Tapah Tak Ada, Toman jadi Incaran
Para nelayan di
sepanjang Sungai Mandau sebelumnya menggantungkan hidup dengan tangkapan ikan
tapah, limbat, baung namun sekarang tidak lagi, karena ikan tomanlah menjadi
pilihan dan mudah didapatkan. Sulit didapatkannya ikan tapah membuat warga
risau karena mulai satu persatu punca kehidupan mereka menghilang dari hitamnya
air Sungai Mandau.
BAGI warga tepian Sungai
Mandau khususnya di Desa Melibur, Kecamatan Mandau, Kabupaten Siak sangat
menggantungkan hidup dari berbagai jenis ikan air tawar yang ada di Sungai
Mandau. Warga menjadikan batang sungai tersebut menjadi sandaran untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari. Namun semakin berkurangnya tegakan hutan dan hilangnya
beberapa anak-anak sungai menjadikan sungai terkenal dengan berbagai jenis ikan
itu sekarang mulai menipis airnya.
Ingin mengetahui kondisi kehidupan
nelayan di tepian sungai tersebut, kamipun bertandang ke beberapa pusat
kehidupan nelayan. Salah satu tujuan pemukiman nelayan di Desa Melibur,
tepatnya tak jauh dari jembatan Melibur. Menempuh perjalanan kurang lebih dua
setengah jam dari Perawang, akhirnya tiba di pemukiman warga berbatas langsung
dengan lahan HTI dan perkebunan sawit.
Di tepian sungai ini memang tidak banyak
rumah warga yang berdiri hanya berjumlah tujuh rumah saja. Tapi pada umumnya
rumah panggung yang menjulang tinggi. Bahkan di bawah rumahnya bisa diletakkan
sepedamotor dan menjadi tempat perbaikan perahu kolek miliknya. ‘’Sengajo
buek rumah tinggi pak. Sebab saat musim banjir,
airnyo bisa sampai ke lantai ko,’’ kata Limah (40) sambil menunjuk batas air di
tiang rumahnya.
Sungai dengan panjang kurang lebih 85
kilometer tersebut memanjang dari tepian Sungai Siak hingga berujung di
Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis sudah mulai dangkal, makanya saat musim
penghujan tiba beberapa pemukiman warga harus rela terendam air.
Dikatakan Limah dirinya bersama
dengan suaminya sudah bertahun-tahun menjadi nelayan di Sungai Mandau. Sedihnya
kalau musim banjir tiba, karena sibuk menyelamatkan rumah terkadang harus tak
mencari ikan. ‘’Tapi di sungai ini saat banjir itu banyak dapat ikan
besar-besar. Terutama mendapatkan ikan tapah,’’ jelas Limah yang saat itu
sedang mengangkat satu kaleng ikan keli akar.
Sungai Mandau yang terkenal dengan ikan
tapah, keli akar (lele akar), baung dan
ikan selais ini sudah jauh menurun jika dibandingkan sebelum tahun 2000-an. ‘’Dulu
banyak ikan di sungai ni, Sekarang dah payah mencarinyo. Sekali turun ke hulu
sungai kadang dapat dan kadang cukup makan aja,’’ jelas Limah yang mengangkat
setengah karung ikan asin ke atas timbangan.
Meskipun ikan unggulan seperti ikan tapah, baung, selais dam keli
akar sudah berkurang, namun Limah mengakui para nelayan di Melibur masih tetap
bertahan untuk mencari ikan, karena inilah mata pencarian mereka. Kata Limah,
tak ada pekerjaan lain. Makanya, menjadi nelayan sudah menjadi pilihan suami
dan keluarganya di Melibur. ‘’Kita tak ada kebun pak. Ini aja tinggal di tepi
sungai,’’ jelas Limah.
Meskipun pendapatan terbatas para
nelayan masih diuntungkan dengan minimnya biaya operasional untuk menjual hasil
tangkapan ikan. Karena dua hari sekali atau tiga hari sekali para pembeli ikan
yang berasal dari Kota Perawang, Minas bahkan Pekanbaru datang ke pemukimannya
untuk mendapatkan ikan.
Dikatakan Limah untuk harga ikan cukup
bervariasi. Misalnya ikan tapah hidup per kilogramnya kisaran Rp45-60 ribu per
kilogramnya dijual kepada pembeli. Sedangkan baung dan selais serta keli akar
kisaran Rp30-35 ribu per kilogramnya. Sedangkan harga ikan salai cukup mahal.
Misalnya ikan tapah, baung dan selais salai harganya bisa mencapai Rp80 ribu
per kilogram. ‘’Tapi macam mana nak buat ikan salai. Ikan tu tak ada nak
disalai,’’ jelasnya sambil memasukkan ikan masin sepat yang menumpuk di
pelantar atau jeramba rumahnya saat itu. Ditanya harga ikan asin, Limah menjelaskan
bahwa harganya cukup mahal. Per kilogramnya bisa mencapai Rp25-30 ribu per
kilogramnya.
Hal serupa disampaikan Ridwan
(35), sebagai nelayan dirinya juga sangat kesulitan. ‘’Kalau mau turun ke muara
Sungai Mandau sekarang sulit pak. Alur sungai tinggal beberapa meter, bahkan
sudah mencapai 10 km terutup dengan bakung, enceng gondok dan umpai. Kalau
enceng gondok tak masalah. Tapi kalau bakung dengan umpai, payah nak lalu
sampan pak,’’ jelasnya.
