.
Aktivitas mengambil ikan dengan kise ini dilakukan saat air surut. Jika
air surut datangnya pagi, pengambilan dilakukan pagi. Jika datangnya tengah
malam, mereka akan menyongsong badai. Setidaknya, dalam 24 jam perputaran
waktu, ada dua kali pengambilan ikan dan udang yang bisa dilakukan.
Kerja Menunggu Mati
Perjalanan dari dusun ke pantai bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain
jaraknya cukup jauh yakni mencapai dua kilometer, para nelayan juga harus
melintasi semak belukar dengan kondisi jalan yang sangat buruk, terlebih jika
dilakukan di malam hari. Mereka pun tak bisa berbuat banyak, karena jalan
setapak itulah satu-satunya akses yang menghubungkan ke pantai.
Seperti siang itu, ketika matahari bersinar terik, dari jalan setapak muncul
Syamberi (40) dan Ridwan (50). Yang seorang memanggul karung goni berisi
kise. Seorang lainnya memanggul jerigen biru yang berfungsi sebagai wadah
untuk ikan atau udang yang berhasil ditangkap.
Dengan tubuh ringkihnya, Syamberi langsung menghela napas lega ketika tiba di
tepian pantai yang bersesai. ‘’Haah,’’ suara Syamberi sambil meletakkan
karung kise (pukat tarik). Baru saja ia duduk beberapa saat, Ridwan pun keluar
dari lorong tengah-tengah pohon baru-baru (sebutan salah satu pohon di
tepian pantai). ‘’Masih dalam air,’’ kata Ridwan yang matanya memandang ke
arah deburan ombak yang memecah di atas beting.
Berjalan di lorong di dalam baran pinggir pantai kalau siang hari masih dapat
memilih jalan. Tapi kalau malam hari harus melihat dengan menggunakan senter
atau obor yang terbuat dari bambu yang diberi sumbu dari kain dan bahan
bakarnya minyak tanah atau solar.
‘’Kalau siang dapat dipilih jalan yang elok. Kalau malam dirapah aje lecah
dan semak tu. Tapi lebih selalu melintas akhirnya hafal mane jalan buruk dan
berlubang,’’ jelas Syamberi dan diiyakan Duan.
Dua nelayan yang pekerjaan hari-harinya ngise (memukat) ini sangat berharap
besar terhadap hasil tangkapan kise-nya. ‘’Inilah kerje kami setiap hari.
Kadang dua kali surut. Jadi siang malam kami ngise kat tepi pantai ni,’’ ucap
Duan pada Riau Pos yang hari itu ikut bersama mereka turun ke tepi Selat
Melaka.
‘’Kerje kami ni hanya menunggu
mati. Sebab kerje ini aje yang kami dapat lakukan. Kami tak
bisa berbuat banyak. Paling tinggi ya menjaring di tengah Selat Melaka ini
menggunakan sampan dayung,’’ jelas Duan, yang terkadang memilih menjaring
menggunakan sampan kolek dan berdayung ke tengah Selat Melaka.
Beda dengan Syamberi sang pemilik kise. Ia sangat menggantungkan hidup dengan
hasil tangkapan ikan dari kise-nya. Karena pekerjaan mengise menjadi harga
mati dalam hidupnya. Jika tak ada kawan untuk menarik kise-nya ketika surut
tiba, maka sang istri lah yang dibawa.
Inilah pekerjaan tetap bagi warga dua RT di Dusun Setia Kawan itu sejak dulu
hingga saat sekarang. ‘’Ngise ini
sudah menjadi pekerjaan kami sejak lame.
Sejak datuk kami sampai ke anak cucunya sekarang ini,’’ jelasnya.
Istirahat sekitar 20 menit menunggu air timpas, akhirnya Syamberi dan Duan
melanjutkan perjalanannya menuju lokasi tempat untuk memasang kise. Keduanya berjalan sekitar 500
meter dari tepi muara Sungai Parit Satu dengan mengarung air sekitar satu meter
sehingga membasahi celana mereka.
