Menjaga Gajah Bagai Anak Sendiri
Kisah Mahot (Penjaga Gajah) di Tepian Hutan
Menjaga binatang liar seperti gajah tentu sulit dilakukan jika tidak
dijiwai dan selalu di dekatnya. Hal itu pulalah yang dilakukan yang dijiwai
Marhalim (40) yang keseharian menjaga Bonita, gajah berumur tujuh tahun di
tepian hutan lindung atau disebut Arboretum atau elephant park seluas 42
hektare di Minas.
Seorang mahot sedang bermain dengan anak gajah yang diasuhnya. |
MEMANDIKAN,
memberi makan dan membawa anak gajah seberat satu ton lebih ke dalam hutan
bukanlah hal yang biasa bagi orang kebanyakkan. Tapi tidak bagi Marhalim, sebab
menjalankan aktivitas memberi makan, memandikan dan bersendagurau dengan anak
gajah yang diberi nama Bonita menjadi pekerjaan setiap harinya.
Dengan satu utas
rantai besi ukuran jumbo sepanjang 10 meter dan sebagiannya melingkar di leher
Bonita, Marhalim mulai menghela atau mengajak binatang peliharaannya itu untuk
keluar dari semak belukar. ‘’Bonita ayo keluar. Ayo, ayo…’’ kata Marhalim.
Pemohonan atau
ajakan Marhalim ini ternyata benar-benar direspon Bonita.
Bonita yang sudah
beranjak dewasa tersebut mulai bergerak dari dalam kepungan semak belukar di
tepian Arboretum. Belalai panjangnya mulai menarik rantai yang terbuat dari
besi. ‘’Sreek, sreeek,’’ bunyi besi ditarik Bonita dan binatang jumbo ini mulai
melangkah meninggalkan semak.
Ada sekitar
15-20 menit bonita berusaha sendiri menarik rantai dan sambil berjalan di
antara semak. Agar bisa keluar dari semak belukar itu gajah yang katagori
remaja ini harus berusaha maksimal, karena kontur tanahnya agak menanjak. Tapi
atas permintaan tuannya (Marhalim), akhirnya Bonita sampai juga ke badan jalan,
meskipun agak lambat.
Sesampai di
badan jalan gajah jinak milik BKSDA ini terdiam sejenak, karena melihat
ramainya orang saat itu. ‘’Bonita
jalan,’’ pinta Marhalim lagi. Atas
permintaan itu belalai Bonitapun kembali menarik rantai besi dan memulai
langkahnya. Dengan langkah agak cepat
Bonita langsung mengikuti langkah Marhalim yang saat itu menuju parit gajah
atau tempat pemandiannya setiap hari.
Dengan
perlahan Bonita mulai masuk ke dalam air. Yang sebelumnya berdiri tapi atas
permintaan Marhalim agar duduk, akhirnya bonita duduk dan hanya menampakkan
kepala, belalai dan punggungnya saja. Saat itu pula Marhalim mendekati badan
gajah betina ini sambil menggosok-gosok badannya yang kotor akibat lumpur saat
berada di semak belukar belumpur saat itu.
Setelah
beberapa menit berada di dalam air, Marhalim kembali menginstruksikan kepada
Bonita agar berdiri. Dengan agak kesulitan mengimbangi badannya yang besar
akhirnya Bonitia berdiri. Bonita berjalan meninggalkan genangan air dan kembali
ke jalan.
Marhalim
didampingi Marasagu Daulay sang penjaga (mahot) bagi Bubu anak gajah jantan
berumur delapan tahun, terus mengiringi Bonita naik ke jalan. ‘’Inilah kerja
saya setiap hari pak. Pertama memberi makan, memandikannya dan membawanya ke
dalam hutan,’’ jelas Marhalim dan diiakan Marasagu Daulay.
Menurut dia,
menjaga gajah yang dipelihara dari kecil
kurang sulitnya. Akantetapi untuk memelihara atau menjadi mahot bagi
gajah liar seperti awal tahun 1994 lalu.
Itu agak sulit untuk menjaganya. Tapi setelah dilakukan beberapa kali pelatihan
akhirnya gajah-gajah yang diserahkan BKSDA Riau bisa diasuh dan dipelihara. ‘’Awalnya sulit, tapi
akhirnya kita bisa menjadi penjaga atau pemeliharanya,’’ kata Marhalim.
