Perdagangan Lintas Batas di Riau


Didik sedang berada di kapal yang mengangkut kelapa ke Malaysia

Berdagang ke negeri jiran (Malaysia) bagi masyarakat Kabupaten Bengkalis, khususnya masyarakat desa yang ada di sepanjang pantai Selat Melaka Pulau Bengkalis telah ada sejak sejarah kejayaan Kerajaan Siak dan sebelum Indonesia merdeka. Tapi sayangnya perdagangan itu mulai tersendat sejak tahun 2013 lalu hingga sekarang. Akibatnya tak sedikit masyarakat anjlok ekonominya dan tak sedikit masyarakat mengeluhkan tak terjualnya hasil pertaniannya karena tak ada harga.


DESA Telukpambang, Kecamatan Bantan, Bengkalis adalah salah satu titik keberangkatan perdagangan lintas batas (PLB) di Riau. Di daerah ini setidaknya lebih 40 orang masyarakatnya yang bekerja sebagai pedagang lintas batas. Dalam satu bulan biasanya mereka berdagang dua kali. Beragam hasil Bumi seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan kerajinan rumahtangga serta keperluan dan konsumsi sehari-hari, dibawa  ke Malaysia. Saat pulang ke Indonesia mereka pun diperkenankan membawa sejumlah barang yang telah ditetapkan oleh kedua negara.
         Tapi itu dulu. Sebab sudah tiga tahun PLB dihentikan, dan para pedagang di desa ini tak mengetahui secara pasti mengapa hal itu terjadi. Mereka sudah berupaya dan berharap pihak berwenang mengaktifkan kembali perdagangan ini namun belum membuahkan hasil.
          ‘’Saat ini tidak ada lagi aktivitas PLB di Kecamatan Bantan. Kami melakukan PLB sudah ditutup. Kami sudah minta penjelasan dari pihak Bea Cukai, mereka menyatakan PLB dihentikan tanpa menjelaskan mengapa itu terjadi,’’ tutur salah seorang pelaku pedagang lintas batas Didik, di Desa Telukpambang.
      Bahkan, lanjutnya, para pelaku PLB sudah memelas dan berharap Bea Cukai mengizinkan perdagangan lintas batas diizinkan kembali, namun pihak Duane tetap pada keputusan semula. Ketua Lintas Batas KM Sinar Kurnia, Jamaluddin, warga Desa Pambang mengatakan,  sejak 16 November 2012  lalu,  pelaku PLB tak lagi melakukan aktivitas seperti sebelumnya karena adanya larangan dari pihak Bea dan Cukai Bengkalis.
      ‘’Sudah tiga tahun terhenti,  kami tidak ada aktivitas lagi. Padahal PLB ini ada sejak tahun 1960-an dan ekonomi masyarakat di pesisir pantai timur Provinsi Riau ini hidup dari berdagang dan barter barang antar Bengkalis dan Malaysia. Tapi sekarang nasib kami tidak tahu lagi dan ini sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Kecamatan Bantan yang selama ini mengandalkan barang-barang kebutuhan pokok dan rumahtangga dari Malaysia,’’ ujar Jamaluddin.
     Perlu diketahui pemerintah Indonesia, untuk di Riau khususnya di Pulau Bengkalis perdagangan lintas batas atau antar negara dengan Malaysia sudah berlangsung sejak lama dan merupakan pedagang tradisional yang dilakukan turun-temurun. ‘’Kami sudah biasa dengan perdagangan lintas batas dan ketika ini terhenti, kami terkejut. Karena kami melakukan usaha ini sesuai tujuan pengaturan pelaku PLB, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan,’’ ucapnya. 
       Jamaluddin mengungkapkan, hasil produksi pertanian dan perkebunan serta kerajinan tangan masyarakat kini tak  bisa lagi dibawa secara bebas ke Malaysia. Padahal selama ini untuk di Kecamatan Bantan —yang menjadi radius perdagangan lintas batas— tak ada persoalan. Apalagi pihaknya sangat menjunjung tinggi kesepakatan yang sudah dibuat antar kedua belah pihak.