Setelah mengarung muara sungai kecil tersebut, Syamberi langsung menuju ke
arah tengah Selat Melaka yang saat itu agak bersahabat. Padahal awal pasang
dan surut gelombang memecah di mana-mana dan angin utara jolong menderu
kuatnya. ‘’Inilah musim awal angin utara. Kalau airnya surut, gelombang
tak kuat dan anginnya teduh. Tapi kalau naik pasang, angin utara pun
menggugut turunnya,’’ jelas Syamberi, ayah dua anak.
Mengarungi air asin yang terlihat kecoklat-coklatan dan hempasan gelombang di
paha membuat kaki Riau Pos saat itu mulai terasa letih. Tapi dua nelayan
tersebut terus berjalan dengan sigapnya. Beberapa menit kemudian, Duan
langsung berucap. ‘’Dah boleh membuang ni,’’ ujarnya mengisyaratkan agar
mengeluarkan isi kise untuk memulai menarik.
Awalnya, Duan yang bertugas sebagai penarik di tepi membuka karung kise.
Kemudian diambilnya tali dan diikatnya pakau jantan (kayu yang di bagian
bawahnya diselimuti dengan timah sebagai pemberat agar kise bisa tenggelam).
Kemudian dari pakau jantan tersebut dipasang tali berbentuk segitiga. Di
ujung tali berbentuk kerucut tersebut dipasang tali pengere (tali yang
berfungsi untuk menarik isi kise). Sedangkan ujung tali pengere terdapat ban
bekas berbentuk setengah lingkaran yang diletak Duan langsung di pinggangnya
sebagai penahan sakit ketika menarik kise.
Sementara itu, Syamberi di bagian laut terus membuang isi kise sehingga
membujur ke arah tengah Selat Melaka. Setelah membuang isi kise sepanjang 75
meter tersebut, ia langsung menariknya ke arah timur. Sedang Duan di bagian
tepi terus mengikuti arah Syamberi.
Sekitar 20 menit berjalan, Syamberi mulai mengarahkan langkahnya dalam air
menuju tepian pantai atau menuju beting untuk melihat hasil tangkapan di
dalam kise. Beberapa menit akhirnya mereka bertemu di atas beting dan
terus menarik tali pengere. Beberapa menit berselang, tali pengere sepanjang
7 meter tersebut selesai dikumpulkan dan tibalah saat menarik isi kise.
Duan dan Syamberi bersamaan menarik pakau jantan, kemudian menyatukan tali
rabin atas yang diselingi dengan pantau (pelampung penimbul kise, red) dan
tali rabin bawah yang dipasang timah berjarak satu hasta orang dewasa. Secara
bersamaan dan seirama isi kise ditarik dari dalam air. Terlihat lecutan udang
jalang (salah satu jenis udang kualitas terbaik, red) di tengah
lingkaran kise.
Beberapa jenis ikan dan udang melompat-lompat di antara isi kise. Secara
bersamaan, akhirnya tiba di pundi kise (bagian pusat kise, red). Lebih dari
10 ekor udang kualitas A berlompatan di dalam kise. ‘’Lumayan. Ada juge udang
nampaknye,’’ ucap Syamberi dan diiyakan Duan yang terus memungut udang dan
ikan di dalam pundi kise.
Paling banyak hasil tangkapan saat bunuh kise (menarik isi kise ke tepi
pantai dan melihat hasil di dalam kise, red) adalah dapat ikan dan udang
sekitar setengah kilogram. Begitu juga hasil tarikan kise keduanya. ‘’Kalau
ngise siang macam ginilah hasilnya. Kecuali musim ikan atau udang. Kalau
musim sekarang ini dapat udang A sekilo per surut dah hebat,’’ jelas Duan
yang mengaku hari sebelumnya dapat udang A sekitar 1,5 kilogram.