Marhalim
menegaskan tak terpikirkan olehnya bisa menjaga binatang liar atau binatang
yang sangat ditakuti manusia. Sebab gajah bukanlah tandingan bagi manusia untuk
melawannya. Apalagi kalau dia mengamuk, tentu sulit untuk melawannya.
Akantetapi, kata
Marhalim semuanya tergantung dari kemauan dan kasih sayang yang diberikan
kepada binatang. ‘’Awalnya takut. Tapi setelah beberapa tahun bersama gajah
akhirnyta timbul rasa sayang. Rasa sayang inilah membuat saya betah bersama
gajah-gajah ini di tepian hutan ini,’’ jelas Marhalim sambil memegang punggung Bonita saat itu.
Menurut dia,
Bonita makannya tak begitu banyak jika dibandingkan dengan gajah-gajah lainnya.
Dirinya memberi makan Bonita per harinya hanya 30 kg. Setelah diberi makan
Bonita biasnaya dibawa ke tepian hutan terutama di dekat rumput-rumput
kesukaannya yang masih banyak. ‘’Terkadang satu kilometer ke dalam hutan. Pagi
diikat ke dalam hutan, siang dilihat dan diberi minum. Sore dibawa pulang ke
tepian hutan,’’ jelas Marhalim.
Hal serupa
disampaikan Marasagu Daulay, menurut dia menjaga atau menjadi mahot gajah
betina tak begitu sulit tapi menjaga gajah jantan agak sulit. Karena saat musim
kawin tiba atau gajah jantannya sedang birahi itu membuat mahotnya ketakutan.
Akhirnya mau tak mau gajah jantan itu dikarantina atau di antar ke tengah
hutan. ‘’Untung kalau dapat gajah betina liar bisa dia kawin. Tapi kalau tidak
selama satu bulan kerjanya marah-marah terus, kitapun tak berani mendekatnya,’’
kata Marasagu Daulay.
Pengalaman
menjaga gajah jantan birahi mereka alami setiap tahunnya, khususnya pada mulai
Juni-Juli 2014 lalu. Makanya diyakininya pada bulan Juni-Juli ini masa birahi
itu datang lagi.
Bersama dengan
Marasagu Daulay menegaskan masa sulit menjaga gajah ya masa birahi gajah
jantan. Pasalnya gajah jantan yang ada atau dipelihara di Arboretum di PT Arara Abadi (AA) tak mau kawin dengan
gajah betina yang ada. ‘’Makanya kita kesulitan dan akhirnya harus menerima
amukan dan emosi dari gajah jantan,’’ jelasnya.
Beruntung, kalau
gajah liar dari daerah hutan lindung dari Duri atau Tasikserai masuk lokasi atau hutan lindung/Arboretum cepatlah
masalah teratasi.
Diceritakan dia
keberadaan gajah yang dipeliharanya itu juga bergantung dari gajah-gajah liar
yang ada. Seperti Bonita dan Bubu yang merupakan anak gajah dari pejantan dari
gajah liar. Menurut dia tujuh tahun lalu
ada gajah liar masuk ke kawasan hutan lindung tersebut. Jadi bapak dari Bonita
dan Bubu bukan Nando (gajah jantan dewasa) di areal Arboretum.
Gajah-gajah liar terkadang tak bisa masuk
begitu jauh ke kawasan hutan. Karena biasanya bersama lima gajah milik
perusahaan akan menghalaunya keluar dari kawasan HTI dan perkebunan milik
masyarakat. ‘’Tapi kita sangat perlu gajah-gajah liar untuk pertambahan
populasi di Aboretum milik perusahaan,’’ jelasnya.
Untuk sekarang ini, kata Marhalim Arboretum perusahaan memiliki tujuh ekor
gajah. Lima gajah betina dan dua gajah jantan. ‘’Sebelumnya kita hanya memiliki
5 ekor gajah tapi ada dua anak gajah jantan dan betina, jadi tujuh gajah
sekarang,’’ jelasnya.