        Dalam perjalanannya, pelaku perdagangan lintas batas ini tak semulus yang dibayangkan orang. Untuk menghidupkan perdagangan, para pelaku harus berkerja keras dengan modal yang kecil. Bahkan untuk menunjang kegiatan perdagangan lintas batas ini tetap eksis, para pelaku memanfaatkan perbankan sebagai sumber dana. Untungnya, belakangan pemerintah melalui program Pemberdayaan Usaha Ekonomi Desa (UED) membuat soal modal tak jadi halangan lagi.
     ‘’Kami mengharapkan Bupati Bengkalis mencarikan solusi, sebelum kami sebagai pelaku lintas batas ini tak mampu lagi bekerja. Tentunya kami akan menuntut pemerintah memberi pekerjaan yang pantas dan mampu menjamin masyarakat sejahtera, khususnya mendapatkan pasokan sembako murah seperti perdagangan lintas batas yang sudah berjalan selama ini,’’ ucapnya.
                                                                     Buah Kelapa Tak Berharga dan Dibiarkan
Terhentinya perdagangan lintas batas berimbas terhadap pendapatan masyarakat, terutama bagi petani perkebunan kelapa dalam. Yang biasanya kelapa dipanen tiga bulan atau enam bulan sekali tapi sekarang tidak lagi. Malahan dibiar berserakan buah kelapa kering di bawah rumpunnya.
        Ini dilakukan karena murahnya harga kelapa dan sulitnya memasarkan. Sebab untuk per buahnya kelapa hanya diharga Rp8.000. Harga ini tentunya tak sebanding dengan harga saat lintas batas berjalan, per buah kelapa bisa dihargai Rp1.200-1.600.
     ‘’Sekarang sudah malas ngurus buah kelapa. Harganya tak sebanding dengan proses pembersihannya. Upah nyabit (menurunkan kelapa, red), mengumpulkan, mengupas dan mengangkutnya ke tempat tauke bisa-bisa rugi. Kalaupun mau dikerjakan sendiri. Itupun terkadang hanya mendapat upah letih aja,’’ jelas Karni warga Dusun Sukajadi.
       ‘’Kalaupun dikerjakan agar kelapa tak jadi tampang saja. Tapi tak sedikit juga warga membiarkan hingga tumbuh (jadi tampang, red) karena harga tak sebanding dengan letih kerjanya,’’ ujar Karni.
        Hal serupa dikatakan Budi Darma warga Dusun Sungairaya. Perkebunan kelapa yang sebelumnya diusahakannya dibiarkan begitu saja. Bahkan dirinya sudah melakukan ancang-ancang akan menebang semua buah kelapa dalamnya menjadi perkebunan kelapa sawit. ‘’Rencananya perkebunan kelapa ini saya rubah menjadi kelapa sawit saja. Apalagi harga kelapa sekarang tak sebanding dengan penat kerjanya,’’ kata Budi saat membersihkan lahan perkebunan kelapanya.
        Dikatakan dia, sejak ditutupnya lintas batas yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Desa Telukpambang sejak 2013 lalu banyak masyarakat mengeluh. Terutama bagi masyarakat yang memiliki kebun kelapa. ‘’Kelapa yang menjadi sumber pendapatan masyarakat Pambang sudah tak menjanjikan lagi. Sebab harganya tak sebanding dengan perawatannya,’’ jelas Budi Darma.
         Hal serupa dikatakan Rahim warga Dusun Setiakawan. Sejak tak ada harga buah kelapa dalam atau sejak ditutupnya lintas batas membuat dirinya berpindah menanam kelapa sawit. ‘’Alhamdulillah kelapa sawitnya sudah berbuah pasir. Harganya lumayanlah jika dibandingkan dengan buah kelapa dalam,’’ jelas Rahim yang sudah menebang lebih dari satu hektare kebun kelapanya dan menggantikannya dengan kelapa sawit.