Saat akan bunuh kise kedua, tampak lebih dari enam orang turun dengan memikul
karung berisi kise dan jerigen tersandang di belakang. ‘’Itu orang turun
ngise juge. Nampaknye mereka pergi ke Tanjung Senekip dan Tualang (nama
pantai lainnya sebagai wilayah menarik kise, red). Jaraknya sekitar satu
kilometer dari tempat kite mengise ni. Tu di ujung tanjung,’’ ucap Duan
sambil menunjukkan jari tangan kanannya ke arah pantai bertanjung sebagai
tempat tujuan para nelayan tradisional yang berjalan di tepi pantai saat itu.
Malam Waktu yang Tepat
Masyarakat di Dusun Setia Kawan, tepatnya di RT 06 dan 07 RW 05 Desa Teluk
Pambang merupakan nelayan tradisional yang mengandalkan alat tangkap yang
sangat sederhana. Mereka umumnya menggunakan alat tangkap yang dibuat dari
jala yang ukuran mencapai 40-60 depa orang dewasa. Begitu juga dengan jaring
yang mereka gunakan girl nett hanya kisaran 10-15 utas.
Alat transportasi nelayan pun hanya sampan kolek yang harus menggunakan
dua mata dayung sebagai alat mendorong. ‘’Lengan ni rase nak putus dah.
Sejak mude sampai sekarang asyik mendayung sampan ke tengah laut tu,’’ kata
Salim (65) yang masih terus melaut menggunakan sampan kolek yang panjangnya
sekitar 4 meter dan lebar sekitar 2 meter terbuat dari papan.
Sampan yang digunakannya tersebut terlihat sudah sangat tua dan beberapa
papan sudah ada yang bocor. Namun baginya, mencari ikan menjadi satu-satunya
usaha tetap untuk memenuhi kehidupan keluarga. ‘’Jaring dan ngise sudah
menjadi pekerjaan saye sejak lame. Tapi itulah, orang dah pakai mesin, saye
masih pakai due belah tangan untuk mengayuh dayung menuju tengah laut
(Selat Melaka, red), mencari ikan,’’ ucapnya.
Jika musim angin utara seperti sekarang ini, lanjut Salim, sampan terkadang
seperti tak bergerak. Padahal kedua dayung sudah diayun ke air
sekuat-kuatnya. ‘’Macam tekehel (keseleo, red) sampan tak begerak juge,’’
ucapnya dan diiyakan Darini (33) yang juga nelayan pemilik kise.
Menurut Darini, menjadi nelayan merupakan pilihan satu-satunya. Sebab
pekerjaan lainnya sulit didapat. ‘’Kalaupun ada, itupun berebut. Akhirnya aku
bekerje ngise ke sane ke mari. Mulai dari laut Tanjung Senekip, Penurun Desa
Muntai hingga laut Desa Bantan Air,’’ jelasnya.
Kalau musim ikan dan udang, kata Darini, pada umumnya malam hari kuat
kenanya. Akhirnya bersama sang istri Yati, mereka harus turun pada malam
hari. Kadang pukul 19.00 WIB terpaksa turun dan menarik kise. Bahkan tak
jarang dinihari pun turun ke laut dan berjalan kaki hingga 4 kilometer.
Merapah (melewati semak-semak, red) baran (hutan kecil di tepi pantai,
red) dan menarik kise di tengah Selat Melaka telah menjadi hal biasa baginya.
Bahkan itu dilakukannya setiap hari ketika musim udang atau ikan kena. Tak
ada sedikitpun hatinya rigun (takut, red) ketika melintas malam berdua dengan
istrinya. Bahkan mereka rela meninggalkan ketiga anaknya yang
tengah tidur pulas di malam hari.
Tak takut? ‘’Siape tak takut berjalan di tengah baran dan merandah (berjalan
dalam air, red) air di tengah laut tengah malam bute . Tapi karena mencari
rezeki yang halal itu dibuang jauh-jauh,’’ jawab Darini.
Jarak tepi pantai Selat Melaka dari rumahnya berkisar tiga kilometer. Namun
yang bisa ditempuh menggunakan sepeda atau sepeda motor hanya berkisar 2
kilometer. Sedang satu kilometer harus berjalan kaki melalui jalan lorong dan
hutan baran.