Arboretum Sebagai Pusat Penelitian dan
Rekreasi
Keberadaan tujuh gajah di
elephant park bukan sekadar untuk menjadi tempat tontonan atau wisata
bagi masyarakat yang ingin melihatnya. Akantetapi keberadaan gajah itu untuk
dimanfaatkan menghalau gajah-gajah liar yang akan masuk ke kawasan arboretum
dan perkebunan masyarakat.
Tahun 2014
lalu gajah-gajah yang ada dilatih untuk menghalau gajah-gajah liar juga melatih
gajah-gajah liar agar jinak. ‘’Jadi selain sebagai tempat penelitian juga
dimanfaatkan sebagai tempat pelatihan bagi gajah-gajah liar. Makanya Bonita dan
Bubu sekarang sudah jinak, karena sudah
beberapa kali dilatih dengan tenaga professional,’’ jelas Kepala Seksi
Lingkungan PT Arara Abadi Yuyu Arlan.
Yuyu Arlan juga
menegaskan keberadaan Arboretum juga dijadikan sebagai kawasan hutan lindung.
Di dalamnya ada perencaaan tata ruang HTI, Kawasan hutan lundung sebagai
koridor satwa, area kemiringan tinggi rawan erosi dan longsor. Selain itu ada
kawasan tangkap air dan habitat spesies endemik dan langka.
Menurut dia,
selain sebagai hutan lindung, Arboretum juga sebagai pusat penelitian, pendidikan,
rekreasi. ‘’Selain gajah juga terdapat berbagai macam jenis tumbuhan langka dan
sulit didapatkan sekarang,’’ jelas Yuyu.
Seperti
tanamanan dari famili dipterocarpaceae seperti shorea, dipterocarpus, vatica
dan hopea.
Dari jenis
flora, dijumpai 135 spesies tanaman bunga dan 16 spesies palma. Seperti kulim,
gaharu, arang-arang, balam suntai, meranti batu, meranti kunyit dan lainnya.
Dikatakan Yuyu,
hutan lindung yang memiliki luas 42 hektare lenih ini juga memiliki
poteensi hutan non kayu. Seperti
buah-buahan, madu lebah, obat-obatan herbal yang bisa dimanfaatkan masyarakat
dan juga memberikan jasa lingkungan rekreasi.
‘’Kami memberikan
izin kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan hasil non hutan non kayu
untuk konsumsi mereka,’’ jelas Yuyu Arlan lagi.
Beberapa bentuk
pemanfaatan hasil hutan non kayu oleh masayrakat di antaranya pemanfaatan buah kulim, pengambilan madu
lebah sialang. Sedangkan dari jenis fauna, ditemukan mamalia besar seperti
gajah, beruang,kijang, monyek ekor panjang. Selain itu ada juga ular piton dan
burung-burung. Di dalam hutan lindung tersebut juga ada, burung enggang dan
raja udang.
Agar tidak
terjadi kepunahan beberapa jenis hutan di Riau, Arboretum juga melakukan
pembibitan dan koleksi beberapa spesies yang ada. Dengan begitu, Arboretum juga
sebagai bank benih sepesies lokal.
Dikatakan
penanggungjawab pembenihan spesies lokal, Kaharudin Siregear kepada Riau Pos, beberapa benih yang menjadi
andalan seperti pulai, meranti, kulim, gaharu, balam suntai, arang-arang dan
meranti batu.
Pembenihan
menggunakan sistem biji, stek dan juga anakan ini terus dilakukan. Bahkan sudah
ribuan kayu sudah dibagikan beberapa tempat. Beberapa kali pihaknya menyuplai
ribuan kayu untuk sekolah-sekolah yang ada di Kabupaten Siak, Bengkalis dan
beberapa daerah lainnya. ‘’Bahkan baru-baru ini kita membagikan ratusan batang
kayu ke sekolah-sekolah di pekanbaru,’’ kata Kaharudin Siregar.
Saat Riau Pos
berada di lokasi pembenihan memang benar, ribuan batang kayu kulim, meranti dan
pulai yang sudah siap untuk ditanamkan. Selain itu pihak arboretum terus
berupaya membudidayakan tanaman yang langka di Riau. ‘’Terutama untuk
pembenihan meranti kunyit, kulim dan tanaman obat-obatan lainnya,’’ kata
Kaharudin Siregar yang saat itu mengambilkan tampang pulai. ***
Comments
Post a Comment