       Menurut Rahim masyarakat Telukpambang sekarang susah dengan tertutupnya jalur menuju Malysia. Walaupun ada ekspor itu hanya orang bermodal besar dan pada umumnya orang tionghoa. Sebab orang pribumi tak sanggup mengeluarkan modal besar. ‘’Jadi kami pribumi ini kurang terperhatikan. Jadi orang tionghoalah makin kaya. Kita begini-gini ajalah,’’ tegasnya.
       Keluhan sulitnya ekonomi sejak ditutupnya lintas batas dikeluhkan Ermala (40), ibu dengan tiga anak ini mengeluhkan serba mahalnya barang yang ada. ‘’Dulu waktu ada lintas batas barang-barang sembako murah dan tak seperti sekarang. Beras mahal, gula mahal, bawang mahal dan cabai kering pun mahal. Jadi pemerintah kabupaten tolonglah kami,’’ jelasnya.
        Dirinya juga mengeluhkan sulitnya ekonomi terus diperparah dengan rendahnya harga karet. ‘’Untung saja buah pinang agak ada harga. Kalau tidak mungkin payah juga kami hidup di Pambang ni,’’ tegasnya.
        Menurut Ermala dirinya masih bersyukur, rendahnya harga kelapa dan karet masih diimbangi dengan harga pinang tua. Selain itu dibantu dengan harga tikar pandan per lembar ukuran tujuh kaki diharga Rp50 ribu. ‘’Kami kaum ibu-ibu ini juga berharap harga karet naik, kelapa dalam naik dan bisa kembali ada pelayanan lintas batas. Jadi masyarakat kami dapat terbantu,’’ harapnya.
       Menurut Abdullah mantan pelaku lintas batas kepada kami, beberapa kapal lintas batas dulu beroperasi sekarang sudah mulai beralih kegiatan bahkan sudah ada yang dijual pemiliknya. ‘’Daripada nganggur lebih baik dijual,’’ kata Abdullah yang juga akrab disapa Agam.
       Tak semua dijual, kata Agam ada juga dialihkan kegiatan seperti membawa pasir dari Tanjungbalai Karimum dan Tanjungkapal Rupat. ‘’Sebagian lagi ada yang kerja sama dengan pelaku ekspor,’’ jelasnya.
                                                                         Ekspor Milik Segelintir Orang
 Meski begitu, mereka tetap berlayar membawa sejumlah produksi pertanian dan perkebunan ke Malaysia, namun bukan lagi sebagai pelaku PLB, melainkan ekspor. Walaupun ekspor, hasil yang mereka peroleh tidaklah sebanding dengan apa yang diharapkan. Karena jika ekspor masyarakat harus mengeluarkan biaya yang cukup besar, sementara waktu perdagangan lintas batas, masyarakat bisa dikatakan tak mengeluarkan dana sebanyak itu.
             ‘’Kalau ekspor hanya segelintir orang yang menikmati terutama orang-orang tionghoa yang sudah pasti kaya raya. Makanya perhatian pemerintah untuk warga pribumi perhatikan juga. Jadi tolong berlakukan lagi lintas batas,’’ kata Jamaluddin.
      Untuk diketahui di Riau, daerah-daerah yang ditetapkan sebagai pintu masuk perdagangan lintas batas adalah Panipahan di Kecamatan Kubu, Sinaboi di Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir. Lalu Tanjung Medang di Kecamatan Rupat Selatan, Selat Baru di Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis. Juga Tanjung Kedabu di Kecamatan Ransang, Teluk Belitung di  Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti. Selanjutnya Serapung di Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan. Serta Guntung di Kecamatan Kateman, Kuala Enok di Kecamatan Tanah Merah dan  Kuala Gaung di Kecamatan Gaung Anak Serka, Kabupaten Indragiri Hilir.***  

Comments

Popular posts from this blog

Gulai Ikan Salai dengan Pucuk Ubi

Keranjang Rotan Rohil Laris Manis

Bermain Layang Wau hingga Malam di Bengkalis