Selama melintas di jalan lorong, dengan karung kise dipikul di bahu dan
istrinya membawa jerigen bekas berukuran 30 kilogram, mereka hanya diterangi
obor. Sekali-sekali ia menggunakan lampu senter yang diletakkan di atas
kepala.
Setibanya di tepi pantai, kata Darini, terkadang obor atau senter
dimatikan. Karena cerah cahaya bulan dan bintang di tengah laut bisa melihat
tepian pantai. Jika bulan gelap, barulah dihidupkan obor atau lampu senter.
‘’Karena setiap hari berjalan di jalan yang sama akhirnya hafal mana
jalan berlubang dan lecah di tepi baran tu. Begitu juga tepian sesai dah tahu
di mana letak tunggul dan di mana sesai lembek dan berlumpur,’’ jelas Darini.
Begitu juga saat memasang kise di tengah laut, mereka sudah tahu di mana
lokasi banyak ransang atau tunggul. ‘’Jadi laut Tanjung Senekip, Parit Satu
dan Tualang sudah menyatu dengan kami. Sebab dari umur 10 tahun kami sudah
mencari ikan di laut tu,’’ kata Darini.
Selain itu, untuk turun mengise pada malam hari pada umumnya ada dua arau
(sebutan unit kise) atau empat arau. Jadi kalau satu arau ada dua orang maka
bisa empat atau delapan orang di laut saat itu. Inilah yang membuat pantai
Selat Melaka di bagian selatan Malaysia ini tetap ramai pada malam hari.
‘’Tapi tak jarang kami berdua laki bini aje di tengah laut tu ketika yang
lain tak turun ngise,’’ ucap Darini.
Mengise malam hari jika tak musim angin dan hujan terkadang sangat memuaskan.
Karena tak jarang dapat udang dan ikan besar. Tapi kalau musim penghujan dan
angin kuat, terkadang rigun (takut, red) juga hati untuk turun ke laut.
‘’Makanya kalau mengise di laut kalau hujan turun disertai angin, kami tak
lengah lagi membongkar kise dan memasukkan ke dalam goni dan pulang. Kite tak
sanggup melawan gelombang dan petir bersabung di tengah hujan tu,’’ tutur
Darini.
Saat angin tak kuat dan tak musim penghujan adalah hari berbahagia saat turun
ke laut untuk menangkap udang atau ikan. ‘’Kalau ada udang terkadang dapat
segelen (satu jerigen, red) udang. Bisalah dapat udang dan ikan 6-10
kilogram. Rate-rate dapat udang per malam bisa mencapai lima kilogram kalau
musim udang. Kalau tidak ya paling tinggi dapatlah satu atau dua kilogram
udang kualitas A, B dan C,’’ jelasnya.
Karena itu, pada malam hari pada umumnya jika mau menurunkan kise ke tepian
Selat Melaka, ada saja rezekinya. ‘’Menurut orangtua, ikan dan udang banyak
bermain di tepian air pantai. Makanya ngise malam menjadi kewajiban bagi
kami, karena hasilnya lebih memuaskan,’’ ucap Darini.
Mengise di malam hari atau berada di dalam air hanya berkisar 5-6 jam. Mulai
dari air pantai (air surut dan pantai mengering) hingga pasang naik. Selama 5
jam tersebut paling banyak menurunkan kise hingga melihat hasil tangkapan
kise selama enam sampai tujuh kali.
Namanya menangkap dan menghalau ikan agar masuk ke dalam kise, terkadang satu
terik (turunkan kise ke dalam air, red) hanya dapat semangkuk gulai ikan atau
terkadang hanya dua tiga ekor ikan dan udang. Inilah membuat para pengise
frustasi dan kemudian pindah ke tempat agak jauh dari tempat pertama
menurunkan kise.
‘’Istilah kami, kalau tak ade ikan di laut Parit Satu make pindah ke Tanjung
Senekip atau Tualang. Itu kite berjalan sambil memikul kise sekitar satu jam.
Kemudian baru menurunkan kise kembali. Ini terkadang membuat pinggang rase
nak patah. Sebab kite ngise tak pakai sampan atau kendaraan laut lainnya
seperti pompong atau alat transportasi lainnya,’’ keluh Darini.