Menurut Ridwan, dulu per hari dapat
ikan berpuluh kilogram. Namun sepuluh tahun belakangan ini sudah sulit. Sebab
sungai dangkal dan ikan juga sulit didapatkan. Makanya masyarakat berharap
dibersihkan sungai ini. Biar kami mudah lagi mencari ikan.
Dikatakan dia dengan sulitnya
mendapatkan ikan ternama seperti tapah, keli akar, selais dan baung membuat
para nelayan berubah arah mencari ikan tak biasanya mereka cari yaitu ikan
toman. Menurut warga yang akrab disapa Duan ini, harga ikan toman saat sekarang
cukup menjanjikan. Apalagi ukuran toman yang didapatkan ukuran besar semua.
Rata-rata nelayan mendapatkan ikan toman seberat tiga kilogram paling rendah.
‘’Bahkan kemarin ada warga mendapatkan ikan toman seberat tujuh sampai 10
kilogram,’’ kata Duan yang saat itu sedang mengikat tali pancing.
Diakuinya untuk mendapatkan ikan toman
tak bisa menggunakan lukah atau jaring. Akan tetapi para nelayan menggunakan
rawai. Paling tidak satu utas rawai memiliki 50-100 mata pancing. Hasilnya juga
cukup lumayan. Sehari biasanya bisalah mendapatkan toman lima sampai enam ekor
ukuran besar.
Harga ikan toman juga cukup mahal
sekarang. Untuk yang hidup para pembeli yang datang dari Perawang atau Minas
per kilogramnya diambil seharga Rp20-25 ribu. ‘’Jadi lumayanlah. Bisalah untuk
memenuhi keperluan hidup sehari-hari,’’ jelas Duan yang duduk di beranda rumah
dan terus memintal tali pancing saat
itu.
Duan juga berharap pemerintah bisa
memperhatikan nelayan-nelayan yang ada di tepian Sungai Mandau terutama
berdekatan dengan Jembatan Melibur. ‘’Kalau ada program-program yang bisa
membantu kami, tolonglah dibantu,’’ jelasnya.
Saat di pemukiman nelayan Melibur
terasa beruntung, karena bisa bertemu langsung pembeli ikan berasal dari Kota
Perawang. Agus saat itu sedang menimbang ikan toman berukuran jumbo. Per
ekornya mencapai lima kilogram. ‘’Ini masih hidup semua,’’ jelas Agus.
Ikan-ikan yang didapatkannya dari
nelayan Melibur tersebut pada umumnya dibawa ke Kota Perawang. Harganya memang
bervariasi. Tapi kalau sudah tahu ikan yang dibawanya berasal dari Sungai
Mandau, para pembeli pasti berebut. Apalagi, kata Agus, ikan yang dibawa itu
ikan tapah, keli akar atau selais dan baung. ‘’Sampai saja di pasar perawang
sudah berebut orang membelinya,’’ jelas Agus yang saat itu berusaha memasukkan
ikan toman ke dalam karung besar.
Tingginya minat para pembeli terhadap
ikan berasal dari Sungai Mandau, makanya dirinya rela menggunakan sepedamotor
menuju Melibur yang jaraknya puluhan kilometer dari Pulau Perawang. ‘’Makanya
saya berusaha maksimal tetap bisa mengambil ikan-ikan yang ada di Melibur
ini,’’ ucapnya.
Agus bukan saja membeli ikan-ikan yang
masih hidup, akan tetapi dirinya juga membeli ikan asin dan juga ikan salai.
Diakuinya untuk harga ikan hidup, salai
dan ikan asin hargnya lebih murah. Karena hitungan biaya transportasi dirinya
dan resiko ikan mati di jalan.
Menurut dia, ikan-ikan sungai seperti
ikan baung, selais dan ikan tapah resiko matinya tinggi. Kecuali ikan lompong,
keli akar, gabus dan ikan toman, resiko matinya sangat kecil.
Diakuinya selain meringankan beban
nelayan dirinya juga biasanya memberikan pinjaman kepada nelayan. Karena tak
semua nelayan mendapatkan ikan cukup banyak. Terkadang ada masa sulit
mendapatkan ikan. ‘’Saya terkadang merasakan sendiri. Sebab terkadang selain
membeli ikan saya juga ikut memancing atau memasang lukah juga. Jadi tahu
susahnya mendapatkan ikan sekarang ini,’’ jelasnya.
Jadi dirinya juga tak memilih jenis ikan yang
akan dibeli dari para nelayan. Semua jenis ikan yang dijual para nelayan
dirinya beli. ‘’Asalkan jangan ikan busuk ajalah. Makanya ikan toman yang
biasanya jarang diambil sekarang sudah diambil dan dibawa ke Perawang apalagi
harganya cukup menjanjikan juga sekarang ini,’’ jelasnya sambil mengikat karung
ke atas bakul sepedamotornya saat itu.***
Makanya mari kita jaga dan rawat sungai kita,jngan hanya mengeluh..menikmati hasil tpi tidak mau menjaga dan merawatnya,klau msalah tanaman liar,itu kan bsa kita yg bersihkan,saya sudah bnyak mlihat nelayan di mandau ini, ngomongnya "ini sungai kami" tpi merawat dan MENJAGA tdak mau,mala kbnyakan warga nelayan yang meracun sungai,demi mendapatkan bnyak ikan,itu kn tdak boleh,Serakah,dan akhirnya jika ikan sudah langkah,hanya bsa mengeluh,,,huu
ReplyDelete