Disambar Petir
Kerasnya ombak di Selat Melaka tak menjadi halangan bagi puluhan nelayan kise
di Dusun Setia Kawan. Sebanyak 48 KK yang menggantungkan hidupnya di Selat
Melaka menggunakan kise saban hari dan melakukan aktivitasnya baik siang
maupun malam.
‘’Gelombang besar tak ada permasalahan bagi kami pengise (sebutan untuk
nelayan pekerja, red) ni. Sebab kite tak membiarkan kise berdiam saje di
dalam air tapi dibawa ke tepi pantai. Beda dengan menjaring di tengah laut,
gelombang sangat mengganggu, karena menyebabkan isi jaring bergulung,’’ jelas
Ani (45) yang tiap malam mengise di tepi Selat Melaka.
Mencari rezeki di tengah malam dengan kondisi demikian tak jarang juga
membuat bulu kuduk berdiri. Sebab itu, para pengise tak pernah takabur
dan cakap besar ketika mengise.
‘’Kadang kite takut juge (makhluk halus). Karena terkadang kite hanye mengise
satu arau. Tapi ketika memasang obor ada berjarak 100-200 meter dari tempat
kite ada orang memasang obor. Tapi kami jarang mau menegur. Dalam hati kami
hanya berkate kite mencari rezeki die mencari rezeki juge,’’ jelas Ani.
Pada malam hari itu terkadang tak jarang nampak orang melihat dan mengikuti
berjalan atau saat membunuh kise. ‘’Sekali lagi, kami tak pernah ambil pusing
karena kami mencari rezeki yang halal,’’ lanjutnya.
Dari sekian banyak hambatan saat mencari rezeki di laut, bagi para nelayan
hanya satu yang paling ditakuti yakni datangnya petir. Tempat masyarakat
mengise berada di hamparan terbuka yang sangat berisiko terkena sambaran
petir. Karenanya, jika petir mulai sabung menyabung, mereka segera
pulang ke rumah.
Pernah kejadian seorang nelayan meninggal ketika mengise akibat tersambar
petir. Ketika almarhum Ramli sedang menarik isi kise untuk melihat hasil
tangkapan. Malam itu para nelayan yang turun mengise cukup ramai dan hujan
gerimis.
‘’Akibat disambar petir tunggal, Ramli langsung tak bernyawa dan kami harus
ramai-ramai membopongnya hingga ke kampung. Kejadian ini sekitar 4 tahun lalu
tapi masih membekas dalam hati kami. Sebab perjuangannya untuk menghidupi
keluarganya dengan mengise,’’ kata Ani.
Perairan Tanjung Senekip dan Tualang merupakan daerah tempat warga Dusun
Setia Kawan mengise. Kalau musim bulan terang atau 14 atau 15 hari bulan, tak
jarang di tepian rimbunan batang perepat, api-api dan bendang (tasik di atas
pantai Tanjung Sedekip) terdengar orang riuh rendah bermandi-mandi.
‘’Ada suara anak-anak hingga orang dewasa. Dan ini biasalah terdengar di
telinga pada malam hari saja. Kalau hari siang seperti biasa saja,’’ jelas
Ani, ibu tujuh anak.
Pengalaman seram dialami Salim sekitar 7 tahun lalu ketika memasang jaring
melintang di Tasik Tanjung Senekip. Karena selesai menurunkan jarring, ia pun
tertidur di dalam sampan koleknya. Karena berniat pagi baru membongkar jaring
yang dilintangkan di tengah bendang atau cekungan yang tak pernah kering
walaupun air sudah surut dan beting menyembul hingga ke tengah Selat Melaka
tersebut.
Alangkah terkejutnya ia, ketika tersadar kalau jaring sebanyak enam utas yang
ditebarkannya sudah berkumpul jadi satu di samping sampan koleknya.
‘’Sejak kejadian itu saye tak pernah menjaring melintang di bendang tu pada
malam hari. Kalau teringat itu seram bulu tengkuk saye,’’ kenang Salim.***
|
Comments
Post a Comment